Menelisik Eksistensi Perempuan Dari Pembangunan Pabrik Semen (Part 2 - Selesai)
Pada bagian ini, saya mencoba menjangkar analisis-argumentasi pada dua pertanyaan penting yang belum dijawab pada bagian pertama dari tulisan saya. Dua pertanyaan penting tersebut yakni, apakah mereka (perempuan) diuntungkan atau justru malah sebaliknya, kelompok perempuan terekslusi (disingkirkan) dari dinamika pembangunan pabrik semen di kemudian hari? Jika demikian, apakah pembangunan pabrik semen sangat tepat sebagai kebijakan yang relevan mengakomodir kepentingan perempuan?
Untung dan Buntung Pabrik Semen
Polemik perihal rencana pembangunan pabrik semen masih terus diperdebatkan. Suka atau tidak, rencana pembangunan mesti harus mendapatkan tempat untuk diperdebatkan. Meminjam kalimat Ralf Dahrendorf (1986), kurangnya perdebatan berarti kurangnya perhatian, stimulus dan kemajuan.
Saya kira ini penting, apalagi menyangkut masa depan masyarakat luas. Sehingga perdebatan konstruktif-analitis menemukan relevansinya ketika mampu menawarkan alternatif gagasan guna meminimalisir resiko (destruktif) dari pembangunan.
Begitu pun rencana pembangunan pabrik semen, perlu mendapat tempat untuk diperdebatkan. Namun sejauh amatan saya, perdebatan pembangunan pabrik semen (sejauh ini) sedikit sekali menyentil eksistensi perempuan dan pelibatan mereka.
Pada bagian pertama tulisan saya, kita telah menemukan (setidaknya) posisi perempuan dari pembangunan pabrik semen. Sementara pada bagian ini kita musti mengkritisi lebih serius upaya menelaah untung dan buntung pembangunan pabrik semen terhadap eksistensi perempuan.
Jika kita mengamati rencana pembangunan pabrik semen lebih serius, (menurut saya) kehadiran pabrik semen tidak berimplikasi terhadap peningkatan ekonomi masyarakat, terutama kalangan perempuan. Dalam konteks yang terbatas, kelompok perempuan tidak terakomodir dengan baik dan tidak mendapatkan porsi (pekerjaan yang menjanjikan) dari pembangunan pabrik semen.
Saya melihat (meskipun ada untung terhadap kelompok perempuan) misalnya, dengan adanya pabrik semen (kelompok perempuan) bisa membuka warung/kios disekitar tempat pabrik semen dan menjadi pekerja kebersihan (seperti menyapu). Namun lagi-lagi saya merasa pesimis dengan kesempatan kerja seperti ini, karena menurut saya tidak akan bertahan dan tidak menjanjikan dalam jangka waktu yang lama.
Ibu-ibu di daerah sekitar lokasi pabrik semen sangat tidak mungkin memiliki prospek dari pekerjaan membuka warung/kios dan bekerja sebagai pembersih. Inilah pekerjaan yang bisa mereka lakukan ditengah pembangunan pabrik semen.
Sementara jika melihat pekerjaan mereka sebagai petani, ada pekerjaan yang menjanjikan di masa depan yang dapat mereka lakukan, dan ada penghasilan dari usaha bertani atau beternak. Pekerjaan sebagai petani, dalam realitas ekonomi masyarakat di tingkat lokal, memberikan dampak bagi peningkatan kesejahteraan hidup.
Namun, hadirnya pabrik semen di daerah tersebut dengan sendirinya mendepak mereka dari pekerja sebagai petani. Kemudian menjadi kelompok yang tidak memiliki pekerjaan sama sekali. Konsekuensinya semakin jelas, pendapatan mereka sangat menurun akibat tidak terakomodir dari pembangunan pabrik semen.
Implikasi seperti tidak terserapnya kelompok perempuan dari pembangunan pabrik semen akan mengakibatkan meluasnya ‘ketimpangan’ ekonomi dan sosial di dalam masyarakat. Bahkan yang paling parah (menurut saya) kondisi ketimpangan ini akan dialami oleh kelompok perempuan (janda) karena tidak terserap dengan baik dari pembangunan pabrik semen.
Alih-alih pembangunan pabrik semen menghadirkan kesejahteraan terhadap peningkatan ekonomi, justru yang ada sebaliknya. Sadar atau tidak, ada suatu kondisi dalam masyarakat yakni ketimpangan. Hal ini disebabkan karena ‘pemerataan’ yang di dapat dari pembangunan pabrik semen tidak terserap dengan baik oleh masyarakat, karena ada kelompok lain (perempuan) yang tidak terinklusi dari pembangunan pabrik semen.
Kondisi seperti ini akan semakin parah tatkala dominasi korporasi selain mendominasi ekonomi lokal di satu pihak, dan dipihak menentukan keberlanjutan ekonomi lokal. Karena masyarakat telah bergantung (dependence) terhadap pabrik semen. Dan lebih parahnya lagi, masyarakat sadar atau tidak, lama kelamaan, dominasi korporasi mampu menyerobot dan masuk sampai pada entitas sosial-kultur masyarakat di daerah itu.
Pada titik inilah (menurut saya), kelompok perempuan sangat sulit mendapatkan pekerjaan karena diversifikasi ekonomi lokal (terutama di dekat pabrik semen) hanya terbatas pada ketergantungan lapangan pekerjaan dan pendapatan dari pabrik semen.
Sedangkan untuk menopang keberlanjutan ekonomi mereka di masa depan, yakni tanah sebagai sumber hidup telah dieksploitasi sebagai bahan dasar semen. Sehingga menurut saya, narasi yang didengungkan sebagian masyarakat, ‘manusia melahirkan, sedangkan tanah tidak’ sangat berkorelasi di satu sisi dengan kebutuhan akan tanah dan sementara di pihak lain adanya peningkatan populasi manusia di masa depan.
Saya kira logika seperti ini sangat tepat diuraikan dalam melihat dan mengkritisi rencana pembangunan pabrik semen. Masyarakat yang bekerja sebagai petani, sumber penghidupan yakni tanah. Untuk alasan itu, mempertahankan tanah sebagai sumber bagi keberlanjutan hidup di masa depan sangat penting.
Di sini saya ingin mengutip satu kalimat yang sangat berharga dan penting dari Scott, “mereka bukan lagi melulu kaum tak berarti yang hanya dihitung sebagai penghasil bahan makanan serta pembayar sewa dan pajak atau kaum emosional yang bolak-balik liar antara sikap pasif yang memuakkan dengan kemarahan yang membabi-buta” (James. C. Scott; 1993:320).
Namun bagi saya, mereka (kelompok petani perempuan) merupakan representasi dari masyarakat yang memerlukan ruang hidup dan apa yang menjadi kepemilikan mereka diakui, dimanfaatkan dan dikelolah sesuai dengan tingkat kebutuhan bagi kesejahteraan diri mereka, hari ini dan di masa depan.
Kebijakan Yang Tidak Tepat
Kehadiran pembangunan pabrik semen merupakan suatu kebijakan yang tidak tepat. Sementara ketergantungan ekonomi masyarakat, terutama kelompok perempuan bukan pada pekerjaan sebagai buruh pabrik semen, melainkan sebagai petani.
Kita tentu mendengar upaya ibu-ibu Kendeng memperjuangkan penokalan pabrik semen karena merasa bahwa kehadiran pabrik semen justru menciptakan malapetaka yang jauh lebih destruktif, bukan saja hanya terbatas pada ekonomi, budaya dan ekologi, tetapi kemanusiaan. Berangkat dari situasi dan kondisi yang dialami ibu-ibu Kendeng, semestinya hal itu perlu disikapi, baik oleh masyarakat di sekitar pabrik semen maupun pemerintah daerah.
Bagi saya, mendorong usaha pertanian dengan cara mengintensifkan pertanian jauh lebih baik bagi keberlangsungan hidup masyarakat di daerah tersebut. Dengan cara itulah, saya kira kelompok perempuan mendapatkan hak mereka sebagai bagian dari masyarakat yang tentu harus memperoleh perhatian.
Artikel Lainnya
-
174603/12/2020
-
9028/08/2024
-
145805/05/2021
-
Tindak Lanjut KTT-G20; Mengintegrasikan SDG’s melalui “One Health”
45923/11/2022 -
Menyingkap Dimensi Spiritualitas Ibadah Haji
8907/08/2024 -
Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI): Pahlawan atau Penyusup?
139910/08/2020