Tawaran Rekonsiliasi 'Maaf' dan 'Janji' Atas Tragedi Berdarah Sandosi-Adonara
Masih membekas di dalam ingatan kita, tragedi berdarah di tanah Sandosi-Adonara Kecamatan Witihama, Kabupaten Flores Timur yang menewaskan enam orang.
Pertikaian yang bermula atas persengketaan lahan di Wulen Wata ini berujung pada pencaplokan nyawa atas kedua suku yang bertikai yakni Suku Lamatokan dan Suku Kwaelaga. Mestinya kita belajar atas aneka konflik massa pada masa lalu, yang selalu berujung pada korban nyawa. Tragedi berdarah yang terjadi pada tanggal 5 Maret 2020 di Negeri Mahar Gading ini merupakan cermin paradoks di tengah arus modernitas.
Pelbagai upaya telah dilakukan oleh berbagai pihak demi tercapainya kesepakatan dan kesediaan untuk melakukan rekonsiliasi. Pendekatan holistik yang mempertemukan kedua belah pihak yang bertikai akhirnya mendapatkan titik terang dengan kesediaan untuk berdamai.
Pada titik ini kita patut mengapresiasi kepada pihak-pihak yang memediasi jalannya proses rekonsiliasi ini. Meski demikian seluruh masyarakat tetap diimbau untuk selalu waspada akan kemungkinan-kemungkinan lain yang tidak diinginkan.
Kekerasan Sebagai wujud Penegasan diri
“Daya dan kekuatan manusia secara mendasar tampak dalam pengalaman kekerasan. Dari daya kekuatan itulah berasal rasa kepastian-diri dan identitas” Pernyataan Hannah Arendt, sebagaimana yang dikutip oleh F. Budi Hardiman dalam bukunya Massa, Teror dan Trauma ini mengafirmasi kenyataan bahwa akar kekerasan adalah untuk menemukan rasa kepastian dan identitas. (F.Budi Hardiman: 2010, hlm.51)
Kenyataan konflik berdarah di tanah Sandosi dilatarbelakangi akan adanya keyakinan kuno yang sudah mendarah daging dan menjadi tradisi turun temurun bahwa perang tanding merupakan salah satu bentuk penyelesaian masalah. Dengan kata lain, jika persoalan menyangkut tanah antar suku, kampung dan bahkan keluarga menguak ke permukaan, maka perang disinyalir sebagai upaya solutif terbaik.
Perang tanding sebagai bentuk penyelesaian masalah yang dipandang sebagai bentuk nilai budaya yang patut dijunjung tinggi tentunya sangat bertentangan dengan nilai hukum modern yang tentunya lebih menekankan aspek keadilan. Ini yang dinamakan sebagai tindakan penegasan diri oleh Hannah Arendt. Sesama direduksi ke dalam alam kekaburan diri dan tidak lagi dipandang sebagai pribadi yang bebas menentukan hidupnya. Bentuk penegasan diri yang salah kaprah inilah pada akhirnya mengubah orang lain menjadi jenazah bisu tak berdaya.
Aneka bentuk dehumanisasi dan degradasi nilai-nilai kemanusiaan acap kali direduksi ke dalam kepentingan kelompok semata. Tindakan destruktif ini justru memberi rasa kepastian diri dan membangkitkan identitas kolektif.
Rekonsiliasi Melalui “Maaf dan Janji”
Pembicaraan seputar hal-hal negatif dalam tatanan kehidupan bersama tentunya membangkitkan pengalaman traumatis pada pihak korban. Akan tetapi tidak mungkin kita bisa menghindari kenyataan-kenyataan yang memburui tatanan kehidupan kita.
Energi-energi destruktif tak boleh dianggap sebagai hal yang banal, jika tidak maka bukan tidak mungkin kita akan diperhadapkan terus pada luka traumatis yang semakin melebar. Penggeledaan negativitas traumatis mesti dikakukan bukan untuk mengorek luka lama yang menganga tetapi lebih dari pada itu, lebih untuk memberikan semacam insight tentang bagaimana menjadi individu yang bebas tak mudah diperdaya oleh kepentingan segelintir orang.
Rekonsiliasi atas pertikaian berdarah di tanah Sandosi-Adonara telah dilakukan. Upaya solutif dari pelbagai pihak baik pemerintah maupun dari pihak agama telah dilakukan dan medapatkan titik terang dengan kesepakatan berdamai.
Hannah Arendt melihat dua kemungkinan untuk merehabilitasi pertikaan yakni dengan Memaafkan dan berjanji (F. Budi Hardiman: 2010, hlm. 47). Aneka tindakan destruktif yang menyisakan luka bahkan trauma yang mendalam dalam diri para korban tak mungkin dapat ditarik kembali.
Kita juga perlu mengantisipasi kemungkinan tindakan yang tak dapat diduga kedepannya. Upaya solutif dalam kata memaafkan dan berjanji mengindikasikan kemampuan untuk membebaskan pelaku dari masa lampau yang kelam dan juga menjamin masa depan yang cerah dalam kehidupan komunitas yang kondusif.
Tindakan “memaafkan” berarti mau membuka diri untuk disembuhkan dari perbudakan yang mengikat mereka pada pengalaman traumatis yang menyakitkan pada masa lampau.
Mengampuni berarti kesediaan untuk mengoreksi kesalahan bertindak dan berjanji untuk tidak melakukan kesalahan yang sama di kemudian hari. Pada titik ini dibutuhkan keberanian dan keterbukaan diri untuk memberikan pengampunan dan mengadakan pemulihan (rekonsiliasi). Melalui aktus pengampunan, kita akan mampu membangun komunikasi dan relasi yang baik dengan sesama.
Lebih lanjut, Hannah Arendt menegaskan bahwa tindakan manusia tidak dapat diprediksikan di masa yang akan datang. Oleh karena itu aktus “berjanji” dapat mengontrol sekaligus mengikat setiap kemungkinan tindakan ke depan. Berjanji berarti bersedia membuka sekat-sekat kegelapan hati dan sepenuhnya menjamin sebuah tindakan berdampak baik atau buruk di masa depan.
Kita tentunya mengharapkan bahwa jalannya rekonsiliasi damai yang telah dilakukan menyadarkan kita bahwa kita adalah saudara.
Cara penyelesaian persoalan dengan perang tanding tentunya bertentangan dengan penegakan hukum modern yang bersifat adil. Oleh karena itu perlu adanya penguatan akan peran tokoh adat dalam proses penyelesaian masalah dengan cara-cara yang lebih bijak.
Aktus tindakan memaafkan pelaku berarti mau melupakan kenyataan pahit yang telah dilakukan di masa lalu. Melaluinya, proses rekonsiliasi menuju tatanan kehidupan yang damai akan segera terbuka lebar.
Lebih dari itu aneka pengalaman traumatis yang menyisakan luka yang mendalam pada diri korban akan secara perlahan tersembuhkan. Aktus memaafkan membawa kita kepada kedamaian pikiran dan membebaskan kita dari kemarahan yang korosif. Sedangkan berjanji berarti menyanggupi akan menepati apa yang telah dikatakan atau yang telah disetujui.
Dengan demikian di hadapan setiap orang manusia mampu bertindak bebas tanpa tekanan. Hanya dalam aktus memaafkan dan berjanji, manusia mampu melampaui kecemasannya sendiri.
Secara manusiawi struktur tindakan manusia terarah kepada konteks kehidupan yang aman dan damai. Dengan kata lain tindakan manusia memungkinkan rehabilitasi dalam hidupnya. Dalam konteks inilah manusia akan mengagungkan arti dan nilai hidup. Di sini terdapat pengakuan bahwa yang lain juga berhak hidup seperti dia.
Artikel Lainnya
-
134524/04/2021
-
49821/01/2024
-
7507/07/2024
-
Mencegah Kebangkitan Medusa di Kampus
292213/06/2020 -
Analisis Semiotik Perkembangan Ilmu Pengetahuan dalam Paradigma Islam dan Barat
11419/07/2024 -
Islam, Kolonialisme, dan Orientalisme
54311/07/2023