Ketika Harga Beras Naik, Kami Tak Lagi Bicara Soal Nasi Tapi Soal Keadilan Sosial

Mahasiswa
Ketika Harga Beras Naik, Kami Tak Lagi Bicara Soal Nasi Tapi Soal Keadilan Sosial 19/06/2025 413 view Ekonomi pinterest.com

Harga beras yang melonjak tajam beberapa bulan terakhir membuat saya dan banyak teman mahasiswa lain terpaksa mengencangkan ikat pinggang lebih kencang dari biasanya. Kalau dulu kami bisa patungan beli satu karung beras untuk dimasak bersama, sekarang kami harus menghitung ulang jatah perut dalam sehari. Yang biasanya bisa makan tiga kali dengan nasi, kini sering diganti dengan mie instan, roti tawar, atau bahkan hanya air putih.

Kenaikan harga beras ini bukan cuma menyulitkan mahasiswa. Jauh lebih dari itu, ini menyentuh persoalan dasar masyarakat luas. Di pasar-pasar tradisional, harga beras medium kini bisa mencapai Rp 14.000 hingga Rp 15.500 per kilogram. Untuk beras premium, harganya sudah menembus Rp 18.000, bahkan lebih di beberapa daerah. Bagi sebagian orang, mungkin angka-angka ini terdengar biasa saja. Tapi bagi keluarga buruh, petani kecil, dan mahasiswa perantauan, ini cukup untuk membuat panik dan khawatir.

Pemerintah dan media menyebut penyebabnya adalah El Nino. Musim kemarau yang berkepanjangan menyebabkan gagal panen di banyak sentra produksi. Tapi saya rasa, penyebab utamanya bukan hanya soal cuaca. Ini adalah soal tata kelola pangan yang lemah dan rapuh. Soal bagaimana negara seperti tidak pernah benar-benar belajar dari krisis sebelumnya. Setiap kali ada gejolak pangan, respons selalu datang terlambat, solusi yang ditawarkan pun cenderung reaktif.

Saya membaca beberapa laporan bahwa kebijakan impor beras dilakukan untuk menstabilkan harga. Tapi saya bertanya-tanya, kenapa selalu harus bergantung pada impor? Kenapa bukan sistem produksi dalam negeri yang dibenahi sejak awal? Petani kita seolah hanya jadi pelengkap dalam urusan pangan, padahal mereka adalah aktor utama. Ketika harga pupuk mahal dan infrastruktur irigasi rusak, mereka dibiarkan bertarung sendirian. Ketika panen gagal, negara hanya hadir sebatas wacana.

Di sisi lain, saya juga menyaksikan bagaimana media membingkai isu ini. Banyak berita menggunakan istilah seperti "penderitaan rakyat kecil akibat mahalnya harga beras", "krisis pangan masuk dapur rakyat", hingga "nasi jadi barang mewah". Framing ini memang menggugah, tapi apakah cukup? Menurut saya, kita perlu lebih dari sekadar narasi empati. Kita butuh langkah konkret dan transparan dari para pengambil kebijakan.

Yang paling menyedihkan bagi saya adalah ketika krisis ini dianggap wajar. Seolah rakyat harus menerima kenyataan bahwa harga kebutuhan pokok bisa naik sewaktu-waktu, tanpa solusi jangka panjang. Ini menunjukkan bahwa persoalan pangan belum dijadikan prioritas utama. Padahal, jika kita bicara tentang keadilan sosial, maka urusan perut adalah fondasi utamanya.

Sebagai mahasiswa, saya percaya bahwa negara seharusnya menjamin hak dasar setiap warga, termasuk hak atas pangan yang layak. Tapi kenyataannya, di negara yang katanya subur ini, kita masih harus berjuang keras hanya untuk bisa makan nasi. Ini bukan semata tentang ekonomi, ini tentang keadilan.

Saya sering mendengar slogan "Indonesia negara agraris". Tapi ironisnya, di negara agraris ini, petani justru hidup miskin dan beras bisa lebih mahal dari ayam goreng cepat saji. Ini menyakitkan. Ini mencerminkan betapa ketimpangan dalam sistem pangan sudah terjadi sangat dalam. Yang kaya tetap bisa makan enak, yang miskin harus berpikir ulang sebelum menanak nasi.

Saya menulis ini bukan untuk mengeluh, tapi untuk mengingatkan. Krisis harga beras ini bukan sekadar masalah angka di pasar. Ini adalah alarm bagi semua pihak bahwa ada yang salah dalam sistem kita. Dan sebagai mahasiswa, sebagai bagian dari generasi yang katanya agen perubahan, saya merasa harus bersuara.

Kita tak bisa terus membiarkan rakyat kecil menanggung beban paling berat dari kebijakan yang lemah. Kita tak bisa terus menormalisasi keadaan di mana nasi menjadi kemewahan. Kita butuh sistem pangan yang adil, berkelanjutan, dan berpihak pada rakyat.

Saya berharap pemerintah lebih serius dalam merespons krisis ini. Tidak hanya menambal sementara lewat impor dan bansos, tapi juga memperbaiki akar masalah: memperkuat petani, membenahi distribusi, dan memastikan harga pangan stabil sepanjang tahun. Karena ketika harga beras tak terkendali, bukan hanya perut yang kosong, tapi juga kepercayaan rakyat yang terkikis

Dan saya percaya, suara dari anak kos seperti saya juga pantas didengar. Karena kami bukan sekadar konsumen beras kami adalah generasi yang akan mewarisi negeri ini. Jika hari ini kami tak bisa makan dengan layak, bagaimana kami bisa membangun masa depan?

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya