Ketika Agamamu Dihina: Membela atau Memaafkan?

Anak Rumahan
Ketika Agamamu Dihina: Membela atau Memaafkan? 01/11/2020 5539 view Opini Mingguan pixabay.com

Ingatkah kita akan kejadian ketika waktu itu bendera Negara kita dihina oleh warga negara tentangga? Apa reaksi warga Negara Indonesia saat itu? Marah, tidak terima, kecewa, sedih, dan mungkin emosi-emosi lainnya. Wajarkah? Tentu saja wajar, karena bendera adalah lambang Negara, menghina bendera merah putih sama artinya dengan menghina Negara Indonesia dan sudah tentu menghina rakyat Indonesia. Apakah ini masalah sepele? Tentu tidak. Apakah harus diam, memaafkan dan membiarkannya berlalu begitu saja? Lalu dimana harkat dan martabat Negara kita bila kita diam dan membiarkannya tanpa ada perlawanan.

Lalu, bagaimana ketika baru-baru ini, ada seorang guru yang kepalanya dipenggal karena menghina Rosulullah Muhammad SAW yang sangat dicintai oleh seluruh umat muslim? Mungkin keputusan memenggal kepala guru tersebut bukanlah keputusan yang bijaksana, namun membela guru tersebut dengan alasan kebebasan berekpresi juga bukanlah keputusan yang bijaksana. Terlebih lagi hal itu dilakukan oleh seorang kepala Negara yang harusnya dapat melindungi dan menghormati semua lapisan masyarakat yang ada di dalamnya.

Rosulullah SAW bukan hanya seorang manusia atau seorang tokoh sejarah yang patut dikenang jasa-jasanya. Bagi umat Islam, Rosulullah SAW adalah tauladan, pemimpin, pelindung dan manusia yang paling dicintai. Rosulullah SAW punya peran yang lebih dari sekedar tokoh kunci atau lambang dari agama Islam. Menghina Rosulullah sama dengan menghina Allah dan menghina Islam. Tentu saja sama dengan menghina seluruh umat Islam di seluruh dunia.

Apa respon umat Islam terhadap kejadian tersebut? Tentu saja umat Islam marah dan tidak terima dengan penghinaan tersebut. Seorang yang sangat kami cintai, sebegitu buruknya dihina dan dilecehkan sebagai bentuk “kebebasan berekspresi”.

Umat Islam dari berbagai Negara kemudian berbondong-bondong melakukan aksi boikot terhadap produk-produk Negara Perancis juga sebagai bentuk “kebebasan berekspresi”. Apakah aksi boikot ini adalah sebuah tindakan bijaksana? Atau justru tindakan gegabah yang akan memperuncing masalah yang ada?.

Kami, umat Islam, bukanlah umat yang diajarkan untuk berlaku dzolim oleh Rosul kami. Bahkan didalam Al-Qur’an, Allah dengan tegas memerintahkan seorang Muslim untuk berlaku adil bahkan terhadap orang yang dibenci. Oleh karena itu, seorang Muslim tidak akan pernah terima jika kedzoliman dan ketidakadilan terjadi di atas muka bumi terlebih lagi jika kedzoliman itu ditujukan kepada manusia paling mulia dan paling kami cintai, Rosulullah SAW. Ini bukan tentang menjadi bijaksana atau menjadi seorang pemaaf, ini tentang bagaimana kami membela orang yang kami cintai. Memaafkan dan membela adalah dua kegiatan yang sangat berbeda.

Memaafkan adalah hak dari seorang yang dihina, disakiti atau diambil haknya, tapi membela adalah tugas dari orang yang mencintai orang yang dihina, disakiti atau diambil haknya tersebut. Kita bisa memafkan bila kita yang menjadi korban penghinaan, namun bila yang menjadi objek penghinaan adalah orang yang kita cintai, apa sampai hati kita membiarkan hal itu terjadi? Apa tega kita membiarkan hal itu berlangsung terus menerus tanpa ada pembelaan atau perlawanan untuk menghentikan hal itu?

Tidak perlu pakai dalil yang panjang untuk hal ini. Cukup tanyakan saja pada hati kecil kita, apa sampai hati kita membiarkan orang yang kita cintai dihina begitu saja? Bila Negara kita dihina, sebagai warga Negara yang cinta tanah air, apa kita akan diam saja? Bila orang tua kita dihina, maka sebagai anak yang berbakti, apa kita akan diam saja? Bila istri atau suami kita dihina, apa kita akan diam? Bila anak kita dihina, apa bisa kita merasa tidak marah? Bila kita marah saat anak, saudara, orang tua, pasangan atau bahkan Negara kita dihina, lalu sebagai seorang Muslim, apa yang harusnya kita lakukan bila Rosulullah yang dihina? Bukankah Rosulullah SAW yang harusnya lebih kita cintai daripada orang tua, anak, istri, suami bahkan Negara kita?

Kalau hati kita tidak merasa marah, atau terusik, bisa jadi cinta kita dipertanyakan. Bisa jadi cinta itu sebatas ucapan lisan yang tidak ada artinya. Bisa jadi cinta itu hanya pepesan kosong yang tidak berharga. Bisa jadi cinta itu memang tidak pernah tertanam pada hati kita. Karena seorang yang mencintai, tidak akan pernah rela orang yang dicintainya dihina, disakiti ataupun direndahkan. Karena kami mencintai Rosulullah SAW, kami marah ketika beliau dihina.

Rosul kami memang sudah tiada. Rosul kami mungkin tidak akan marah jika dirinya dihina karena akhlaknya yang mulia. Tapi kami, umat-umatnya, kami tidak bisa diam saja bila beliau dihina. Bila kami diam, sama saja kami membiarkan penghinaan itu terjadi terus menerus. Bila kami diam saja, bagaimana kami akan bertemu dengan beliau kelak? Kami tidak akan punya muka saat bertemu dengan beliau di hari akhir nanti.

Rosul kami mungkin tidak perlu pembelaan kami, karena Allah langsunglah yang akan membela kerhormatannya. Namun, kamilah yang butuh dibela oleh beliau. Kami pun butuh diakui oleh beliau sebagai umatnya. Oleh karena itu, membela beliau bukanlah hal yang bisa dinegosiasikan. Membela beliau adalah sebuah keharusan dan jihad kami di jalan Allah, ini adalah jalan juang kami agar Allah ridho dan mencintai kami. Ini adalah bukti cinta kami, bahwa kami lebih mencintai Rosulullah daripada diri kami sendiri.

Memboikot produk-produk dari Negara Perancis hanyalah salah satu cara untuk menunjukkan kemarahan kami. Bukankah Perancis adalah Negara yang menjunjung kebebasan berekspresi? Maka ini adalah bentuk ekpresi kemarahan kami. Sebagai Negara yang menjunjung tinggi kebebasan berekspresi, maka Negara Perancis haruslah menerima hal ini dengan lapang dada. Bukankah setiap perbuatan memiliki konsekuensi yang harus ditanggung? Tentu hal ini tidak perlu terjadi bila Presiden Perancis bisa lebih bijaksana dalam menyikapi kasus tersebut. Tentu hal ini tidak perlu terjadi bila setiap individu manusia dapat menghargai dan menghormati kepercayaan orang lain, tidak menghina, merendahkan ataupun melecehkan. Namun setelah insiden ini terjadi, kami sebagai umat Islam, punya posisi yang harus kami ambil, posisi untuk membela Rosul kami dan agama kami. Bukan untuk membalas kekerasan dengan kekerasan, tapi untuk menghentikan dan mencegah agar hal ini tidak terulang kembali.

Umat islam bukanlah umat lemah yang hanya bisa diam teraniaya tak berdaya tanpa bisa melakukan apa-apa. Umat Islam adalah umat yang tahu kapan harus diam dan kapan harus marah.

Kami bisa diam dan menahan amarah kami ketika kami secara pribadi dihina, tapi kami tidak akan pernah bisa diam bila Allah, Rosul dan agama kami yang dihina.

Bukan hal yang suit bagi kami untuk memaafkan, tapi memaafkan bukan berarti diam dan membiarkan hal ini terus menerus terjadi. Sudah menjadi tugas kami untuk membela apa yang harus kami bela.

Allahuma sholi ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya