Dramatisir Politik Bonum Commune di Tengah Pandemi Covid 19

Dramatisir Politik Bonum Commune di Tengah Pandemi Covid 19 07/09/2020 1947 view Politik pixabay.com

Diskursus mengenai politik selalu aktual dalam ruang lingkup kehidupan masyarakat setiap hari. Halnya tidak terbatas pada dunia pendidikan, pemerintah, dan sebagainya, tetapi juga terjadi dalam dinamika hidup masyarakat umum. Politik itu dikenal, dialami, dan dipraktikkan oleh masyarakat.

Latar belakang keberlangsungannya bersumber dari eksistensi politik yang terkoneksi dengan orang banyak. Benang merah yang dapat diambil terkait dengannya tidak lain merupakan tujuan politik. Ketika pelaksanaan politik itu tidak sesuai dengan tujuan yang semestinya, maka itu menjadi naif. Poin yang harus menjadi tujuan politik adalah kesejahteraan bersama (bonum commune).

Saat ini dunia mengalami krisis (pandemi covid 19) yang telah dan sedang mengancam hidup manusia. Badai penderitaan sebagai akibat dari pandemi ini terus-menerus mengungkungi ruang gerak hidup manusia. Berbagai kebijakan di berbagai negara dilakukan sebagai respon atas krisis yang terjadi.

Di Indonesia hal yang sama juga dilakukan mulai dari pemerintah pusat sampai tingkat daerah. Tujuannya jelas, membantu masyarakat agar terhindar dari wabah, dan menjamin kebutuhan hidup bagi mereka yang mengalami kesulitan. Langkah yang diambil pemerintah tentu saja patut diapresiasi sejauh pelaksanaannya tepat sasar. Masyarakat mengharapkan agar semua kebijakan yang dijalankan bertujuan untuk kesejahteraan bersama.

Thomas Aquinas menyebutnya bonum commune (kebaikan bersama), mengikuti apa yang telah digagas oleh Aristoteles. Ia mengungkapkan bahwa manusia merupakan makhluk sosial dan makhluk politik (zoon politicon). Itulah kodrat manusia. karena itu kodrat tersebut terepresentasi bukan dalam kesendirian, melainkan dalam communio, dalam ruang lingkup kebersamaan.

Thomas Aquinas (1224-1274) tampil sebagai tokoh terdepan yang menggagas mengenai esensi politik dan hukum pada zamannya. Dalam pemikirannya, politik maupun hukum memiliki satu tujuan yang disebut sebagai bonum commune atau ‘kebaikan bersama’. Hal itu dikarenakan politik dan hukum selalu berkaitan dengan suatu societas, di mana kita juga ambil bagian di dalamnya.

Titik tolak teorinya tentang politik, berangkat dari ide dasar manusia sebagai zoon politicon. Baginya, etika dan politik tidak dapat dipisahkan satu sama lain, seperti halnya yang dijelaskan oleh Aristoteles. Politik mengandaikan etika agar dapat berjalan dalam koridor yang sesungguhnya untuk mencapai kesejahteraan bersama.

Karya politik Thomas, sesungguhnya masih berbicara banyak untuk zaman kita, Ketika banyak politikus terjebak dalam pandangan politik Machiavelian yang menyangkal secara tegas hadirnya etika dalam politik. Aktualitas filsafatnya untuk pergulatan hukum di tanah air, bukan hanya berada dalam tataran konseptual, melainkan juga metodologis praksis. Tidak sedikit hukum saling bertentangan dalam delik ketentuan dan prosedur pelaksanaanya, agar mendapatkan simakan yang revisionis seturut recta ratio Aquinasian.

Masyarakat hendaknya menyadari keterlibatannya dalam ruang politik. Seluruh masyarakat hendaknya menghayati hak-haknya dalam komunikasi dan partisipasi secara aktif, maksudnya tidak hanya demi kepentingan sendiri, tetapi juga selalu berorientasi pada kepentingan bersama.

Hal ini menuntut setumpuk motivasi yang mahal yang tidak dapat dipaksakan secara legal. Umpamanya sebuah kewajiban hukum untuk mengikuti pemilihan umum di dalam sebuah negara demokratis, sebenarnya merupakan sesuatu yang aneh seperti juga terasa janggal apabila sebuah solidaritas diatur secara hukum. Kesediaan untuk memperjuangkan kepentingan sesama warga lain yang tidak dikenal, serta kerelaan untuk berkorban demi kesejahteraan bersama, hanya dapat disampaikan sebagai imbauan kepada para warga dari sebuah masyarakat liberal.

Sebab itu kebijakan-kebijakan politis, juga apabila ini hanya dilaksanakan dalam skala yang kecil, sebenarnya sangat berarti bagi bertahannya sebuah demokrasi. Semua ini merupakan masalah sosialisasi dan pembiasaan ke dalam praktik-praktik dan pola pemikiran sebuah kebudayaan politis yang liberal. Status sebagai warga negara sebenarnya menjadi bagian dari masyarakat madani yang hidup dari sumber-sumber yang spontan, yang dapat disebut juga prapolitis.

Memasuki kondisi kultural masyarakat kita, kita dapat mempersoalkan kendala-kendala kultural dan politis yang meghambat peran hermeneutis dan kritis kaum intelektual dalam era pembangunan. Pertama, pembangunan dengan titik berat tekno-ekonomi dan rekonstruksi sistem-sistem objektif menyuburkan pandangan yang berat sebelah mengenai masyarakat. Permasalahan sosial cenderung ditangani secara teknis sebagai gangguan teknis sebuah sistem. Dalam iklim macam ini, kaum intelektual yang ternyata tidak lepas dari masalah survivalnya sendiri sangat mudah direduksi ke dalam kepentingan teknis pembangunan menjadi sekadar fungsi-fungsi profesional, teknokrat, dan birokrat.

Kedua, kekuasaan cenderung melakukan mistifikasi nilai-nilai kultural yang mendukungnya, misalnya dengan melegitimasikan nilai-nilai feodal, padahal peran kritis intelektual adalah demistifikasi nilai-nilai, agar nilai-nilai dapat didialogkan secara demokratis. Dalam suasana tabu-tabu kultural politis macam itu, peran kritis kerap disalahmengerti sebagai devian, heretik, atau subversi.

Ketiga, dalam kondisi masyarakat majemuk, sikap over-sensitive terhadap keamanan nasional dan saling curiga dapat menghalangi terjadinya share of values pada tingkat politik. Akibatnya kaum intelektual sendiri dapat mengalami kesulitan untuk mentransendir keterbatasan nilai-nilainya dan jatuh pada sikap sektarian yang menghindari ecounter dengan perspektif-perspektif lain.

Dewasa ini, dalam era pembangunan, dengan menguatnya sistem-sistem objektif, tantangan untuk memprovokasi horizon-horizon yang lebih luas menjadi semakin nyata, karena logika ekonomi dan birokrasi bukan hanya menanduskan proses-proses intersubjektif, melainkan juga menimbulkan reaksi balik dalam bentuk kristalisasi nilai-nilai primordial.

Ini hanya mungkin, jika kaum intelektual tak berhenti mencari hidup sebagai manusia dalam sebuah masyarakat majemuk seperti masyarakat kita. Artinya, dalam diri mereka sendiri, mereka terus bergumul untuk membebaskan diri dari prasangka-prasangka sempitnya. Penenangan semu terhadap ketegangan ini hanya akan mengubah profil mereka menjadi ideolog-ideolog yang merasa telah menemukan kebenaran.

Masyarakat dengan tingkat sumber daya yang berbeda-beda mempunyai pemahaman lain mengenai setiap kebijakan politik. Selain itu modal yang dimiliki juga tidak sama. Dalam bidang ekonomi, harus diakui bahwa masyarakat Indonesia masih jauh dari kata “mencukupi” kebutuhannya setiap hari. Realitas ini semakin menguatkan kondisi mereka yang rentan terhadap persoalan-persoalan mendasar dalam hidupnya. Karena itu dengan adanya kebijakan yang memihak kepada mereka yang masuk dalam golongan ini, sedikit banyak taraf hidup mereka terangkat.

Ketika Republik Indonesia diproklamasikan sebagai negara merdeka pada tahun 1945, yang terjadi sebenarnya bukan hanya sekadar dimerdekakannya suatu bangsa dari penjajahan oleh suatu bangsa lainnya, melainkan seharusnya jauh lebih dari itu. Pada tanggal 17 Agustus 1945 itu diproklamasikan dimulainya proses pemerdekaan manusia di wilayah Republik Indonesia dari segala belenggu yang menghambat emansipasinya sebagai manusia.

Namun, justru pemerdekaan manusia sebagai manusia itu yang tidak atau belum kunjung terjadi. Karena pada tanggal 17 Agustus 1945 memang diproklamasikan sebagai suatu negara baru, tampaknya proses pemerdekaan manusia lalu dilihat sebagai implisit dalam kemerdekaan negara atau mungkin juga tidak dianggap penting.
 

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya