Hukum untuk Siapa? Problematika Supremasi Hukum di Indonesia
Ketika membicarakan hukum di Indonesia, yang pertama kali muncul dalam pikiran saya adalah ketidakadilan yang terus-menerus terasa di berbagai lapisan masyarakat. Bukan rahasia lagi, sistem hukum yang seharusnya menjadi pelindung bagi semua warga negara tanpa memandang latar belakang, justru sering kali menimbulkan pertanyaan besar: siapa sebenarnya yang diuntungkan oleh sistem ini?
Saya pernah mendengar, "Hukum adalah pedang bermata dua." Namun, dalam praktiknya, mata pedang itu seakan lebih sering menumpul ketika berhadapan dengan orang-orang berkuasa dan tajam saat menjerat mereka yang lemah. Kita sering melihat bagaimana hukum seolah memiliki dua standar; satu untuk mereka yang punya kekuasaan atau uang, dan yang lain untuk masyarakat biasa. Seolah-olah, ada tatanan hukum yang berlaku khusus bagi elit politik, pejabat, dan pengusaha besar. Salah satu contoh yang cukup mencolok adalah kasus Toni Tamsil, terdakwa kasus obstruction of justice dalam kasus korupsi timah senilai Rp 300 triliun. Ia hanya dijatuhi hukuman tiga tahun penjara dan denda Rp 5.000. Rasanya absurd melihat bagaimana hukuman ringan semacam itu dijatuhkan untuk kasus sebesar ini, sementara masyarakat biasa bisa dipenjara lebih lama hanya karena mencuri makanan demi bertahan hidup.
Hal ini menimbulkan kegelisahan besar dalam diri saya dan mungkin juga banyak orang lain. Bagaimana bisa ketidakadilan semacam ini terus terjadi? Mengapa hukuman bagi mereka yang berada di lingkar kekuasaan sering kali tidak setimpal dengan kerugian yang ditimbulkan? Jawaban yang muncul di kepala saya adalah bahwa hukum di Indonesia sering kali tidak ditegakkan dengan adil dan konsisten. Ada faktor-faktor yang menyebabkan ketidakadilan ini terus berlanjut, di antaranya korupsi, pengaruh politik, dan lemahnya penegakan hukum itu sendiri.
Dalam banyak kesempatan, korupsi di tubuh penegak hukum menjadi salah satu alasan utama mengapa ketidakadilan terus terjadi. Menurut Transparency International Indonesia. Di mana SKOR IPK negara kita pada tahun 2023 mengalami stagnasi dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Indonesia memperoleh skor 34 dan peringkatnya merosot dari 110 menjadi 115.
Hal ini menunjukkan bahwa korupsi masih menjadi masalah signifikan di negeri ini. Korupsi merasuki semua lini, mulai dari aparat kepolisian, kejaksaan, hingga pengadilan. Hal ini tentu saja berdampak langsung pada bagaimana hukum diterapkan di masyarakat. Bagaimana kita bisa berharap keadilan ditegakkan jika para penegak hukum sendiri tidak bersih?
Selain korupsi, pengaruh politik juga sangat kuat dalam proses penegakan hukum. Banyak kasus besar yang melibatkan politisi atau pengusaha besar justru berakhir dengan vonis yang jauh lebih ringan daripada yang diharapkan. Koneksi dan kekuasaan sering kali menjadi tameng bagi para pelaku kejahatan kelas atas. Saya sering berpikir, apakah hukum ini benar-benar bekerja untuk rakyat, ataukah justru untuk melindungi mereka yang punya kuasa?
Kasus-kasus besar seperti korupsi yang melibatkan pejabat sering kali berakhir dengan hukuman yang mengecewakan. Banyak contoh di mana terdakwa kasus korupsi hanya dijatuhi hukuman ringan, seperti dalam kasus Toni Tamsil yang sudah saya sebutkan tadi. Ini bukanlah kasus tunggal. Ada banyak contoh lain di mana mereka yang melakukan pelanggaran besar justru mendapat hukuman ringan, sementara rakyat kecil sering kali harus menghadapi sanksi yang berat untuk pelanggaran yang jauh lebih kecil.
Ketika hukum diterapkan secara tidak merata, kepercayaan masyarakat terhadap institusi hukum akan semakin terkikis. Walaupun, mengacu dari hasil survei versi Indikator Politik Indonesia tingkat kepuasan publik terhadap lembaga penegakan hukum seperti: Kejagung mencapai 76,2 persen, Polri 75,3 persen, Pengadilan 75,2 persen boleh dibilang relatif cukup tinggi. Namun, angka-angka kepuasan publik tersebut sering kali menyembunyikan masalah yang lebih kompleks di lapangan dan apakah itu berarti penegakan hukum benar-benar berjalan baik dan adil?
Kepuasan publik terhadap lembaga penegakan hukum bisa jadi dipengaruhi oleh citra atau persepsi yang dibentuk oleh media, bukan sepenuhnya berdasarkan pada pengalaman langsung atau realitas yang terjadi di masyarakat. Kita tidak bisa menutup mata terhadap fakta bahwa banyak kasus ketidakadilan dan ketidakkonsistenan hukum yang masih sering terjadi. Beberapa kasus besar yang melibatkan tokoh berpengaruh atau kekuatan ekonomi besar sering kali berakhir dengan hukuman yang dianggap ringan oleh publik. Ketika penegakan hukum dipandang tidak merata, kepercayaan yang tinggi itu bisa berubah menjadi rasa skeptis yang perlahan tumbuh di masyarakat.
Bagi saya, penegakan hukum yang baik bukan hanya soal kepuasan sesaat atau keberhasilan dalam survei, melainkan bagaimana hukum tersebut diterapkan secara adil dan konsisten di segala lapisan masyarakat. Dalam konteks ini, kita perlu mempertanyakan: apakah angka-angka kepuasan publik tersebut mencerminkan keadilan yang sesungguhnya atau sekadar wajah yang terlihat baik di permukaan?
Saya sendiri merasakan bahwa hukum sering kali hanya menjadi alat untuk mereka yang berada di posisi berkuasa. Bagi rakyat kecil, keadilan tampak jauh dari jangkauan. Apakah hukum di Indonesia hanya untuk mereka yang memiliki pengaruh dan kekayaan? Pertanyaan ini terus bergema di benak saya.
Di tengah ketidakadilan yang merajalela, saya teringat dengan kata-kata Mahfud MD, seorang ahli hukum dan tokoh nasional. Beliau pernah mengatakan, “Hukum tanpa keadilan adalah tirani.” Kata-kata ini cukup menohok, mengingat hukum di Indonesia sering kali jauh dari keadilan yang seharusnya diperjuangkan. Keadilan seharusnya menjadi inti dari penegakan hukum, tetapi dalam realitasnya, keadilan seolah menjadi barang langka yang sulit didapat.
Saya yakin bahwa hukum bisa menjadi instrumen yang kuat untuk menciptakan keadilan sosial, namun dalam sistem yang korup dan penuh kepentingan politik, hukum justru menjadi alat untuk mempertahankan status quo. Korupsi, pengaruh politik, dan lemahnya penegakan hukum menciptakan ketidakadilan yang terus terjadi di masyarakat. Dalam situasi seperti ini, saya sering bertanya-tanya: sampai kapan hukum di Indonesia akan berpihak pada mereka yang kuat, sementara rakyat biasa harus terus berjuang untuk mendapatkan secuil keadilan?
Saya harap dengan tulisan ini, kita semua dapat merenungkan bagaimana hukum seharusnya bekerja untuk semua orang, bukan hanya segelintir orang. Setiap warga negara berhak mendapatkan keadilan yang sama di hadapan hukum. Jangan sampai hukum hanya menjadi bayang-bayang kosong yang tidak berarti bagi mereka yang tidak memiliki kekuasaan.
Di penghujung hari, saya kembali bertanya, untuk siapa sebenarnya hukum ini? Bagi kita, rakyat kecil, atau mereka yang ada di atas sana?
Artikel Lainnya
-
91715/03/2022
-
151807/10/2019
-
30217/12/2023
-
Masyarakat Buta Istilah, Siapa Peduli?
179431/03/2020 -
Gerakan KAMI dan Demokrasi Kita
144210/08/2020 -
Angkringan Politik dan PR Gerakan Mahasiswa
249631/01/2020