Kasus Djoko Tjandra; Jalan (Buntu?) Mereformasi Birokrasi Kita
Harapan agar birokrasi dan aparat di negeri ini bisa bekerja secara optimal, bersih, dan berintegritas sepertinya masih selalu menjadi tanda tanya besar. Agenda reformasi birokrasi selalu berkumandang di setiap rezim, bahkan saat ini sudah ada satu kementerian khusus yang membidanginya. Tapi sekali lagi, harapan dan cita-cita itu kelihatannya masih sangat jauh dari realisasinya bila melihat fakta-fakta yang sudah dan sedang tersaji di depan mata.
Nama Djoko Tjandra tiba-tiba mencuat lagi belakangan ini. Sekadar mengingatkan, Djoko Tjandra adalah seorang buron kasus korupsi yang sudah menghilang belasan tahun lamanya. Ia sudah divonis bersalah pengadilan, namun sebelum putusan tersebut dieksekusi, ia sudah terlebih dulu kabur ke luar negeri.
Yang membuat publik geram, ketika diketahui bahwa ternyata ia sudah beberapa kali keluar masuk Indonesia. Tak hanya itu, ia bahkan masih sempat-sempatnya membuat e-KTP, paspor, surat perjalanan dan mengajukan PK tanpa ada yang sadar bahwa ia adalah buron kelas kakap yang seharusnya segera ditangkap.
Bila masyarakat awam masih banyak yang mengeluhkan pembuatan dokumen administrasi kependudukan semacam e-KTP dan paspor yang dianggap ribet dan memakan waktu yang lama, tidak demikian halnya bagi Sang Joker (sebutan Djoko Tjandra). Ternyata ia hanya butuh waktu kurang dari satu jam untuk mendapatkan e-KTP atas namanya sendiri. Hebat, bukan?
Birokrasi kita
Kasus Djoko Tjandra ini tentu saja kian memperburuk persepsi publik atas kinerja aparat dan birokrasi kita. Tudingan bahwa birokrasi korup, bisa dibeli, dan sebagainya seolah-olah langsung terkonfirmasi lewat kejadian ini. Kinerja aparat penegak hukum kita juga sama saja. Menjadi tanda tanya besar, bagaimana mungkin seorang buron yang sudah divonis bersalah pengadilan bisa bebas berkeliaran keluar-masuk di negeri ini tanpa menjalani hukuman?
Beban berat kembali ditimpakan ke atas pundak aparat dan birokrasi kita. Upaya meraih kembali kepercayaan dan simpati publik kian hari terasa kian sulit. Semakin hari, aparat dan birokrasi kita semakin kehilangan wibawanya. Publik kian sinis bahkan skeptis. Birokrasi dianggap tidak berguna, hanya menghabiskan keuangan negara.
Lebih parahnya lagi, publik akan dengan mudah membuat generalisasi. Ibarat nila setitik, rusak susu sebelanga. Gara-gara ulah sebagian aparat membuat publik menyimpulkan bahwa sudah tidak ada lagi sama sekali aparat hukum/birokrasi kita yang berintegritas dan layak dipercaya.
Pandangan tersebut memang kurang tepat, meskipun di saat yang bersamaan tidak bisa pula disalahkan seratus persen. Pandangan itu muncul karena kinerja aparat hukum/birokrasi kita memang sudah lama selalu menjadi sorotan. Kasus Djoko Tjandra bukanlah satu-satunya bukti yang menunjukkan rendahnya integritas aparat kita. Masih banyak kasus lain.
Belum lagi berbicara soal pelayanan publik di tingkat paling bawah. Sebut misalnya pembuatan dokumen kependudukan. Saya sudah singgung sebelumnya, Djoko Tjandra hanya butuh waktu kurang dari satu jam untuk membuat e-KTP. Bandingkan dengan kebanyakan warga kita yang beberapa waktu lalu sempat harus antri bahkan berhari-hari harus bolak-balik datang ke kantor dan ditolak dengan alasan kehabisan blanko, dan sebagainya. Bukankah ini bentuk diskriminasi antar sesama warga?
Padahal, aparat dan birokrasi kita dibiayai dari keuangan negara. Nah, sumber keuangan negara terbesar salah satunya dari pajak yang dibayar oleh rakyat. Contoh: warga miskin saat membeli rokok sudah ikut membayar pajak yang diperhitungkan pada harga jual rokok. Begitu pula saat mereka rutin membayar PBB (pajak bumi bangunan), dan sebagainya. Kalau begitu, bukankah semestinya seluruh (bukan sebagian) warga memang memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan optimal dari aparat dan birokrasi kita?
Masalah Sistem
Pasca terungkapnya kasus Djoko Tjandra, para pemimpin memang sudah mengambil langkah-langkah tegas. Mereka yang terlibat serta bertanggung jawab sudah dicopot dari jabatannya dan masih diproses lebih lanjut. Ada lurah yang membantu proses pembuatan e-KTP serta beberapa pejabat di kepolisian. Publik masih menunggu siapa lagi yang akan menjadi “korban” akibat dari kasus ini.
Persoalannya, langkah-langkah tegas mencopot para pejabat dari jabatannya jelas bukanlah satu-satunya pembelajaran yang diharapkan dari kasus ini. Lebih dari itu. Pencopotan dari jabatan bisa dikatakan hanyalah bentuk respon langkah jangka pendek. Yang jauh lebih penting adalah, langkah apa yang bisa dilakukan untuk tujuan jangka panjang? Tujuannya, memastikan kasus-kasus serupa tidak lagi terulang di masa mendatang.
Ketika banyak aparat dan birokrasi masih terlibat dan berulang kali melakukan praktik diskriminasi bahkan terindikasi korupsi, jelas ada masalah besar dalam sistem kita. Menurut saya, ini yang perlu diungkap dan dicarikan solusinya.
Sebagai seorang ASN, saya melihat persoalan birokrasi korup ibarat wabah sekaligus warisan yang bisa diturunkan dari satu generasi ke generasi yang lain. Lama kelamaan, perilaku korup seperti sudah dianggap biasa dan wajar. Yang tidak wajar dan janggal justru bila ada yang berusaha untuk tidak mau terlibat di dalamnya. Menerima bahkan berusaha mencari uang meski dengan cara yang curang seolah menjadi kebiasaan.
ASN terutama yang berada pada level bawahan ibarat hidup dalam lingkaran setan yang sulit sekali lepas darinya. Ingin melawan tapi takut terkucilkan bahkan disingkirkan. Dilema.
Saya berasumsi, bila sebuah institusi dipimpin oleh sosok yang korup, hampir dapat dipastikan jajaran di bawahnya sedikit banyak akan mengikuti. Seperti kata pepatah, ikan busuk dimulai dari kepalanya.
Dalam kasus Djoko Tjandra, patut ditelusuri lebih mendalam keterlibatan para pimpinan yang lebih tinggi lagi. Kita kuatir nama-nama yang sudah terungkap ke publik dan sudah dicopot dari jabatannya bukanlah aktor utama kasus ini melainkan hanya sekadar eksekutornya saja. Bukankah hal-hal semacam ini yang sudah sering terjadi dan selalu berulang?
Lalu, bagaimana upaya pembenahannya? Saya teringat salah satu kalimat yang sering diucapkan oleh Ahok di berbagai kesempatan, “Kalau atasannya lurus, bawahan tidak berani tidak lurus”. Oleh sebab itu menurut saya, sebuah sistem birokrasi akan lebih cepat bisa dibenahi bila dipimpin oleh sosok yang jujur, berani dan berintegritas.
Kasus Djoko Tjandra membuka mata kita bahwa aparat dan birokrasi kita memang masih butuh pembenahan secara mendalam dan radikal. Pilihannya sekarang, menjadikan kasus ini sebagai jalan masuk untuk serius membenahi sistem secara menyeluruh atau sebaliknya kita sudah menyerah, putus asa dan kehilangan harapan karena jalan untuk mereformasi birokrasi ternyata jalan buntu.
Artikel Lainnya
-
166509/09/2020
-
64815/04/2022
-
365101/01/2020
-
Ancaman dan Peluang Bonus Demografi
209006/09/2021 -
Mengapa Kaum Intelektual Tidak Boleh Bungkam?
59411/06/2024 -
Pasar Desa dan Kesejahteraan Pelaku Ekonomi Lokal
81002/07/2021
