Sang Pembaharu Islam Desa Tambaksumur Sidoarjo

Mahasiswa Filsafat
Sang Pembaharu Islam Desa Tambaksumur Sidoarjo 15/07/2023 548 view Agama dream.co.id

Desa Tambaksumur merupakan desa yang terletak di Kecamatan Waru, Kabupaten Sidoarjo. Desa ini dihiasi oleh tradisi dan budaya Kejawen yang kuat pada mulanya, tapi kemudian berubah menjadi luar biasa dari sisi spritualitas keislamannya. Di tengah-tengah perjalanan panjang sejarah perubahannya, salah seorang tokoh yang menjadi sentral ialah Mbah Zainal Abidin.

Dalam artikel ini kita akan menelusuri bagaimana Mbah Zainal Abidin memimpin pembaruan Islam di Desa Tambaksumur. Melalui artikel ini kita akan memahami bagaimana beliau menyatukan nilai-nilai agama dengan warisan tradisi lokal dan mengungkap bagaimana beliau menginspirasi masyarakat untuk kemudian mengikuti jalan kehidupan yang lebih suci. Kisah ini merupakan kisah yang disampaikan secara turun-temurun (oral history).

Mbah Zainal Abidin adalah sosok pahlawan agama yang membawa cahaya Islam ke Desa Tambaksumur. Mbah Zainal Abidin adalah seorang pribumi yang lahir di desa itu, namun kemudian melakukan pengembaraan ilmu dari satu daerah ke daerah yang lain. Dan atas pengembaraannya tersebut, beliau kemudian diakui sebagai seorang kyai dan cendekiawan yang amat disegani.

Sebagai seorang kyai dan cendekiawan yang mendalam, Mbah Zainal Abidin mengamati dan memahami betapa pentingnya pembaruan agama di tengah masyarakat tempat kelahirannya. Masyarakat desa yang kental dengan tradisi dan budaya Kejawen yang mengakar, tidak jarang beberapa di antaranya melanggar syariat Islam. Untuk itu, dengan penuh semangat dan visi yang jelas, beliau bersama sang istri, Nyai Ummu Kulsum, memulai perjuangan yang menantang untuk mengubah kehidupan religius masyarakat Desa Tambaksumur menjadi lebih mendalam dan berlandaskan Islam sebagaimana mestinya.

Pada abad ke-12 H atau sekitar tahun 1749-1750 M, Kyai Zainal Abidin memulai perjalanan menuju perubahan yang signifikan. Beliau menyebarkan pengetahuan agama yang komprehensif kepada penduduk desa, mengajarkan ajaran Islam yang murni dan dasar dengan bahasa penyampaian yang sederhana. Beliau menyampaikan semua itu melalui tembangan-tembangan Jawa yang biasa dilantunkan pada jeda antara azan dan iqamah, petuah-petuah singkat dalam acara kenduri, slametan, yasinan, dan sejenisnya.

Tidak hanya itu, Mbah Zainal Abidin juga menggabungkan nilai-nilai lokal dengan prinsip-prinsip Islam, dengan membuktikan bahwa keduanya dapat hidup berdampingan dan saling melengkapi. Beliau tidak serta merta menghapus tradisi dan budaya Kejawen yang telah mengakar dalam jati diri masyarakat, apalagi menghina dan merendahkan. Sebagaimana para walisongo, beliau melakukan akulturasi, yakni mengganti beberapa orientasi dan komponen yang ada dalam tradisi dan budaya Kejawen menjadi bernafaskan Keislaman.

Perubahan ini tentu tidaklah mudah. Masyarakat Desa Tambaksumur, yang telah lama terikat dengan tradisi Kejawen, awalnya menunjukkan resistensi terhadap perubahan ini. Terdapat sebagian dari masyarakat yang merasa bahwa apa yang diinovasikan oleh Mbah Zainal Abidin melenceng dari ajaran para leluhur. Namun, dengan kebijaksanaan, ketekunan, dan karisma Mbah Zainal Abidin, mereka mulai membuka pikiran dan hati mereka.

Melalui ceramah, pembicaraan agama yang menginspirasi, serta tradisi seperti slametan dan yasinan yang rutin dilaksanakan, orang-orang mulai menyadari keindahan dan kedalaman ajaran Islam yang sejati serta manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari. Mbah Zainal Abidin mengawali dengan seolah-olah memuliakan ajaran terdahulu, namun kemudian menyisipkan ajaran Islam yang sebagaimana mestinya sedikit demi sedikit sebagai yang lebih tepat dan adiluhung.

Setelah usaha dan keistiqomahan berpuluh-puluh tahun berlalu, Desa Tambaksumur mengalami transformasi yang luar biasa. Masyarakatnya berangsur-angsur mengadopsi ajaran Islam sejati sambil tetap mempertahankan nilai-nilai budaya lokal mereka. Tempat-tempat ibadah yang indah dan kokoh berdiri di desa, menjadi simbol dari perubahan spiritual yang terjadi. Etika dan moralitas yang kuat mewarnai interaksi sosial, dan kesalehan juga menjadi pijakan utama dalam pengambilan keputusan sehari-hari.

Masyarakat desa yang pada mulanya menyandarkan dan mendasarkan apa-apanya berdasarkan opo jare mbah-mbah biyen (apa kata para leluhur), menjadi opo jare kanjeng nabi (apa kata baginda nabi). Hal tersebut tentu nerupakan perubahan yang luar biasa, di mana masyarakat yang dahulunya mengakar kuat dengan tradisi dan budaya Kejawen, menjadi masyarakat yang Islami. Adapun tradisi dan budaya yang berasal dari Kejawen yang masih berjalan, substansi dan orientasinya sudah bernafaskan Keislaman.

Misalnya, tradisi ruwat desa, salah satu tradisi Islam-Kejawen yang telah ada sejak lama dan masih dipertahankan dengan mengadaptasi elemen-elemen Islami yang dilaksanakan pada malam 1 Muharram, atau malam 1 Suro. Dalam tradisi ini, masyarakat mengelilingi desa dengan membawa lampu-lampu sebagai pengganti obor, sambil mengumandangkan azan di setiap sudut perbatasan desa. Dan seiring perkembangan zaman, ditambahkan pula sholawat al-banjari yang didendangkan saat mereka berkeliling desa. Acara ini kemudian diakhiri dengan makan bersama dan dihiasi dengan pesta kembang api yang menambah kegembiraan dan keceriaan suasana, yang mana sebelumnya ialah persembahan sesaji kepada para lelembut.

Namun, pada usia 105 tahun, kyai Zainal Abidin, sang tokoh yang mengilhami perubahan ini menghembuskan nafas terakhirnya. Sehingga, untuk mengenang jasa-jasanya, selain menyematkan nama beliau sebagai nama jalan utama desa Tambaksumur, masyarakat juga mengadakan acara Haul Mbah Zainal Abidin rutin setiap tahun. Acara ini menjadi penghormatan dan rasa syukur atas kehadiran Mbah Zainal Abidin dalam sejarah masyarakat desa Tambaksumur.

Salah satu ungkapan yang membekas dalam benak masyarakat setempat: “aja dadi wong sing rumangsa gedhe, nanging dadia wong sing gedhe rumangsane.” (Janganlah menjadi orang yang merasa besar, tetapi jadilah orang yang besar merasanya). Maknanya, sudah semestinya kita menjauhkan diri dari sifat sombong dan egosentris, serta mengutamakan sikap rendah hati dan menghargai orang lain. Kehidupan bukanlah sekadar tentang diri kita sendiri, tetapi juga tentang bagaimana kita berkontribusi untuk kebaikan hidup bersama orang lain.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya