Kebenaran Rasional, Hoaks, dan Hari Tipu Sedunia

Mahasiswa STFK Ledalero
Kebenaran Rasional, Hoaks, dan Hari Tipu Sedunia 02/04/2020 2392 view Pendidikan Pixabay.com

Hari Tipu Sedunia (HTS) yang biasa diadakan setiap tanggal 1 April menuai banyak kontroversi di kalangan kaum muda. Saya misalnya, mengamini HTS tersebut sebagai turunan bentuk hoaks. Di sini, kita bisa melihat bahwa hoaks dan HTS mendepak kebenaran faktual dari kebenaran rasional. Pada titik inilah kita dapat membaca bahwa sang penyebar hoaks memakai HTS untuk melegitimasi segala bentuk kebohongannya.

Tentang kebenaran rasional itu sendiri, Hanah Arendth pernah menulis: "Kebenaran rasional terjadi apabila kalangan masyarakat mengerti berita yang dibawa itu sesuai dengan logika berpikir mereka. Dengan kata lain, masyarakat sendirilah yang menentukan kebenaran dari berita tersebut." Kutipan kalimat Arendth tersebut setidaknya mewakili dua hal berikut.

Pertama, kebenaran dikatakan rasional jika ada penanggapnya. Tentu saja di sini kita bisa melihat bahwa masyarakat ialah penanggap kebenaran itu. Artinya, ia baru boleh dianggap benar jika sesuai dengan logika berpikir masyarakat. Pada titik ini, ia mengafirmasi silogisme atau penalaran yang sistematis dan serentak juga menegasi yang tidak logis dari isi pemberitaannya. Inilah yang Arendth sebut sebagai kebenaran rasional.

Kedua, kebenaran itu bisa diakui secara publik bila masyarakat menjadikan dirinya pembaca yang bijak dan kritis. Di sini, masyarakat bukan hanya membaca berita tetapi juga memperhatikan rambu-rambu pengetahuan seperti adanya verifikasi, klarifikasi, interpretasi, dan evaluasi atas berita tersebut. Inilah masyarakat yang bijaksana. Ia tidak hanya berhenti pada satu rambu pengetahuan tetapi ia dituntut untuk kritis dalam membaca berita. Karena itu proses melewati rambu-rambu secara bertahap ialah keniscayaan dan sangat urgen bagi pembaca (baca: masyarakat) yang bijaksana.

Jika hanya berhenti sampai interpretasi dan tidak berusaha mengevaluasi isi berita itu misalnya, masyarakat bisa terjebak pada dualitas pemberitaan: bisa benar - bisa salah. Bahaya bisa nampak bila masyarakat hanya berhenti pada rambu interpretasi saja. Bisa saja untuk konteks ini, ia diperhadapkan dengan berita yang tidak benar sebagaimana mestinya.

Hari-hari ini, berita yang tidak benar sebagaimana mestinya tersebut biasa kita namakan dengan hoaks. Kebenaran dalam berita itu sebetulnya terbatas dan tertentu sehingga ia disebut bohong atau hoaks. Di sinilah kebenaran rasional versi Arendth dipakai secara keliru oleh penyebar hoaks.

Menyitir Arendth, kebenaran rasional berarti informasi-informasi yang disuguhkan di media daring dikatakan benar sejauh ia dapat mendekati logika berpikir publik. Di sini, penyepakan atas logika berpikir yang empiris ialah keniscayaan. Atau dengan kata lain, kebenaran rasional sama sekali tidak mementingkan fakta yang sebenarnya terjadi tetapi ia diterima sejauhmana ia benar secara logis-rasionalistis.

Hemat saya, penyebar hoaks kerap kali terjebak dalam kubangan kebenaran rasional di atas. Keterjebakan ini membuat ia sendiri terikat dengan singularitas kebenaran. Alhasil, kebenaran menjadi tunggal sehingga ia menjadi terbatas dan tertentu saja. Selain itu, ekses domino keterjebakan tersebut ialah munculnya interpretasi tunggal dan keliru atas berita yang diumbar ke ruang publik. Karena interpretasi yang tunggal inilah membuat berita itu menjadi terbatas.

Kendati demikian, yang menarik ialah masyarakat sebagai penerima berita tersebut mudah saja untuk percaya. Hemat saya, kepercayaan masyarakat atas berita tersebut disinyalir oleh tajamnya pisau analisis yang sudah digunakan penyebar hoaks. Pasalnya, sebelum mengekspos berita ke ruang publik (baca: masyarakat), penyebar hoaks tentu saja membuat analisis terlebih dahulu atas berita itu. Analisis tersebut lebih dibaca dalam konteks interpretasinya atas berita itu agar bisa dengan mudahnya diterima begitu saja di tengah masyarakat.

Berkaitan dengan hal ini, Arendth menyebut interpretasi berita dari penyebar hoaks tersebut sebagai kekeliruan dalam memberi kebenaran rasional bagi publik. Tadi dijelaskan bahwa kebenaran rasional menurut Arendth ialah ketika kebenaran itu bisa ditanggapi dan diakui secara logis menurut pikiran masyarakat.

Bisa dipahami di sini bahwa berita hoaks yang diumbar ke tengah masyarakat dibuat sedemikian rupa agar bisa diterima oleh nalar banyak orang. Bahaya terkuak. Masyarakat menjadi korban pemberitaan bahkan dengan kesalahpahaman nalarnya sendiri. Lantas, jika berbahaya, mengapa hoaks tidak pernah putus dalam rantai pemberitaan semacam ini?

Hemat saya, hoaks tidak akan pernah putus jika kita sendiri masih mengakui turunannya. Hari-hari ini pun turunan hoaks masih diterima secara legitim di ruang publik. Kita salah kaprah sebab masih melegitimasi hari-hari tertentu untuk memperingati hoaks tersebut. HTS atau April Mop misalnya, ialah hari khusus yang diperingati setiap tanggal 1 April setiap tahun.

Bisa dibaca di sini bahwa hari tersebut bisa membuat kita keliru memaknainya. Alih-alih membunuh hoaks, banyak juga dari kita memberitakan kabar bohong tersebut pada saat April Mop ini berlangsung. Bahkan alih-alih menstigmatisasi penyebar hoaks, masyarakat pun justru menjadi penyebar kabar bohong saat April Mop terjadi. Pada aras ini, kita mesti mulai bertanya. Siapa sebenarnya penyebar hoaks itu, apakah penyebar hoaks selama ini ataukah masyarakat itu sendiri?

Dalam melampaui hal ini kita diajak untuk merevitalisasi kebenaran rasional Arendth. Kebenaran rasional tersebut bisa salah kaprah jika pembawa berita tidak memberi kebenaran yang sesungguhnya yang sesuai dengan realitas sebenarnya.

Karena itu, kebenaran faktual dibutuhkan di sini. Dua jenis kebenaran ini mesti melekat dalam diri pembawa berita. Jika kita sebagai pembawa berita tersebut, maka kita pun diajak untuk membawa fakta bukan saja membawa kebenaran yang secara logis-rasionalistis diterima publik. Lantas, kapan dua buah kebenaran tersebut menjadi bagian dari diri kita?

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya