Kebijakan yang Tepat

Mahasiswa-Penulis Sajak-Sajak Cinta
Kebijakan yang Tepat 13/09/2020 1106 view Opini Mingguan DW. COM, Made for minds

Penerapan new normal beberapa bulan silam nyatanya menciptakan persoalan baru. Langkah-laku masyarakat yang tak mau ambil pusing alias bertingkah seolah-olah penyebaran virus korona telah mencapai titik akhir, menimbulkan persoalan. Beberapa tindakan yang kerap dijumpai misalnya ketidakpatuhan untuk mengenakan masker, mengabaikan jarak aman dan paling marak ialah tetap mengadakan sebuah kegiatan yang melibatkan orang banyak seperti ‘nongkrong’ di Kafe, tempat hiburan dan lainnya. Memang semua ini disinyalir terjadi karena masyarakat kita, terkhusus di Indonesia yang adalah negara berkembang, berada dalam ruang kedilemaan.

Kedilemaan yang dimaksud adalah bahwa masyarakat menjadi bingung mau berbuat apa: terus berada di rumah tapi butuh bekerja untuk mempertahankan hidup; menjaga jarak tapi situasi tidak memungkinkan dan pelbagai bentuk kedilemaan lainnya. Pengalaman ini kemudian membuat masyarakat salah kaprah akan arti dan penerapan new normal. Paling banyak ialah memandang new normal sebagai keadaan yang sama sekali normal atau kembali ke keseharian seperti semula seolah-olah masa pendemi telah berakhir.

Salah tanggap akan new normal serta praktik hidup yang tak lagi berpegang pada ‘rambu-rambu’ keseharian di tengah pandemi adalah sebuah kelalaian yang berujung pada penciptaan kluster baru virus ini, entah di lingkungan sekolah, kampus, pasar, perusahan dan lain sebagainya.

Di Provinsi DKI Jakarta sendiri, kluster baru penyebaran Covid-19 terjadi di perkantoran. Disebutkan bahwa sebanyak 440 karyawan yang tersebar di 68 perkantoran di Jakarta positif terpapar Covid-19 (GridHEALTH.id, 2 Agustus 2020). Hal ini tentu saja mengkhawatirkan karena mereka yang terpapar ini tentu berelasi dengan orang lain terutama keluarganya, sehingga akan memicu penyebaran baru yang lebih masif.

Selain data tersebut, ZONABANTEN.com (12/9/2020) melansir bahwa pada 12 September, total penambahan kasus Positif di DKI mencapai 1.205 orang dan bila diakumulasi dari semua kasus yang ada, jumlahnya mencapai angka 52.840 kasus (Data ini bersumber pada data yang dirilis Kementerian Kesehatan RI pada 12 September 2020 sampai dengan pukul 12.00 WIB).

Fenomen lapangan yang terjadi ini tentu sangat mengkhawatirkan, dan membutuhkan langkah sigap untuk mengentaskannya. Hemat penulis, salah satu cara yang memungkinkan dan sekiranya paling tepat untuk menekan laju penyebaran virus yang bisa berujung pada kematian ini ialah dengan menerapkan kembali Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) atau Social Distancing di tengah masyarakat. Keampuhan PSBB inilah yang mendorong Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, untuk menetapkan dan menerapkan kembali PSBB.

Langkah Sang Gubernur menurut saya sangat tepat dan berani. Tepat karena langkah ini bisa mencegah peningkatan korban yang terpapar virus di wilayah pemerintahannya. Sedangkan berani karena langkah ini pasti memiliki dampak terhadap bidang lain terutama kestabilan ekonomi. Meski demikian penerapan PSBB adalah yang paling tepat saat ini. Alasan yang paling mendasar bahwa mempertahankan kehidupan lebih penting dibandingkan menjaga kestabilan ekonomi. Dikatakan lebih penting karena ekonomi bisa ditata ulang meski membutuhkan waktu, sedangkan kematian adalah realitas yang tidak bisa di tata ulang, tidak dibisa dikembalikan, setelah mati tidak mungkin kita kembali hidup. Logika yang demikian pada intinya mau menegaskan bahwa kehidupan: terhindar dari kematian akibat virus adalah lebih bernilai dibandingkan ekonomi yang melaju kencang. Hal ini menunjukkan sebuah perkara nilai: mana yang lebih penting dan harus dipertahankan selagi bisa, dan mana yang bisa relativikan.

Dilihat dari kacamata atau sisi ini, penerapan PSBB menjadi semacam hal yang mutlak dilakukan. Dengan kata lain, keputusan Gurbenur Anies merupakan sebuah kebijaksanaan yang mementingkan nilai kehidupan manusia dalam hal keterlindungan manusia (baca: masyarakat) DKI Jakarta dari kematian ‘konyol’ akibat lalai menghadapi virus yang mestinya bisa dicegah.

Kendati demikian, penerapannya juga mesti memperhatikan beberapa catatan penting, terutama yang dapat menentukan berhasil-tidaknya pembatasan sosial yang ditetapkan. Pertama, mengontrol masyarakat agar disiplin dalam menerapkan protokol ‘darurat’ di masa pandemi yakni menjaga jarak antara satu dengan yang lain, menggunakan masker dan menghindari keramaian. Pengontrolan ini sangat penting karena kesuksesan penerapan PSBB terletak pada disiplin atau tidaknya masyarakat. Adapun bentuk pengontrolan yang dapat dilakukan ialah mengecek setiap masyarakat terutama yang ada di tempat-tempat umum, khususnya pasar yang mau tidak mau tetap di buka selama pandemi guna terpenuhinya kebutuhan pokok masyarakat. Selain di tempat umum, pengecekkan juga dapat dilakukan di kendaraan atau alat transportasi yang masih beroperasi selama PSBB berlangsung.

Kedua, membantu masyarakat yang kurang mampu termasuk mereka yang terlantar. Catatan yang kedua ini sangat mendasar sebab alasan masyarakat (warga) yang termasuk kelas ini terpaksa keluar rumah dan mengabaikan PSBB untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Misalkan saja, seorang buruh yang ‘hari itu kerja hari itu baru dapat makan’, tentu nekat melanggar dan mengabaikan protokol kesehatan agar tetap hidup. Anggapan mereka yang paling masuk akal, meskipun terkesan naif, ialah lebih baik mati karena virus dari pada karena kelaparan berkepanjangan. Melihat hal ini, sudah selayaknya pemerintah DKI Jakarta membuka mata dan mengulurkan tangan. Memang selama ini pemerintah di Ibu Kota ini telah memperhatikan catatan ini secara baik. Hal ini perlu diapresiasi. Akan tetapi di saat yang sama pemerintah juga mesti (dalam PSBB jilid 2 ini) tetap melakukan hal yang sama bahkan lebih baik jika ditingkatkan. Dalam pemberian bantuan ini yang perlu ditekankan tepat sasarnya bantuan yang diberikan.

Dari uraian singkat di atas, kita dapat mengetahui bahwa keputusan Anies Baswedan menerapkan kembali PSBB sangat tepat. Tepat karena PSBB adalah salah satu cara ‘mutakhir’ untuk menekan laju penyebaran Virus Corona di Ibu Kota, mencegah kematian akibat virus dan membatasi munculnya kluster-kluster baru virus di lingkungan masyarakat.

Keputusan ini juga sangat berani meskipun ada yang tak sependapat. Alasan kelompok ini ialah keputusan ini dapat berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Namun pada dasarnya, saat ini adalah perkara hidup-mati, maka mempertahankan kehidupan lebih atau patut diutamakan, ketimbang menjaga kestabilan ekonomi yang bisa dilakukan lain kesempatan.

Akhir kata, proficiat atas kebijaksanaan pemimpin tertinggi DKI Jakarta, Anies Baswedan!

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya