Jakarta: Museum Ibu Kota Indonesia

Jakarta adalah mimpi saya sewaktu kecil. Mungkin juga mimpi anda. Jika besar saya ingin tinggal dan bekerja di Jakarta. Ibu Kota negeri ini. Keinginan itu bukan tanpa sebab. Kehidupan di Jakarta bagi saya sewaktu kecil sangat menggiurkan. Ada monas, ada istiqlal, ada taman mini, ada istana negara, ada gedung DPR dan MPR. Pokoknya Jakarta adalah pusat segala-galanya, pusat bisnis, pusat pemerintahan, fasilitas pendidikan di bangun, fasilitas kesehatan di bangun, pusat-pusat perbelanjaan banyak tumbuh dan lain sebagainya. Itulah Kenapa Jakarta merupakan impian banyak orang untuk datang dan berurbanisasi termasuk di dalamnya adalah saya.
Namun impian saya untuk bekerja dan menetap di Jakarta berubah sewaktu saya duduk di Bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Itu semua gegara teman sekampung saya yang sekolah SMP namun tak tamat SMA pulang kampung sewaktu lebaran dan bercerita mengenai Ibu Kota Indonesia tercinta ini.
Kata teman saya, hidup di Jakara itu susah, semua biaya mahal. Di Jakarta Kencing pun bayar, apa lagi makan. Sewa rumah juga mahal. Jadi, kalau gak punya uang banyak, gak punya pekerjaan tetap, keahlian yang mumpuni untuk hidup bersaing di Jakarta. Jangan sekali-kali ke Jakarta. Dirimu bisa jadi gembel, gelandangan dan hidup di Kolong jembatan katanya. Untuk itu dia menyarankan tak usah pergi ke Jakarta.
Mendingan hidup di kampung kita ini saja, teman saya melanjutkan. Hidup di Kampung ini kalau butuh oksigen, ingin melihat pohon-pohon rimbun, tak jauh-jauh, cukup di belakang rumah saja. Tapi Kalau di Jakarta ingin dapat udara segar harus pergi ke taman kota dan itu juga memerlukan biaya. Pokoknya lebih enak hidup di kampung ini saja. Seandainya saya belum menikah dan tidak terjebak pada kehidupan di Jakarta saya memilih hidup di sini. Di kampung kita tercinta. Pungkasnya.
Dari cerita teman sekampung saya, yang coba-coba merantau menikmati urbanisasi di Kota Jakarta itu, membuat saya berpikir ulang untuk bermimpi bekerja dan tinggal di Jakarta.
Makin buruk kesan saya mengenai Jakarta, ketika saya membaca sebuah berita di surat kabar sekitar awal tahun 2013 lalu, bahwa di Jakarta yang merupakan ibu kota negara dibuat lumpuh oleh banjir yang melanda.
Bahkan pada saat itu tamu negara yaitu Presiden Argentina, Cristina Fernandez de Krichner yang ingin bertemu Presiden SBY terjebak banjir. Ia tak bisa berangkat sesuai jadwal. Ia juga tak bisa berangkat sesuai rute yang telah ditentukan. Karena rute tempatnya menginap di sekitar Jalan Jenderal Soedirman juga terkena dampak banjir. Terpaksa presiden tersebut harus memutar untuk menuju Istana Merdeka melalui Tanah Abang. Dan sampai di Istana Negara pun juga ada air yang menggenang waktu itu.
Seorang presiden yang merupakan tamu kehormatan saja terjebak banjir, apa lagi kita-kita ini. Tapi yang lebih membuat sedih adalah citra ibu kota saat itu di mata dunia. Presiden Argentina itu, pasti memiliki catatan buruk mengenai wajah ibu Kota Jakarta. Dan citra buruk itu juga pasti terekam di dunia internasional.
Hingga hari ini sepertinya banjir masih sering menghampiri Jakarta, terutama ketika musim penghujan tiba. Katanya, banjir itu adalah banjir kiriman dari kota-kota yang ada di sekitar Jakarta seperti Bogor. Walaupun kejadian banjir itu adalah banjir musiman dan kiriman, namun yang jelas hingga hari ini, siapapun pemimpinnya, Jakarta masih sering banjir.
Itu baru berita mengenai banjir, belum lagi berita mengenai kemacetannya. Cerita kawan saya, di Jakarta kemacetan ada dimana-mana dan juga terjadi kapan saja. Waktu habis hanya untuk di jalan. Sungguh sebuah kota yang tak efektif dan tak efisien untuk sebuah Ibu Kota.
Memang pernah diberlakukan kebijakan untuk mengatasi kemacetan seperti dengan metode 3 in 1 ataupun memberlakukan ganjil-genap di hari-hari yang berbeda pada ruas-ruas jalan tertetu. Namun hingga hari ini macet masih menjadi persoalan yang belum teratasi secara optimal. Jadi untuk apa saya hidup dan bekerja di Jakarta, jika seabrek persoalan itu selalu ada di depan mata?
Jika cerita mengenai susahnya hidup di Jakarta, banjir dan kemacetan serta cerita persoalan sosial lainnya berasal dari teman atau media masaa, maka baru-baru ini saya mendengar ratapan anak betawi asli. Dalam ratapannya beliau bercerita bahwa sebagai anak asli ibu kota, beliau hanya mendapatkan gusuran saja, tidak memperoleh manfaat dari dijadikannya Jakarta sebagai ibu Kota Negara. Beliau tak memperoleh manfaat yang signifikan dari sisi ekonomi dan politik. Kata beliau ekonomi dan politik dikuasai oleh mereka yang memiliki kekuatan modal ekonomi yang besar dan politik yang kuat.
Ratapan itu makin membulatkan tekadku untuk menjauh dari kehidupan ibu kota. Ratapan itu juga melengkapi kesimpulan saya bahwa Jakarta bukan saja tak ramah pada pendatang namun juga pada penduduk asli.
Akhirnya cita-cita saya untuk hidup di Jakarta yang merupakan Ibu Kota Indonesia pupus sudah. Lagi pula sebentar lagi ibu kota juga akan pindah, meskipun masih terjadi perdebatan di sana-sini.
Dan, Jika benar Ibu Kota pindah di luar Jakarta, maka Jakarta bisa dijadikan Museum Ibu Kota Indonesia. Layaknya sebuah museum tentu ia bercerita mengenai sejarah, kelebihan dan kekurangan serta hiruk pikuk kehidupan yang pernah ada dii dalamnya, ketika Jakarta menjadi Ibu Kota Indonesia.
Artikel Lainnya
-
161009/08/2020
-
226602/04/2021
-
20002/04/2025
-
Relasi Seniman dan Politisi, antara Sejarah dan Realitas Kontemporer
136621/08/2022 -
314502/02/2020
-
Pendidikan Bela Negara Yang Demokratis
185323/08/2020