Restorasi Paradigma Lembaga Sosial Keagamaan

Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Restorasi Paradigma Lembaga Sosial Keagamaan 31/07/2021 1423 view Agama Lampung Post

Zoon Politicon, sebuah adagium Aristoteles yang secara representatif kontekstual menggambarkan kodrat kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Suatu ikhtiar hidup manusia paling elementer guna mengikis keterasingan di muka bumi ini. Demikianlah menanggalkan sikap egoisme dan individualistis jauh hari telah didendangkan agama dan pranata kehidupan kita.

Manusia muskil memenuhi kebutuhan hidupnya jika gemuruh sikap individualistis tak bersegera diredam, dan sikap egoisme yang mesti segera dipenggal. Menyemai tunas altruisme bukan lagi sekadar persoalan pamrih membanggakan diri, tetapi ia telah menjelma etos lelaku hidup yang mengukuhkan cara kita untuk mencapai suatu tujuan serta memenuhi kebutuhan bersama.

Pada titik ini, agama dan eksistensinya hadir dalam rangka menjawab serta memenuhi kebutuhan dasar manusia. Ia memainkan peran sebagai sebuah institusi. Kebutuhan pengetahuan, melahirkan lembaga pendidikan agama. Kebutuhan ritual, melahirkan lembaga serupa mesjid, gereja, dan lain sebagainya. Kebutuhan mengelompok, melahirkan norma dan pranata sosial. Kebutuhan akan kekerabatan melahirkan lembaga pernikahan.

Melalui peran signifikan demikian, lembaga keagamaan tampak menjanjikan solusi atas segala persoalan hidup kekinian umat. Ruang gerak sosialnya pun berupaya menjadi konstruksi ide-ide untuk terus mewacanakan kelindan pemikiran yang kritis, inovatif, dan kreatif. Hanya dengan pemikiran tersebutlah suatu lembaga sosial keagamaan akan terus akomodatif menjawab tuntutan zaman.

Sekelumit Tantangan

Semula, proses pembentukan agama sebagai sebuah institusi didasarkan pada kenyataan terhadap pengetahuan seperangkat nilai dan norma yang terkandung dalam suatu agama. Nilai dan norma itu lalu dipahami sebagai sesuatu yang dapat mengatur kehidupan bersama. “Lembaga agama, suatu sistem kepercayaan yang dapat memberi regulasi dalam tingkah laku sehingga berhubungan dengan hal-hal yang dianggap sakral”. Sergah Emile Durkheim.

Regulasi lembaga sosial keagamaan, dengan demikian menjadi semacam lembaga preventif bagi perilaku amoral. Kenyataan ini perlahan terdistorsi fenomena gerakan mutakhir lembaga sosial keagamaan. Lembaga agama yang seharusnya memuat nilai-nilai keadaban itu, justru tampil mengemuka memosisikan dirinya sebagai pemantik narasi ekstremitas beragama. Di sinilah klaim kebenaran subjektif memainkan peranannya.

Tendensi kebenaran subjektif pada muaranya akan melahirkan sikap fanatisme. Ia melambung menjadi kenyataan destruktif yang semakin mengotori langit-langit keberagamaan kita. Kelompok lain yang tidak seideologi, dianggap telah melanggar titah Tuhan. Klaim provokatif semacam ini justru semakin mendedah jalan konflik antar berbagai kelompok agama.

Ada stigma negatif yang kemudian muncul, bahwa institusi sosial keagamaan menjadi ladang gembur tumbuh suburnya benih radikalisme. Stigma negatif yang tidak hanya mencoreng reputasi institusi sosial keagamaan sebagai wadah alternatif perjuangan umat, tetapi juga memajalkan spirit paradigma ke arah tujuan luhur yang hendak dicapai. Seperti memperkuat solidaritas kerukunan umat beragama yang menjadi penyangga etos keberagamaan kita.

Stigma negatif di atas jauh hari telah ditampik NU dan Muhammadiyah. Dua organisasi sosial keagamaan terbesar di Nusantara itu hingga kini berada di garda depan menyuarakan paradigma Islam Moderat berpamrih perdamaian dan kemanusiaan. Apa yang disebut kekerasan wacana dalam terminologi Aksin Wijaya –untuk menggambarkan sebagian ormas yang bertendensi menggunakan nalar kekerasan –sama sekali berlawanan dengan ruang gerak sosial mereka.

NU dan Muhammadiyah merupakan contoh penyangga ideologi keberagamaan yang eksklusif. Menyuarakan segenap misi kearifan beragama dalam poros dinamika keumatan. Kehadirannya bak oase menyejukkan di tengah hamparan tandus misi ekstremisme keberagamaan mutakhir. Demikianlah seyogianya peran yang harus dimainkan oleh sebuah lembaga keagamaan.

Ia menjadi kontrol kehidupan beragama kala mampu memanifestasikan pemahaman pada publik ihwal beragama yang arif. Pada titik ini, mengupayakan literasi keagamaan mesti segera diagendakan guna membentengi publik dari doktrin keagamaan yang inklusif. Salah satunya dengan mewujudkan kegiatan sawala keagamaan yang dialektis.

Paradigma Baru

Kegiatan sawala keagamaan yang dialektis mengisyaratkan adanya implementasi doktrin yang eksklusif. Di situ, pertukaran ide-ide cemerlang ihwal kehidupan beragama saling menemukan momentumnya, melengkapi satu sama lain. Ia tidak serta-merta menampik argumentasi yang ada, tetapi dikristalisasi terlebih dahulu hingga berakhir pada suatu kesimpulan yang objektif. Dengan demikian tak ada kebenaran otoriter di setiap pergumulan wacana yang ada.

Di titik inilah, teramat penting untuk mempertanyakan kembali konsep paradigma yang hendak dibangun. Apa yang diasumsikan Thomas Kuhn perihal paradigma layak untuk diformulasikan kembali. Seorang fisikawan Amerika dan filsuf yang menulis secara ekstensif itu melihat paradigma sebagai “what the members of a scientific community share, and, conversely, a scientific community consist of men who share a paradigm”. Paradigma merupakan segala hal yang diterima dan ditanggung oleh sebuah masyarakat ilmiah.

Kuhn menilai bahwa paradigma dapat diformulasikan sebagai keseluruhan sistem kepercayaan, nilai teknik yang digunakan bersama oleh kelompok komunitas ilmiah (Ritzer, 2004). Dengan kata lain, paradigma identik sebagai suatu bentuk atau model untuk menjelaskan suatu ide secara jelas. Dari sinilah paradigmanya Thomas Kuhn merupakan suatu cara pandang, metode-metode, nilai-nilai, prinsip dasar atau memecahkan sesuatu masalah yang dianut oleh masyarakat ilmiah.

Sejauh ini, beberapa lembaga sosial keagamaan cenderung dihadapkan pada sebuah persoalan dilematik. Di satu sisi mereka ingin mempertahankan kemurnian pemahaman dan ajaran agamanya, namun di waktu yang sama dunia sosial terus berjalan dinamis. Sehingga mereka pun mengalami kelambatan sosial (social lag). Pada tataran lebih lanjut, berimbas pada agama. Agama kehilangan daya tariknya karena tak mampu berkompromi dengan perkembangan sosial seperti teknologi informasi, dan modernitas.

Apalagi lembaga sosial keagamaan yang berbasis di pedesaan. Transformasi ilmu pengetahuan kepada masyarakat sekitar mesti menjadi perkara wajib untuk ditilik ulang. Tidak hanya membentengi masyarakat dengan pengetahuan agama, tapi juga dengan pengetahuan umum. Hanya dengan mengintegrasikan pelbagai disiplin ilmu pengetahuanlah, horizon wawasan masyarakat akan menjadi luas.

Mereka tidak gampang menjadi komunitas masyarakat yang terprovokasi. Karena mereka telah paham terhadap dinamika sosial keberagamaan melalui konsep paradigma Integrasi-Interkoneksi ilmu pengetahuan. Dengan demikian, Integrasi-Interkoneksi ilmu pengetahuan mesti menjadi konstruksi paradigma yang mesti tersemai di atma adiluhung cita-cita sosial institusi sosial keagamaan.

Hanya seperti itulah, institusi sosial keagamaan dapat mewarnai dan mendorong atas segala perkembangan pengetahuan dan kebudayaan manusia. Akhirnya, institusi sosial keagamaan senantiasa akan terus relevan, mengambil peran signifikan bagi peradaban manusia.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya