Negara Metromini

Guru di Canisius College Jakarta
Negara Metromini 02/02/2020 3213 view Cerita Satire https://www.flickr.com

Negara demokrasi, terlepas dari segala kompleksitasnya adalah ibarat metromini; pemimpin sebagai sopirnya dan masyarakat sebagai penumpangnya. Di dalamnya segala sesuatu membaur, berpelukan namun juga sikut-menyikut.

Lantas, ketika segala sesuatunya melebur seperti tak ada lagi sekat di antaranya, apakah negara tetap mempunyai pegangan? Tanpa menyembunyikan berbagai pesimisme, kita mesti optimis bahwa kehidupan mesti terus berjalan dan roda-roda sejarah mesti terus berputar di atas aspal tanpa terelakkan.

Optimisme saya justru ada dalam keparadoksalan manusia itu sendiri, yakni manusia yang berkebebasan sekaligus bertanggung jawab. Hal itu bisa didapat dengan bercermin dari metromini.

Yang tinggal cerita

Setidaknya sampai dengan pertengahan 2019, metromini adalah moda transportasi Kota Jakarta yang tahan arus zaman dan perubahan.

Mereka telah beroperasi sejak tahun 1963, sejak pertama kali dibuat sebagai kendaraan pada pesta olah raga Games of The New Emerging Forces (GANEFO) atas instruksi Presiden Soekarno ketika itu. Saat itu Gubernur Somarno memimpin Jakarta (bdk. DetikNews.com, Senin 07 Desember 2015).

Pada medio 2019, seluruh armada metromini ditarik oleh Pemprov DKI Jakarta. Akan tetapi, bagi sebagian orang, metromini selalu spesial dan penuh kenangan. Bagi para pengagung romantisme demonstrasi Mei 1998, misalnya, metromini adalah bagian tak terpisahkan dari keberhasilan reformasi.

Baja 'orange' beroda itu berjasa sebagai moda transportasi yang digunakan para aktivis 98 untuk mendesak turunnya rezim Orde Baru Soeharto. Metromini kini tinggal cerita.

Negara Metromini

Negera ini dan orang-orang di dalamnya adalah ibarat metromini. Dalam negara yang diibaratkan metromini itu, segala sesuatu membaur. Kebaikan bisa jadi sekamar dengan kejahatan. Kebenaran berjarak tak lebih dari selangkah dengan kebohongan. Yang profan dan yang spiritual sikut-menyikut. Begitu banyak kepentingan. Begitu banyak kepura-puraan, tipu, dan amarah. Beberapa bergumam dalam hati, memanjatkan dan melafalkan ayat-ayat kitab suci. Yang lain menghujat Allah atas nama allah-allah mereka.

Sekali lagi, segala sesuatu, dari yang paling janggal sampai yang paling normal berdempetan. Berdesakan. Kadang mengambang di udara. Kadang terhempas ke bawah.

Melihat kenyataan itu, perlu untuk melihat dua unsur penting dalam sebuah negara. Dua unsur penting tersebut adalah pemimpin dan masyarakatnya yang dibaratkan masing-masing sebagai sopir dan penumpangnya. Pertama, dalam negara, sopir adalah ibarat sang pemimpin. Negara tidak pernah ada tanpa pemimpin, bak metromini yang tidak pernah ada tanpa seorang sopir.

Para pemimpin, ibarat sopir metromini, telah diberi rambu-rambu lalu lintas, rambu-rambu, yakni hukum dan segala peraturan perundang-undangan lainnya.

Dengan rambu-rambu itu, ia diharapkan bisa menahkodai negeri ini dalam jalur yang benar, menuju masa depan yang tentu baik. Idealnya, diharapkan bahwa seorang pemimpin adalah seseorang yang cakap, jujur, berintegritas, bertanggung jawab, tegas, dan dapat dipercaya.

Ia semestinya adalah seorang “manusia super” yang dengan segala kelebihan dan kekurangannya mampu memimpin negara yang demikian kompleks itu dan membawanya kepada sebuah kemakmuran yang dicita-citakan bersama.

Akan tetapi, jauh panggang dari api, para pemimpin kita baik dari tingkat RT\RW sampai kepada pejabat tinggi negara ditengarai mengalami disintegaritas. Mereka dengan mudah terjerat kasus korupsi, suap, jual-beli jabatan dan lain sebagainya.

Mereka kembali mempertegas seruan sekaligus ketakutan Lord Acton bahwa kekuasaan cenderung untuk korup, apapun bentuknya. Kenyataan ini menunjukkan bahwa negara kita ternyata dikendalikan oleh pemimpin yang terkadang tak bermoral, hanya tahu mengumbar janji, tidak tepat waktu, dan terkadang tidak taat hukum.

Kedua, warga masyarakat dapat diibaratkan sebagai para penumpang metromini. Dapat dikatakan bahwa masyarakat adalah kumpulan orang-orang yang mempunyai pandangan hidup dan cita-cita yang sama.

Pandangan hidup dan cita-cita itu direalisasikan bersama dalam bingkai yang disebut negara. Dalam negara Indonesia, cita-cita dan pandangan hidup itu tertuang dalam dasar negara Pancasila.

Meskipun demikian, adalah terlalu naif untuk mengatakan bahwa masyarakat secara seragam mengimplementasikan pandangan hidup dan cita-cita bersama itu.

Sebab dalam kenyataannya, ada berbagai kepentingan pribadi yang sikut-menyikut dengan pandangan dan cita-cita bersama itu. Warga masyarakat seringkali disusupi oleh nilai-nilai yang kurang baik. Kejahatan ada di mana-mana. Muncul rasisme dan sikap anti terhadap agama lain. Lahir istilah non-islam atau non-kristen, kafir, dan sebagainya. Politik mengandu domba, melahirkan golongan kampretos dan cebongers.

Seperti halnya dalam metromini, manusia-manusia beradu kepentingan. Dalam diri mereka hasrat pribadi adalah pegangan utama. Siapa menghalangi saya untuk mencapai hasrat saya itu, ia adalah musuh saya. Begitulah kiranya ungkapan yang tepat untuk menggambarkan kondisi yang terjadi dalam negara metromini yang dimaksud.

Manusia Paradoksal

Pertanyaan selanjutnya yang perlu diajukan adalah ‘Bagaimana sebuah negara mempersatukan manusia-manusia heterogen yang demikian?’ Bagaimanapun, dalam demokrasi yang diibaratkan kotak berjalan yang pengap itu, hidup manusia-manusia yang paradoksal, berkebebasan sekaligus bertanggung jawab. Keduanya juga sekamar dalam tubuh yang sama.

Manusia bisa bebas melakukan apa saja, tetapi ia berbeda dari binatang dalam soal tanggung jawab. Ia sadar apa yang ia lakukan, sadar siapa yang ia libatkan dalam setiap tindakannya, juga sadar apa prospek tindakannya di masa mendatang. Sebagaimana kata Viktor Frankl, “tanggung jawab adalah hakikat tertinggi keberadaan manusia.”

Tanpa sikap tanggung jawab itu, dengan kebebasannya manusia akan menjadi serupa dengan binatang dengan hasrat liar dan membabi buta, tidak peduli pada lingkungan sekitarnya.

Pertanyaan yang kemudian seringkali muncul adalah ‘Mana yang mesti didahulukan?’ Sebagai makhluk berkebebasan sekaligus bertanggung jawab, kita bisa belajar dari metromini, karena bagaimanapun, ia menyimpan sejuta kebaikan, barangkali sama banyaknya dengan keburukan yang tersimpan di dalamnya. Maka, sebagai warga negara, untuk dua hal, kita bisa belajar dari metromini.

Pertama, sebagai pemimpin, di mana pun, tidak terbatas pada besar atau kecilnya lembaga yang kita bawahi, kita harus menempatkan hukum di atas segalanya.

Kita percaya bahwa hukum telah lahir dari proses pemikiran yang panjang oleh para penyusunnya, yang terutama telah menempatkan nilai-nilai universal di dalamnya.

Jika para pemimpin mematuhi hukum ini, arah atau sepak terjang bangsa kita akan selalu berada di jalur yang pas. Sama halnya ketika sopir metromini mematuhi segala rambu-rambu lalu lintas, kenyamanan penumpang pada khususnya dan lalu lintas pada umumnya akan tercipta.

Yang menjadi catatan, rambu-rambu itu juga ada dalam diri setiap para pempimin. Kita menyebutnya hati nurani. Tanpa hati nurani, kita tak lebihnya dari mesin otomatis yang kaku dan bekerja hanya atas dasar instruksi.

Kedua, sebagai warga negara, kita bisa belajar dari metromini, soal sikap saling menghargai. Ketika menaiki metromini kita dihadapkan pada pilihan berikut: memberi tempat kepada perempuan, orang tua, penyandang disabilitas, anak-anak, atau rela berdiri.

Manusia yang jahat sekalipun, ketika menyadari dirinya berada di tengah manusia lain, akan terbiasa dengan nilai-nilai yang dilihatnya setiap hari. Artinya, kebaikan yang kita lakukan setiap hari bisa menular kepada orang lain. Itulah mengapa Kim Jong Un memulai dialog dengan bangsa-bangsa lain dengan lebih terbuka. Atau sebagai makhluk yang berkebebasan dan bertanggung jawab, kita tahu mana yang kita bisa lakukan.

Akhirnya, sikap di atas hanya akan tumbuh jika kita mengerti bahwa diri kita adalah makhluk yang berkebebasan sekaligus bertanggung jawab, yang menempatkan keduanya dalam posisi seimbang, bukan saling tindih.

Metromini akan tetap demikian, akan tetap mencurigakan, akan tetap penuh dengan berbagai kepentingan, akan tetap menimbulkan konflik. Akan tetapi, kita adalah makhluk berkebebasan sekaligus bertanggung jawab. Kita tahu apa yang akan kita lakukan.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya