Jangan Tanya Apa Peran Sekolah Bila Kekerasan Terjadi di Dalamnya

Pegiat Demokrasi
Jangan Tanya Apa Peran Sekolah Bila Kekerasan Terjadi di Dalamnya 17/02/2020 1208 view Opini Mingguan woub.org

"Banal sekali anak-anak itu. Mereka harus diberikan hukuman berat supaya jera, tobat!" tutur saya dalam benak ketika pertama kali melihat video yang mempertontonkan perilaku senonoh tiga orang siswa SMP di Purworejo yang memukul tendang seorang siswi adik kelas mereka sendiri.

Siswi tersebut dipukul hanya lantaran menolak memberikan uang yang tiga bocah itu minta. Tanpa pikir panjang saya pun langsung membuat satu kesimpulan: Itulah akibatnya bila guru di sekolah lembek hati dalam mendidik sehingga murid-muridnya pun kian berani menampakkan kebanalan mereka pada orang lain.

Mestinya, para guru tak boleh lembek hati dalam mendidik murid-muridnya. Kalau perlu dan memang perlu, bila murid berbuat salah, pukul saja. Ya, pukul saja, apalagi jika sudah diingatkan secara baik-baik tapi tetap saja si murid ogah mengindahkan apa yang telah diajarkan oleh gurunya sendiri.

Terkadang tindakan tegas semacam itu diperlukan agar supaya sekolah dapat melahirkan manusia berbudi pekerti yang baik, manusia yang tahu tata krama berkehidupan. Hal yang perlu diingat adalah: "Akar pendidikan memang pahit, tetapi buahnya manis," begitulah yang diyakini Aristoteles tentang pendidikan.

Dulu, di waktu saya sekolah, bagi kami guru adalah benar-benar guru, seluruh tutur juga tindakannya dipersembahkan sebagai bahan pembelajar. Hakikatnya, guru memang mencontohkan mana yang patut dan tidak patut untuk dilakukan. Dan di masa kami sekolah dulu, hampir tidak ada guru yang mengeluh soal gaji, kerjanya penuh ketulusan.

Pada titik itulah profesi seorang guru dianggap mulia. Saking menghargainya kami terhadap seorang guru, saat ia bicara apa pun kami sebagai murid cuma bisa tertunduk diam. Kerap pula melihat guru berjalan di kejauhan kami lari bersembunyi. Sekali lagi, itu tanpa hormat kami pada seorang guru.

Makanya saya kaget ketika ada seorang guru di SMAN 21 Bekasi, Idyanto namanya, nyaris dipecat hanya karena ia memukul murid-murid yang terlambat datang ke sekolah. Untungnya, sangsi yang dijatuhkan kepada Idyanto pun mendapat respons yang positif dari beberapa siswanya.

Siswa-siswa tersebut mengadakan aksi unjuk rasa di tengah lapangan sekolah mereka. Para murid-murid ini menganggap guru mereka tidak bersalah. Apa yang dilakukan Idyanto semata-mata hanyalah untuk menegakkan prinsip kedisiplinan, sebagaimana yang juga diberlakukan di sekolah lain.

Meski demikian, kecemasan orang tua siswa yang dipukul oleh Idyanto tidak bisa begitu saja diabaikan. Orang tua siswa tersebut khawatir bahwa Idiyanto akan mengulangi kesalahan yang sama manakala dia tetap berada di sekolah itu. Supaya tidak mengkhawatirkan maka Idyanto harus dipindahkan ke sekolah lain.

Secara eksplisit, sangsi itu mengkambing hitamkan sekolah lain. Orang tua siswa tersebut hanya cari aman dan nyaman bagi anaknya sendiri, sama sekali tidak memikirkan anak orang lain di sekolah lain. Orang tua macam apa ini? Adilkah mereka sejak dalam pikiran?

Saya tidak bilang Idyanto salah dan harus dihukum. Namun, yang ingin saya katakan adalah orang tua siswa tersebut semestinya merenung, pikir dalam, untuk apa mereka menyekolahkan anak mereka yang tersayang itu. Kalau hanya untuk membuat anak mereka bersenang-senang, saya pikir, sekolah bukanlah tempat yang tepat bagi niat semacam itu.

Kendati, setiap sekolah meniscayakan adanya keamanan dan kenyamanan, tapi sekolah bukan tempat untuk bersenang-senang. Sekolah adalah tempat bertenggang rasa, semata-mata untuk membuat manusia menjadi lebih manusiawi.

Saya pikir, bila terjadi kekerasan dalam dunia pendidikan, tak ada yang perlu kita pertanyakan perihal fungsi atau peran sekolah. Hal yang sangat perlu dan senantiasa wajib dipertanyakan ialah bagaimana orang-orang yang terlibat dalam dunia itu—sekolah, menjalankan perannya masing-masing.

Saya sarankan, bagi orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya, carilah sekolah dengan suasana dan guru-guru yang tetap sesuai dengan niat Anda inginkan untuk anak Anda dapatkan.

Akhir kata, seluruh harapan kita tentang dunia pendidikan telah tersematkan di pundak Menteri Pendidikan kita, Nadiem Makariem. Yang pasti, sekolah harus kembali kepada jiwanya sendiri: yang berarti "waktu senggang" (Scola, scolae, atau schola). Maksudnya, buatlah sekolah itu sefleksibel mungkin.

Dan semoga makna pendidikan yang sebagaimana mestinya, yakni pendidikan yang bertujuan mengangkat harkat dan martabat manusia yang bergumul di dalam ke level yang lebih tinggi dan mulia dapat diwujudkan oleh Bapak Menteri Nadiem Makariem dengan baik dan melegakan bagi semua pihak. Amiin.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya