Kampanye Hitam: Ancaman Bagi Demokrasi dan Tugas Kita di Lapangan Pengetahuan

Kampanye Hitam: Ancaman Bagi Demokrasi dan Tugas Kita di Lapangan Pengetahuan 25/12/2023 263 view Politik beritasatu.com

Dalam masa kampaye pemilu 2024, beragam bentuk kampanye hitam begentayangan di dunia maya. Media sosial menjadi panggung para aktor untuk melontarkan kampanye hitam terhadap kandidat kubu lain yang menjadi lawan kandidat yang mereka dukung (Kompas, 8 Juni 2023).

Indra Tranggono dalam kolom opini Kompas (8 Juni 2023) menjelaskan bahwa kampanye hitam merujuk pada bentuk serangan politik yang menggunakan kata-kata, gambar, dan suara untuk menyerang tanpa mengacu pada fakta atau keadilan. Praktik kampanye hitam didasarkan pada asumsi, spekulasi, manipulasi, dan prasangka negatif.

Serangan semacam ini dapat berupa hasutan, provokasi, atau fitnah, dengan tujuan untuk menghancurkan reputasi seseorang yang menjadi target serangan. Selain itu, kampanye hitam sering kali memanfaatkan isu SARA sebagai alat untuk menyerang dan melancarkan serangan (Kompas, 8 Juni 2023).

Beragam bentuk dan tujuan kampanye hitam yang begentayangan di media sosial, menurut Bawaslu RI tengah menjadi kerawanan menuju Pemilu 2024.

Sebagaimana data pengukuran Indeks Kerawanan Pemilu yang diluncurkan oleh Bawaslu RI pada Oktober lalu (Kompas, 30 November 2023) menunjukkan bahwa, di tingkat provinsi ada tiga isu utama kerawanan pemilu. Pertama, ujaran kebencian menjadi isu dominan di sekitar 50% provinsi di Indonesia. Kedua, konten hoaks atau berita bohong sering digunakan dalam tahapan kampanye di sekitar 30%. Ketiga, kampanye dengan muatan SARA terjadi sekitar 20%.

Sedangkan di tingkat kabupaten/kota, ujaran kebencian merupakan isu utama yang rentan menciptakan kerawanan dalam kampanye pemilu. Kampanye dengan ujaran kebencian potensialnya mencapai 33% wilayah kabupaten/kota, diikuti oleh kampanye yang bermuatan SARA dengan angka 27%.

Karena itu, kita perlu mewanti-wanti terhadap kampanye hitam yang disinyalir akan berpeluang secara massif dan intensif terjadi di masa-masa kampanye saat ini.

Dalam perspektif komuniksasi politik, kampanye merupakan proses komunikasi yang bertujuan mempengaruhi opini publik melalui pesan politik yang disebarkan melalui berbagai saluran dan media tertentu (Umaimah Wahid, 2016).

Melalui kampanye akan terbuka ruang diskursus, di mana isu-isu krusial dibahas, memberikan pemahaman yang lebih baik kepada publik mengenai kebijakan dan visi masa depan yang diusung oleh para kandidat atau partai politik.

Akan tetapi, menurut Salvatore Simarmata, kualitas kampanye dalam pemilu di Indonesia sangat buruk. Sebagaimana berpijak pada pengalaman Pilpres 2014, Pilkada DKI 2017, dan Pilpres 2019, kampanye di Indonesia didominasi oleh isu personal dan identitas ketimbang kebijakan atau program yang disebarkan baik secara online maupun offline (Simartama, 2023).

Isu yang diangkat kepermukaan dalam kampanye menjauhkan pemilih dari persoalan ril masyarakat, bangsa dan negara. Sehingga munculah narasi-narasi yang berorientasi kepada politik identitas, fitnah, disinformasi, hoax dan sebagianya.

Banyak studi para sarjana menunjukan bahwa, kualitas kampanye yang sangat buruk yang kemudian melahirnya kampanye hitam berdampak pada rusaknya akal sehat masyarakat (calon pemilih), munculnya polarisasi politik, menjebak demokrasi dalam pengepungan yang mengancam integritas dan stabilitas sistem politik.

Literasi Kritis

Dalam lingkungan politik yang semakin kompleks di era modern akibat kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) seperti Youtube, Facebook, Tiktok, situs berita online, dan podcast politik, telah membawa perubahan revolusioner dalam cara kita berinteraksi, mendapatkan informasi politik, terlibat dalam proses politik dan berdemokrasi.

Kendati demikan, penyebaran hoaks dan kampanye hitam biasanya dikembangkan dengan masif melalui berbagai platform media sosial tersebut.

Data MAFINDO (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia) menunjukan sebanyak 534 hoaks pada triwulan pertama tahun 2022 yang disebarkan melalui media sosial. Sementara itu, pada triwulan pertama tahun 2023 ditemukan paling tidak sebanyak 664 hoaks atau naik 24% dari tahun sebelumnya (Media Indonesia, 23 Mei 2023).

Oleh karena itu, kita membutuhkan literasi. Literasi yang dibutuhkan tidak sekadar ‘melek’ terhadap teks atau konten-konten yang berjibaku di dunia maya, tetapi dibutuhkan pula literasi kritis untuk mengevaluasi teks atau konten-konten tersebut.

Literasi kritis, menurut kajian akademik, adalah keterampilan dan kemampuan untuk menganalisis, mempertanyakan, dan memahami informasi dan isu yang diterima baik secara lisan maupun tulisan.

Konsep ini melampaui keterampilan membaca dan menulis dasar untuk mencakup pemahaman tentang bagaimana media dan sumber informasi lain mempengaruhi persepsi dan pemahaman individu tentang realitas. Artinya, dengan menerapkan literasi kritis dalam praktik berarti melibatkan proses pemikiran kritis saat mengonsumsi informasi.

Literasi kritis melibatkan pertanyaan tentang keandalan dan kredibilitas sumber informasi, mengidentifikasi bias dan sudut pandang potensial, mengkaji peningkatan dan penurunan informasi dalam teks dan konten, dan mempertimbangkan implikasi sosial dan politik dari informasi tersebut.

Secara umum, literasi kritis memiliki tiga komponen utama yakni keterampilan analitis, pengetahuan kontekstual, dan sikap skeptis. Keterampilan analitis membantu memahami struktur dan tujuan teks. Pengetahuan kontekstual menyediakan pemahaman tentang isu yang lebih luas dan latar belakang informasi. Sikap skeptis mendorong pertanyaan dan pemikiran kritis tentang informasi yang diterima.

Tugas Kita di Lapangan Pengetahuan

Upaya untuk membatasi atau menanggulangi praktik kampaye hitam dengan mengembangkan literasi kritis guna menjaga keberlangsungan demokrasi yang kuat dan transparan adalah tugas dan tanggungjawab bersama.

Strategi literasi kritis yang dapat dilakukan antara lain adalah dengan menyebarkan informasi yang benar dan akurat, mengadakan kampanye positif, pendidikan atau diskusi politik, serta melakukan aksi-aksi sosial yang dapat membangun kesadaran masyarakat akan bahaya kampaye hitam dan pentingnya pemilu yang bersih dan jujur.

Dalam konteks ini, literasi kritis bukan hanya sebuah alat untuk mencegah kampanye hitam, tetapi ini juga menopang demokrasi yang sehat dan partisipatif. Dengan pengetahuan dan keterampilan literasi kritis, warga negara memiliki kemampuan untuk berpartisipasi secara aktif dan berpengetahuan dalam proses demokrasi.

Dengan literasi yang baik tentunya akan membantu masyarakat untuk lebih kritis terhadap informasi yang mereka konsumsi. Pemilih yang memiliki pengetahuan politik yang lebih baik akan lebih cermat dalam mendeteksi dan menganalisis informasi politik yang mereka terima, mempertanyakan validitas informasi, dapat memisahkan mana fakta dan mana fitnah, kemudian dapat merumuskan penilaian mereka sendiri berdasarkan pada pengetahuan dan fakta bukan hoax.

Dengan cara ini, masyarakat dapat mengatasi kepungan kampanye hitam, sehingga dapat memastikan bahwa kampanye menjadi ruang diskursus positif, di mana isu-isu krusial dibahas, memberikan pemahaman yang lebih baik kepada publik mengenai kebijakan dan visi masa depan yang diusung oleh para kandidat, bukan sebagai ruang untuk menyebarkan hoax, fitnah dan kebencian.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya