John Stuart Mill dan Kebebasan Berekspresi di Media Sosial

John Stuart Mill dan Kebebasan Berekspresi di Media Sosial 07/11/2023 736 view Lainnya https://images.app.goo.gl

Dalam era digital yang kita ketahui saat ini, media sosial telah menjadi alat yang paling sering digunakan untuk berkomunikasi dan mengekspresikan diri yang sangat berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari. Media sosial tidak hanya memungkinkan individu untuk berbagai pengalaman pribadi mereka namun juga menjadi wadah perdebatan sosial yang luas mengenai berbagai isu.

Salah satu isu yang sering kali kita jumpai adalah judgemant, dimana hal ini menyebarkan ujaran kebencian di berbagai platform media sosial. Seperti yang kita sering jumpai bersama di beberapa media sosial, ujaran kebencian tidak hanya menyerang masyarakat biasa namun juga menyerang pada kalangan artis ternama.

Dikenal sebagai seorang filsuf, ekonom, dan politikus yang terkenal dengan teori etikanya, utilitarianisme dari John Stuart Mill dielu-elukan sebagai pandangan praktis modern yang sering disalahartikan. Utilitarianisme yang kita pahami bersama adalah sebuah teori yang menekankan pentingnya memaksimalkan kebahagiaan atau kesenangan bagi kebanyanyakan orang. Utilitarianisme versi Mill ini berbeda dengan versi Bentham karena ia menekankan efektivitas sanksi internal, emosi seperti rasa bersalah dan penyesalan yang berfungsi mengatur tindakan kita.

Menurut Mill, perilaku yang pantas secara moral tentu tidak akan merugikan orang lain, melainkan meningkatkan kebahagiaan atau ‘kegunaan’. Yang membedakan utilitarianisme di sini adalah pendekatannya dalam mengambil wawasan tersebut dan mengembangkan pertimbangan mengenai evaluasi moral dan arah moral yang lebih luas di dalamnya. Utilitarianisme versi Mill berbeda dengan versi Bentham karena ia menekankan efektivitas sanksi internal, emosi seperti rasa bersalah dan emosi.

Pada dasarnya teori utilitarianisme ini lebih memfokuskan pada prinsip-prinsip kebahagiaan yang artinya perbuatan baik dan benar adalah perbuatan yang memberikan kebahagiaan maksimal bagi individu khususnya dan bagi masyarakat umumnya. Dalam hal ini setiap individu memiliki kuasa atas dirinya sendiri dan orang lain tidak berhak mengatur maupun merubah segala bentuk keputusan yang telah dipilih.

Mill percaya bahwa kita adalah makhluk yang memiliki perasaan sosial, perasaan terhadap orang lain, bukan hanya diri kita sendiri. Kita peduli terhadap mereka, dan ketika kita merasa mereka dirugikan, hal ini menimbulkan pengalaman yang menyakitkan dalam diri kita. Mill berusaha menggunakan utilitarianisme untuk memberi masukan pada hukum dan kebijakan sosial. Ia percaya bahwa utilitarianisme dapat diterapkan pada berbagai praktik budaya dan masalah sosial terutama terkait kebebasan.

Mill menganggap bahwa kebebasan berekspresi adalah suatu hak yang fundamental bagi individu. Di masa kini, kita dapat mengaitkan ini dengan kebebasan berbicara di platform media sosial dan internet. Orang memiliki hak untuk menyatakan pendapat mereka secara terbuka tanpa takut sensor atau tekanan dari pihak lain. Dalam banyak negara yang menganut prinsip hukum dan hak asasi manusia, prinsip ini menjadi dasar penting dalam melindungi kebebasan individu dari campur tangan pemerintah atau pihak lain yang mungkin ingin mengatur atau mengontrol keputusan individu tentang tubuh dan pikiran mereka sendiri.

Menurut Mill, hal ini merupakan salah satu prinsip dasar dalam filsafat politik dan hak asasi manusia yang menekankan hak individu untuk menjalani hidup mereka sesuai dengan kehendak mereka sendiri. Namun, di era digital, masalah muncul terkait dengan konten yang mungkin bersifat merugikan, menyebar disinformasi, atau menghancurkan reputasi orang lain. Beberapa pertanyaan kerap kali muncul tentang bagaimana mempertahankan kebebasan berbicara tanpa merusak keadilan atau menyebabkan kerusakan.

Seperti yang kita ketahui, banyak orang yang memandang sebelah mata terhadap orang lain yang berbicara di berbagai platform media sosial. Mereka menganggap bahwa orang tersebut tidak pantas untuk berbicara hal tertentu. Padahal, setiap individu memiliki hak untuk berbuat apapun yang diinginkan termasuk untuk berkomentar. Hal ini kerap kali menjadikan individu tertentu merasa kurang percaya diri ketika akan menyampaikan pendapatnya di media sosial.

Memang dalam hal ini juga tidak menepis kemungkinan bahwa ada beberapa oknum yang berkomentar negatif. Di sini Mill mengemukakan prinsip bahwa individu juga dapat dibatasi dalam kebebasan mereka, jika hanya tindakan mereka mengakibatkan kerugian pada orang lain. Seperti yang kita ketahui dalam era digital ini, seringkali kita dapati hal-hal yang berbentuk keburukan salah satunya menjudge orang lain.

Namun hal negatif seperti itu dapat kita hindari agar tidak merusak layar media sosial. Karena sejatinya, hal yang kita lakukan itu kembali pada diri kita masing-masing. Mill telah berulang kali menekankan bahwa individu berhak mendapatkan kebahagiaan mereka sendiri, namun dalam hal ini juga harus tetap berada dalam arus yang bernilai positif dan tidak merugikan orang lain. Kebijakan bermedia sosial harus kita jaga agar tidak menjadi ladang ujaran kebencian bagi orang lain penikmat media sosial juga.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya