Kaum Idealis dan Mimpi Indah di Siang Hari
Dunia tidak secerah dan seindah yang kita bayangkan, seperti cerita-cerita dongeng yang sering dibacakan ibu untuk anaknya yang sulit tidur di malam hari.
Politik juga demikian, tidak sesederhana tentang siapa yang berkuasa dan siapa yang dikuasai. Atau bahkan sesederhana konsep pertemanan yang sering disuguhkan dalam cerita animasi anak-anak. Politik lebih gelap dari semua itu. Di dalamnya tidak mengenal istilah jasa dan budi, tidak mengenal teman atau lawan, dan yang terpenting, tidak mengenal harga diri maupun prinsip. Semuanya tergantung pada bagaimana seseorang bisa berkuasa dan memanipulasi masyarakat atau rakyat yang akan ia kuasai demi memperoleh keuntungan untuk dirinya dan keluarganya. Jika tidak jeli dalam mencerna dan menyaring siapa lawan dan siapa teman yang berpihak padamu, maka lambat laun kau akan ditusuk dari belakang. Tidak ada teman sejati dan tidak ada musuh abadi; semuanya tergantung waktu dan tergantung pada apa yang dapat kau berikan sebagai keuntungan bagi mereka yang ingin kau jadikan teman.
Tentang demokrasi, juga sama saja. Tidak ada keindahan dan pengharapan di dalamnya. Demokrasi sama gelap dan cacatnya sebagai sebuah sistem pemerintahan. Bahkan Aristoteles pun mengkritik habis-habisan sistem ini karena di dalam demokrasi, orang bodoh pun memiliki kesempatan untuk memimpin. Semuanya hanya berdasarkan pada suara mayoritas dan minoritas serta kredibilitas seseorang. Seorang pemimpin dinilai dari seberapa populernya ia di suatu tempat, bukan berdasarkan kualitas yang ia miliki dalam memanajemen suatu daerah. Singkirkan pendapat kaum idealis yang selalu melarikan diri dari kenyataan, yang selalu mencita-citakan demokrasi ideal dan semua omong kosong yang mereka ocehkan kepada rakyat. Mereka, dengan bodohnya, percaya bahwa setelah mimpi buruk ini berakhir, akan ada harapan di baliknya. Namun, realita tidak memberikan keindahan semudah dan sesederhana itu. Ini semua tentang bagaimana kamu, aku, dan dia—siapa yang paling ahli dalam memanipulasi seseorang yang dengan lugu dan bodoh percaya dengan janji omong kosong seperti itu.
Lalu, tentang semua permasalahan yang terjadi baru-baru ini: tentang pemerintah, para prajurit atau TNI, supremasi sipil, dan seorang idealis yang percaya bahwa orang-orang di bawahnya juga memiliki prinsip yang sama dalam membangun negara yang ia cintai. Padahal, ia lupa bahwa orang-orang yang ia gandeng itu adalah harimau yang siap menerkamnya kapan saja jika ia tidak memberi mereka makan tepat waktu.
Semua argumen dan pendapat ini saya sampaikan dalam risalah kali ini karena cukup miris melihat apa yang terjadi saat ini. Di satu sisi, kaum idealis mulai turun ke jalan, dan di sisi lain, pemerintah mulai gila dengan berbagai kebijakan tolol yang mereka buat. (Iya, tolol. Untuk apa lagi menjaga moral dan etika di tengah kekacauan ini?) Tanpa mencoba mendiskreditkan siapa pun, saya mengajak kita semua untuk tetap logis dan kritis, meskipun itu sulit karena amarah besar rakyat (mahasiswa dan kaum terpelajar) yang sedang memenuhi negeri ini. Itulah yang terjadi ketika kita terlalu mudah termakan omongan dan propaganda kaum idealis yang selalu mengumandangkan revolusi dan reformasi tanpa sedikit pun pernah berdiskusi dengan masyarakat sipil yang mereka jual demi idealisme mereka itu.
Coba lihat dengan jelas ketika demo-demo atau aksi massa terjadi. Tidak ada penyelesaian yang diharapkan, tidak ada resolusi yang diinginkan. Mengapa? Karena tidak ada komunikasi dua arah antara aktivis dan masyarakat, tidak ada diskusi, dan lain sebagainya. Sehingga ketika mahasiswa sibuk berdemo, masyarakat sibuk bekerja demi keberlanjutan hidup mereka. Argumen ini pernah dibantah oleh salah satu mahasiswa yang saya ajak berdiskusi. Dia mengatakan, "Itu terjadi karena kami tidak diberi waktu untuk mendiskusikan dengan masyarakat tentang bahaya dan krisis yang dialami negara ini." Sebuah pendapat yang sangat idealis, seperti yang diharapkan. Namun, belakangan, kekaguman saya kepada orang itu menghilang setelah mengetahui bahwa dalam program kerja KKN-nya, ia hanya membahas kebersihan kelas dengan anak SD. Di mana sosialisasi tentang demokrasi kepada masyarakat yang ia wakili? Di mana diskusi dua arah tentang kebobrokan demokrasi di negara ini? Semua itu ternyata tidak pernah terjadi.
Jika semua itu tidak pernah kamu lakukan untuk masyarakat, jangan mencita-citakan reformasi atau apapun itu, karena kamu hanya akan mengulang hal yang sama, hanya dengan orang yang berbeda. Atau bahkan, kamu sendiri yang akan menjadi pelakunya. Seperti yang saya katakan di awal, negara tidak sesederhana pemikiranmu yang bahkan tidak lulus mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan. Negara itu sangat kompleks. Di dalamnya terdapat sebuah sistem yang berjalan. Dan ketika kamu ingin merevolusi sesuatu atau negara, kamu juga harus memikirkan sistem seperti apa yang nantinya akan kamu dan rekan-rekanmu buat untuk menggantikan sistem yang saat ini kalian kritik dan ingin ganti. Karena jika kalian hanya ingin mereformasi orang-orang yang bergerak dalam sistem yang kalian kritik, itu sama saja kalian tidak usah bicara omong kosong tentang idealisme di siang bolong.
Artikel Lainnya
-
201923/03/2021
-
226930/06/2020
-
157318/12/2021
-
Menelisik Eksistensi Perempuan Dari Pembangunan Pabrik Semen (Part 2 - Selesai)
161117/06/2020 -
Seni Mencintai Ala Erich Fromm
247225/03/2022 -
Meningkatkan Kedisiplinan Berlalu Lintas
34625/05/2024
