Idhul Fitri :Proses Religi Dalam Bingkai Budaya

Idhul Fitri berarti kembali ke fitrah (kesucian). Proses yang didapat setelah melakukan ibadah puasa selama satu bulan serta dengan menunaikan zakat fitrah di akhir Ramadhan. Kata seorang mubaligh, fungsi zakat fitrah selain sebagai pembersih harta kekayaan juga sebagai penyempurna ibadah puasa. Mungkin ibadah puasa yang kita lakukan kurang optimal, atau ada kekurangannya sehingga dengan zakat fitrah hal itu menjadi terkoreksi.
Dengan begitu Idhul Fitri sebagai akibat bukan hal yang langsung didapat. Suasana Idhul Fitri menjadi punya dimensi spiritual yang mendalam karena kita sudah melalui proses ibadah sebelumnya dengan sungguh-sungguh. Meminjam istilah sastrawan Dante. Bulan Ramadhan diibaratkan sebagai purgatorio (tempat penyucian dosa-dosa). Tersebab karena kita berada dalam kegelapan spiritual (inferno) akibat tergelincir menuruti hawa nafsu. Dan memang tidak ada manusia yang tidak mempunyai dosa. Yang jadi masalah adalah tingkat dosa dan intensitas kita melakukannya. Kita sering tidak mampu untuk mengelola hal ini sehingga akibat yang ditimbulkannya terus berkelanjutan. Menyebabkan kita jauh dari Rahmat Allah. Hidup rasanya sesak, tidak punya semangat positif, hidup segan, mati tak mau. Untuk itulah bulan Ramadhan diturunkan guna menetralkan semua akibat-akibat buruk tersebut dan akhirnya kita mendapati paradiso (kembali suci).
Pada 1 Syawal kita melantunkan takbir, tahlil, dan tahmid. Kita mengangungkan Allah, Sang Pencipta. Sesuai hukum fiqih formal, anjuran bertakbir dimulai pada hari tenggelamnya matahari pada akhir Ramadhan sebagaimana tertulis dalam al-Qur’an, “... Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah ...,” (Q 2:185).
Terkait pelaksanaan takbir sudah membudaya di masyarakat kita adanya pawai takbir keliling. Di mana selain bertakbir mereka juga menampilkan replika hasil kerajinan tangan. Entah itu miniatur masjid, beduk, berbentuk hewan, mesin, atau yang lainnya. Hal ini sebagai usaha untuk menyemarakkan hari Raya Idhul Fitri. Cuma yang sedikit menjadi ganjalan akibat kemajuan zaman yang semakin vulgar, takbir keliling sekarang banyak yang diiringi dengan musik DJ. Menurut saya itu terlalu berlebihan dan tidak pas.
Allahu Akbar, Allah Maha Besar. Betapa Agung Allah swt. Betapa tidak berdayanya kita tanpa pertolongan Allah. Pada pagi harinya kita melakukan sholat Idhul Fitri. Pengalaman sholat Idhul Fitri akan terasa berbeda bagi masing-masing orang. Tergantung bagaimana ia berpuasa selama Ramadhan. Selama menunggu sholat Idhul Fitri dimulai, ada yang duduk tenang, meresapi takbir, menitikkan air mata, menginsyafi dosa-dosanya. Ada yang biasa saja, atau bahkan malah pengen cepat-cepat sholat dan kembali ke rumah. Tapi itulah yang dinamakan dinamika dalam ibadah. Perjalanan spiritual yang dialami akan berbeda-beda. Suatu keadaan yang membutuhkan proses pencarian yang terus-menerus.
Idhul Fitri juga erat kaitannya dengan peristiwa halal bi halal. Saling bermaaf-maafan dengan berkunjung ke rumah handai taulan. Yang menarik ternyata adalah tradisi ini hanya ada di Indonesia. Di negara muslim lain, setelah sholat Idhul Fitri, mereka langsung bermaaf-maafan di masjid ataupun di lapangan. Merupakan sebuah anugerah dari Allah kepada bangsa Indonesia yang masyarakatnya mengedepankan asas persaudaraan dan kebersamaan.
Terkait hal ini, lebaran adalah momen yang tepat untuk menyambung silaturahmi. Silaturahmi bisa dimaknai dengan hubungan kasih sayang antar sesama manusia. Berkasih sayanglah dengan manusia di bumi, maka yang di langit akan mengasihimu. Dimulai dengan meminta maaf kepada orang tua dan kerabat terdekat. Hal itulah yang menjadi kerinduan para perantau. Oleh sebab itu hari Raya Idhul Fitri tanpa mudik adalah Hari Raya yang terasa hambar.
Dua Dimensi Ibadah
Ibadah manusia selalu mempunyai dua dimensi pelaksanaan. Hablumminallah (Hubungan dengan Allah) dan Hablumminannas (Hubungan dengan manusia. Tentu saja selama satu bulan yang lalu kita melakukan segala macam ibadah yang tujuannya adalah supaya diampuni Allah. Tapi berkaitan dengan dosa antar manusia, harus dimintakan maaf secara langsung kepada orang yang bersangkutan.
Mengenai cara meminta maaf, dalam masyarakat Jawa dikenal yang namanya sungkem. Anak duduk di lantai sementara orang tua duduk di kursi. Kemudian kita mencium tangan orang tua sambil mengucapkan pemohonan maaf. Hal ini bukan berarti sebuah bentuk “penyembahan” kepada orang tua. Sungkem adalah pernyataan permintaan maaf dengan diliputi tingginya rasa hormat. Yang terpenting substansi dari peristiwa itu tidak diniatkan untuk menyembah tapi untuk meminta maaf.
Bukankah agama juga memerintahkan untuk berbakti kepada orang tua (birul walidain)? Selama bentuk bakti itu tidak mempersekutukan Allah.
Agama Dalam Bingkai Budaya
Selain ibadah yang sudah dijelaskan tata caranya (ibadah madhlah). Kalau kita mencermati, bagaimana sesuatu yang disebut agama itu selalu bersinggungan dengan unsur budaya. Bahkan salah satu imam Mazhab mengkategorikannya sebagai salah satu sumber hukum. Perlu ditekankan di sini budaya yang dimaksud tidak mengandung unsur syirik.
Penyebaran Islam di tanah Jawa bisa begitu sangat berhasil juga berkat menggunakan strategi budaya. Misalnya wali songo dulu mengajarkan Islam dengan menggunakan wayang. Sebuah pertunjukan cerita “the shadow puppet” yang dikendalikan oleh dalang. Dalam hal ini ada beberapa jenis wayang, seperi wayang kulit (Jateng) dan wayang golek (Jabar).
Wayang merupakan medium yang sangat efektif untuk menyampaikan gagasan (mengajak kepada kebaikan) karena penyampaiannya dibungkus dengan cerita. Bayangkan jika penyampaiannya langsung strick, kemungkinan besar tidak akan bisa menjangkau audiens yang lebih luas. Ini merupakan sebuah strategi persuasi yang halus yang bersifat tidak menggurui, atau bahkan mengintimidasi. Dengan penyampaian lewat cerita, masyarakat sendiri yang akan memproses informasi tersebut, mencoba membuat tafsir, mencoba mencari kaitan masalah tersebut dengan kehidupannya.
Bukankah dengan begitu akan rawan tersesat? Hati manusia pada dasarnya baik, selama ia mempercayai hati nuraninya, ia akan berada di jalan yang tepat. Bandingkan dengan proses beragama yang hanya dengan mengandalkan dogma. Betapa hal itu sangat mengeringkan proses beragama karena tidak ada internalisasi dan dialektika. Itulah yang terjadi sekarang beribadah hanya sebagai formalitas belaka. Tidak tahu hakikat dan tujuan peribadatan yang dilakukan.
Dalam dunia pewayangan, ada beberapa lakon terkenal seperti, misalnya Dewa Ruci, Baratayuda, Ramayana, Arjuna Wiwaha, dan sebagainya. Lakon-lakon tersebut selain ceritanya yang menarik juga sering dijumpai adanya unsur falsafah (kebijaksanaan yang tersirat dari suatu peristiwa). Tidak salah lagi jika wayang adalah amsal yang baik dari kehidupan manusia itu sendiri. Ada dua istilah dalam cerita pewayangan: pakem (sesuai cerita aslinya) dan carangan (digubah). Untuk keperluan tertentu dalang menggunakan cerita carangan untuk komunikasi yang lebih efektif kepada audiensnya. Maksud saya menyesuaikan pesan apa yang ingin disampaikan.
Pelaksaanan ritus ibadah ghairu madhlah di suatu wilayah akan berbeda-beda. Unsur budaya dari masayarakatnya pasti akan mempengaruhi. Dan oleh sebab itu perayaan Idhul Fitri di Indonesia adalah yang paling hangat dibanding dengan negara-negara lain.
Idhul Fitri juga bisa dipahami sebagai hari pesta, karena kita makan-makan bersama dengan keluarga dan kerabat dekat. Menggunakan pakaian yang baru. Perabotan baru, dan yang paling penting dari itu semua adalah hati yang baru. Hati yang suci, bersih, kembali kepada settingan dasar manusia. Selamat Hari Raya Idhul Fitri 1446H, mohon maaf lahir dan batin.
Artikel Lainnya
-
354113/10/2019
-
127607/11/2020
-
124208/07/2020
-
Penghapusan Mural, Negara Anti Kritik?
128923/08/2021 -
Membangun Demokrasi Kerakyatan; Catatan Reflektif Menyongsong Pemilu 2024
73211/12/2023 -
Bibit, Bebet, dan Bobot Calon Wakil Rakyat
132131/07/2020