Refleksi Politik 80 Tahun Kemerdekaan Menjawab Tuduhan Ditunggangi Asing dan Koruptor

aktivis di gerakan social movement technology
Refleksi Politik 80 Tahun Kemerdekaan Menjawab Tuduhan Ditunggangi Asing dan Koruptor 23/09/2025 214 view Politik youtube.com

Meski perayaan kemerdeaan ke 80 secara seremonial sudah usai , tentu masih relevan kiranya kita melakukan refleksi terkait kemerdekaan apalagi selepas serangkaian aksi masa di seantero tanah air yang untung saja tidak berujung seperti di Nepal, artinya persoalan aksi masa di Indonesia masih berakhir kondusif dan secara langsung rakyat yang sempat marah itu sebenarnya masih memberi kesempatan kepada penguasa yang mudah lupa dan arogan untuk memperbaiki yang salah.

Penguasa yang bijak, cerdas, dan peka terhadap rakyat tentu akan melakukan koreksi ketika dikritik bukan malah menuduh apalagi tanpa bukti, seharusnya penguasa yang pastinya memahami hukum sepatutnya membuktikan tuduhan tersebut sebagaimana adagium hukum “Ei incumbit probatio qui dicit, non qui negat” yang artinya beban pembuktian ada pada orang yang menyatakan, bukan pada orang yang menyangkal.
Yang menarik ada dua tuduhan yang dialamatkan kepada gerakan rakyat saat ini, tuduhan pertama berkaitan dengan dukungan dari koruptor dan tuduhan yang kedua berkaitan dengan antek-antek asing. Padahal jika kita menelaah dari fakta objektif bukankah virus KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) serta kecenderungan pro terhadap asing tampak melekat pada tubuh kekuasaan bukan dari gerakan rakyat.

Dalam konteks KKN, misalnya jika mendasarkan pada jenisnya yang menurut Alatas (1986) terbagi menjadi tiga yaitu suap (bribery), saat pegawai pemerintah menerima hadiah atau uang untuk memprioritaskan kepentingan pemberi. pemerasan (extortion), yakni ketika pejabat memaksa masyarakat atau perusahaan memberikan uang agar urusan mereka dilayani, atau bahkan menggunakan dana negara untuk kepentingan pribadi dan menaikkan harga proyek demi keuntungan lebih. Dan nepotisme, yaitu mengangkat saudara, teman, atau sekutu politik sebagai pejabat tanpa mempertimbangkan kemampuan mereka atau dampak buruknya bagi rakyat. Maka ketiga praktik itu termanifestasikan dalam contoh-contoh yang sudah menjadi rahasia umum seperti bagi-bagi kekuasaan yang tidak berbasis meritokrasi, rangkap jabatan wakil menteri yang juga menjadi komisaris, penggelapan dana pembangunan, hingga upaya pelemahan KPK, apakah semua itu bukan wujud nyata dari KKN di tubuh kekuasaan?

Jadi, sebelum penguasa menuding bahwa gerakan rakyat dimanfaatkan oleh koruptor yang hanya mendasarkan pada cuplikan pengakuan dari tersangka korupsi yang dari ekspresinya menyimpan dusta. Rasanya mereka juga perlu untuk dipertanyakan, apakah tubuh kekuasaan telah bersih dari parasit korupsi yang memanfaatkan inangnya? Jika jawabannya ‘sudah’, muncul pertanyaan lagi, sudah sejauh mana penguasa menyadari bahwa permasalahan korupsi yang berurat akar dari gabungan faktor sistemik, politik, dan sosiokultural sudah tuntas penyelesaiannya?, atau justru yang menuduhkan itu memiliki masalah sistematik terkait praktik KKN di dalam tubuhnya sendiri ?

Jika kita menaikkan level pemikiran sebagaimana nasehat Rocky gerung, sebenarnya negara kita masih terjebak di tengah tata kelola pemerintahan yang masih lemah yang diperkuat dengan ketidakpatuhan terhadap prinsip pemerintahan yang baik. di satu sisi lembaga publik juga masih rapuh sehingga kerap gagal dalam menegakkan hukum. Praktik Kolusi, Korupsi, dan nepotisme (KKN) selalu terjadi di level pusat sampai daerah, yang ironisnya dahulu ada yang menjanjikan akan merampas habis aset koruptor namun setelah menjadi pemimpin yang dahulu menjadi singa podium, yanag berteriak-teriak “ Hey asing, hey koruptor”, sambil memukul podium itu. justru saat ini pada suatu wawancara , sang singa podium yang sudah menjadi presiden itu justru berkata “”Masalah dimiskinkan, saya berpendapat begini,. Makanya saya mau negosiasi selalu, kembalikan yang kau curi, tapi memang susah karena secara sifat manusia mungkin dia nggak mau ngaku, Jadi pertama harus dikasih kesempatan,” ucapnya.

Memang benar persoalan kesalahan orang tua tidak sepatutnya dilimpahkan pada anak, namun memakai diksi “memberi kesempatan” dan “adil” pada persoalan kolusi,korupsi, dan nepotisme justru menimbulan kontradiksi dan kesan tidak serius dalam melawan praktik KKN. Bagaimana mungkin konsep ‘keadilan’ dan ‘pemberian kesempatan’ diterapkan pada tindakan yang secara inheren tidak adil yang telah menutup kesempatan bagi banyak orang melalui perampasan sumber daya publik?, Kalau serius ingin melawan praktik KKN selain dimulai dari lingkaran sendiri maka perlu juga disahkan undang-undang perampasan aset dan mencegah upaya-upaya pelemahan terhadap gerakan sipil dan institusi yang melawan praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme. Dari level nasional ke daerah, dari level kebijakan sampai praktik, budaya KKN terus menguat di negeri yang tergolong religius tetapi kitab suci saja bisa dikorupsi.

Dalam persoalan pro terhadap asing, sebenarnya Indonesia sudah lama terjebak dalam jerat neoliberalisme yang secara signifikan melemahkan fungsi dan peran negara. Bob Sugeng Hadiwinata dalam Refleksi Historis Kembalinya Peran “Negara” untuk pengantar buku Melindungi Negara dari Ancaman Neoliberal karya Erhard Eppler (2020) menuliskan jika Indonesia sebenarnya sudah terseret dalam regionalisme dan neoliberalisme yang mengubah sifat, fungsi, dan peran negara.

Persoalan neoliberalisme juga sudah membuat Indonesia tunduk pada “Washington Consensus,” kredo dari Bank Dunia dan IMF yang mensyaratkan penerapan kebijakan ekonomi liberal seperti reformasi fiskal, suku bunga pasar, perdagangan bebas, privatisasi, dan deregulasi bagi negara yang ingin mendapat fasilitas pinjaman. Akibatnya, praktik bisnis menjadi terlalu bebas dan hampir tak terjangkau oleh aturan pemerintah. Dengan kenyataan seperti itu kelas pekerja Indonesia tidak hanya dihisap oleh borjuasi nasional tetapi sudah masuk dalam hisapan sistem kapitalisme internasional.

Jadi jauh sebelum isu tarif Trump yang membuka akses bebas Amerika Serikat terhadap sumber daya alam Indonesia yang oleh pemerintah disanggah dengan pernyataan bahwa “semua akan diatur menurut regulasi”. Indonesia sebenarnya telah kehilangan kemandirian di bidang ekonomi, politik, bahkan budaya. apalagi Dengan budaya KKN yang masih kuat, dapatkah kita yakin bahwa regulasi yang katanya akan mengatur akses Amerika Serikat ke sumber daya alam kita akan berjalan sebagaimana mestinya?

Pada akhirnya, refleksi HUT RI ke-80 ini mengantar kita pada pertanyaan mendasar tentang siapa yang sebenarnya terjebak virus KKN dan pro asing, rakyat atau penguasa? Penguasa kerap menuduh gerakan rakyat dibiayai koruptor dan dikendalikan asing, tetapi bukankah KKN dan kecenderungan pro asing justru terdeteksi kuat di dalam tubuh kekuasaan itu sendiri? Apakah tuduhan ini hanyalah upaya pengalihan isu dari kegagalan mereka memberantas korupsi dan menjaga kedaulatan bangsa? Ataukah penguasa sengaja membungkam suara rakyat yang menuntut keadilan demi melindungi kepentingan segelintir elit? Mungkin saatnya penguasa berhenti menuding dan mulai berkaca, tentang siapa yang benar-benar terperangkap dalam lingkaran setan ini?

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya