Kegamangan Intelektual Kampus

Menulis diberbagai platform media massa. Aktivis Pendidikan dan Sosial
Kegamangan Intelektual Kampus 24/11/2025 31 view Lainnya DPP IMM

Pagi itu, sinar matahari baru saja muncul disela-sela dedaunan pohon, menyinari jalan raya yang semalaman diguyur hujan. Aroma aspal jalanan yang mengering terkena sinar matahari meraung menusuk di dada. Bekas ban mobil yang dibakar juga masih berhamburan di tengah jalan tepat di depan kampus. Ban yang dibakar biasanya pertanda adanya aksi sekolompok mahasiswa atau masyarakat, yang dijadikan sebagai simbol perlawanan.

Kampus adalah salah satu tempat pembentukan kematangan berpikir seseorang. Mereka akan diuji dengan berbagai dinamika, mulai dari dinamika kemahasiswaan, birokrasi kampus, dan sampai pada realitas sosial. Daya kritis akan diuji di tempat ini, dalam rangka mencari jati diri seseorang. Buya Syafii Marif menjelaskan bahwa kampus bukan hanya tempat pembentukan aspek akademik, tetapi juga pada pembentukan karakter, kemanusiaan dan keindonesiaan.

Intelektual yang terbentuk dari kampus memiliki peran penting dalam setiap sudut kehidupan manusia. Ada tanggungjawab moral di pundak orang-orang yang disebut sebagai intelektual. Walaupun menjadi seorang intelektual bukanlah labelisasi pasti bagi mereka yang berkecimpung di dunia kampus. Karena sejatinya intelektual menurut Julian Benda adalah mereka yang tidak berada di menara gading.

Azyumardi Azra (semoga Allah merahmati) mengkritik para akademisi kampus yang terlalu sibuk dengan urusan dirinya. Mereka yang sibuk dengan urusan dirinya (mengajar saja) tidak layak disebut sebagai intelektual, namun mereka labih cocok disebut sebagai intelegensia. Yaitu orang yang sibuk dengan dirinya sendiri, tanpa melibatkan diri dalam persoalan realitas sosial.

Intelektual bukanlah sebuah labelisasi yang menjadi legitimasi seseorang atau kelompok dikatakan paling benar. Karena kebenaran sejatinya relative, tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Sebagaimana kisah dua orang yang memperdebatkan angka 6 dan 9. Mereka mempertahankan masing-masing sudut pandangnya, padahal jika mereka berpindah tempat mereka akan menemukan ternyata angka 6 atau 9 ketika dibalik akan berubah 6 menjadi 9 dan 9 menjadi 6.

Dibalik perbedaan pandangan itulah, dibutuhkan titik temu (kalimatun sawa) untuk bersama-sama menjadi intelektual organik dalam konsep Antonio Gramsci. Intelektual organik ialah individu yang lahir dan terhubung langsung dengan kelompok sosial tertentu, bukan sekadar sebagai pengamat pasif.

Apa yang dilakukan oleh mahasiswa dengan aksi demonstrasi adalah bagian dari individu atau kelompok yang lahir untuk membela kepentingan sosial di kampus. Kepentingan yang dimaksud ialah kepentingan yang bersifat egaliter.

Lemahnya Intelektual Kampus

Antonio Gramsci menyebut kamu intelektual organik dengan sebutan intelektual yang tidak netral. Lemahnya intelektual kampus saat ini dalam pandangan Gramsci karena mereka bersifat netral terhadap persoalan yang ada. Gramsci menghendaki seseorang disebut intelektual ketika ia berjuang untuk kelasnya, menciptakan ide-ide baru, dan mengusahakan terjadinya perubahan.

Ketika hal demikian tidak tampak pada warga kampus, berarti intelegensia yang dimaksud oleh Azra adalah benar bahwa mereka hanya memikirkan diri sendiri. Oleh buya Safii Marif menyebutnya sebagai intelektual tukang. Olehnya itu kelemahan intelektual kampus dapat disebabkan karena beberapa hal.

Pertama, mempertahankan status quo yang sudah lama terbentuk di lingkaran pimpinan yang harus taat dan patuh pada pimpinan. Kedua, adanya pandangan untuk focus pada tugas sebagai pengajar, dan tidak ikut pada konflik pimpinan. Ketiga, hilangnya kesadaran kritis terhadap berbagai persoalan yang diakibatkan kenyamanan berada pada zona nyaman. Dan keempat faktor primordial yang membuat intelektual kampus diam dan tak berdaya.

Banyak hal yang membuat intelektual kampus menjadi lemah, namun relaitas di atas menjadi faktor umum kita dapatkan dalam realitas saat ini. Sudjito Atmoredjo memberikan pemahaman bahwa intelektual kampus harus mampu menyelaraskan tiga unsur batiniahnya emosional, intelektual, dan spiritualnya. Ketiganya dipadukan dan difungsikan secara holistik, menyeluruh dan utuh dalam satu pemikiran, sikap, dan perilaku kolektif.

Realitas ini menjadi salah satu tantangan yang berat bagi intelektual kampus. Ia akan diperhadapkan dengan realitas ideologi. Dimana hati dan akalnya bertentangan. Ada keyakinan bahwa, setiap manusia itu peka terhadap kebatilan dan kemungkaran. Namun, itu akan segera menjadi butir-butir debu karena diperhadapkan dengan kebimbangan di dalam realitas diri.

Yang perlu dilakukan oleh intelektual kampus ialah mengembalikan kesadaran teologis dan ideologis untuk menempuh jalan perbaikan. Kesadaran kolektif sangat penting ditonjolkan, untuk melakukan perbaikan. Olehnya itu kembali kepada kesadaran ideologis akan mampu membentuk intelektual baru di lingkungan kampus akan menjadi solusi baru terhadap berbagai persoalan.

Intelektual baru dalam pandangan Azyumardi Azra ialah mereka adalah elan vital dan driving force untuk perubahan masyarakat kampus ke arah kemajuan peradaban. Berkat ilmu pengetahuan, kepakaran, keahlian, pengalaman kehidupan dan kearifan imajinatif, mereka mampu melakukan refleksi tentang kondisi masyarakat kampus dan menawarkan langkah dan terobosan untuk perbaikan dan kemajuan.

Dengan demikian, kembali kepada kesadaran ideologis dan teologis akan menghasilkan intelektual baru dalam mewujudkan masyarakat kampus yang mampu mengayomi semua dan berpihak kepada kemajuan perdaban. Tinggal kita memantaskan diri saja, agar ketika waktunya dating kita sudah siap dengan SDM yang mumpuni. Waullahu a’lam.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya