KDRT dan Lingkaran Konflik di Dalamnya

Mahasiswa Sosiologi Universitas Wijaya Kusuma Surabaya - Kader GMNI FISIP UWKS
KDRT dan Lingkaran Konflik di Dalamnya 12/10/2024 430 view Lainnya EMA/SUARAJOGJA.IO

Patriarki adalah sistem sosial yang sudah mengakar di masyarakat Indonesia, termasuk di Jawa Timur. Dalam sistem ini, laki-laki dipandang sebagai pemegang kuasa yang mendominasi berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam rumah tangga. Akibatnya, posisi perempuan seringkali menjadi subordinat, hanya dilihat sebagai pelengkap atau bahkan objek yang dapat diatur oleh laki-laki. Konsekuensi dari budaya patriarki ini salah satunya adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), di mana perempuan menjadi korban yang paling rentan. Kekerasan ini dapat berupa kekerasan fisik, psikis, maupun seksual, yang dampaknya tidak hanya dirasakan oleh korban, tetapi juga oleh generasi penerus yang tumbuh di lingkungan tersebut.

Dalam konteks Jawa Timur, provinsi ini menempati urutan kedua tertinggi dalam kasus kekerasan terhadap perempuan setelah Jawa Barat, dengan jumlah korban yang mencapai 1.296 orang dan total 1.491 kasus. Menurut data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, angka ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Ini bukan hanya sekadar angka statistik, tetapi sebuah cerminan dari kondisi sosial yang tidak adil dan memperlihatkan betapa kuatnya hegemoni budaya patriarki di wilayah ini. Data ini memperlihatkan bahwa persoalan KDRT tidak bisa hanya dilihat dari sisi pelaku dan korban saja, tetapi perlu disoroti akar budaya yang melanggengkan ketimpangan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan.

Mencari Akar Permasalahan

Budaya patriarki bukanlah satu-satunya faktor yang melatarbelakangi tingginya kasus KDRT di Jawa Timur. Ada banyak faktor lainnya yang berperan sebagai penyebab dan pemicu, seperti faktor ekonomi, ketimpangan akses pendidikan, rendahnya pengetahuan tentang hak-hak perempuan, serta konstruksi sosial yang menganggap kekerasan sebagai cara menyelesaikan masalah. Dari perspektif ekonomi, misalnya, banyak kasus KDRT yang dipicu oleh ketidakstabilan keuangan keluarga. Laporan dari Financial Planning Willy Filosofi menyebutkan bahwa masalah ekonomi adalah penyebab utama terjadinya KDRT di Jawa Timur.

Namun, membingkai KDRT hanya sebagai akibat dari masalah ekonomi tentu sangat simplistis. Hal ini dapat menimbulkan anggapan bahwa KDRT hanya terjadi pada kelompok masyarakat dengan ekonomi lemah, padahal kenyataannya kekerasan bisa terjadi pada semua lapisan sosial, terlepas dari status ekonomi, pendidikan, maupun budaya. Pandangan sempit ini justru akan menyulitkan penanganan KDRT, karena solusi yang ditawarkan pun akan bersifat parsial tanpa mengatasi akar masalahnya, yaitu relasi kuasa yang timpang dan kurangnya pemahaman akan hak-hak perempuan.

Solusi yang Lebih Efektif?

Pemerintah Provinsi Jawa Timur telah berupaya untuk mengatasi tingginya angka KDRT melalui program-program seperti POS SAPA, yang dirancang sebagai inovasi untuk memberikan layanan cepat tanggap dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan. Selain itu, ada pula pelatihan peningkatan kapasitas perempuan korban kekerasan yang melibatkan Dinas Sosial dan Pendidikan. Meskipun upaya-upaya ini patut diapresiasi, sayangnya efektivitasnya masih dipertanyakan.

Data menunjukkan bahwa masih banyak kasus KDRT yang tidak terungkap karena korban enggan melapor. Ada beberapa alasan yang mendasari hal ini. Pertama, sebagian besar korban atau keluarga korban tidak mengetahui keberadaan lembaga penyedia layanan karena kurangnya sosialisasi dan keterbatasan akses informasi. Kedua, adanya stigma yang menyalahkan korban sebagai penyebab kekerasan membuat banyak perempuan merasa malu atau takut untuk melapor. Ketiga, KDRT sering dianggap sebagai "aib keluarga" sehingga lebih baik disembunyikan daripada dibawa ke ranah publik.

Dari sini terlihat bahwa program-program yang ada saat ini belum mampu mengatasi hambatan-hambatan struktural yang membuat korban KDRT memilih untuk diam. Sosialisasi yang lebih masif dan komprehensif perlu dilakukan untuk memperkenalkan keberadaan dan fungsi lembaga-lembaga tersebut ke seluruh lapisan masyarakat. Lebih dari itu, harus ada pendekatan kultural yang mengubah cara pandang masyarakat terhadap KDRT sebagai masalah privat, menjadi sebuah permasalahan publik yang harus segera diselesaikan.

Perspektif Baru

Untuk menurunkan angka KDRT di Jawa Timur, pendekatan yang digunakan tidak bisa hanya bersifat reaktif, seperti menunggu kasus terjadi dan kemudian memberikan bantuan hukum atau medis. Yang lebih dibutuhkan adalah pendekatan proaktif yang berfokus pada pencegahan kekerasan melalui pemberdayaan perempuan dan perubahan pola pikir di masyarakat. Program-program pencegahan seharusnya lebih menitikberatkan pada edukasi gender di kalangan anak-anak dan remaja, baik di sekolah maupun di lingkungan keluarga. Melibatkan tokoh masyarakat dan agama dalam mengubah persepsi tentang peran perempuan juga bisa menjadi langkah strategis dalam menciptakan lingkungan yang lebih aman dan setara bagi perempuan.

Evaluasi terhadap kebijakan dan program yang ada juga perlu dilakukan secara berkala. Pemerintah seharusnya tidak hanya berfokus pada jumlah kasus yang berhasil ditangani, tetapi juga pada sejauh mana program tersebut mampu mencegah terjadinya kasus-kasus baru. Peningkatan kualitas sumber daya manusia yang terlibat dalam pelayanan dan pengelolaan kasus KDRT, termasuk psikolog, konselor, dan petugas hukum, perlu diperhatikan agar mereka dapat memberikan pelayanan yang lebih maksimal.

Komitmen dan Kolaborasi

Kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan di Jawa Timur bukanlah masalah yang bisa diselesaikan dengan cepat atau oleh satu pihak saja. Diperlukan komitmen dan kerja sama dari berbagai elemen masyarakat, termasuk pemerintah, organisasi non-pemerintah, komunitas lokal, serta masyarakat umum, untuk menciptakan perubahan. Ketika budaya patriarki yang menempatkan perempuan sebagai subordinat mulai terkikis, ketika masyarakat mulai melihat KDRT sebagai masalah sosial yang harus diatasi bersama, barulah kita bisa berharap melihat penurunan angka kekerasan yang signifikan.

Oleh karena itu, evaluasi kebijakan, peningkatan kualitas layanan, serta perubahan budaya melalui pendidikan gender yang berkelanjutan harus menjadi fokus dalam upaya menangani KDRT di Jawa Timur. Hanya dengan cara ini, perempuan-perempuan korban KDRT dapat benar-benar mendapatkan perlindungan dan keadilan yang mereka butuhkan, dan kita semua dapat hidup di lingkungan yang lebih aman dan berkeadilan sosial.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya