Buku dan Masa Depan Bangsa

Guru di Canisius College Jakarta
Buku dan Masa Depan Bangsa 02/01/2020 1927 view Budaya pixabay.com

Oleh masyarakat kita, kegiatan membaca buku perlahan-lahan disisihkan. Perpustakaan-perpustakaan sepi. Buku-buku diliputi debu. Perpustakaan besar di kampus saya, misalnya, jarang dikunjungi mahasiswanya. Orang-orang mulai beralih kepada informasi-informasi instan a la internet dan media sosial. Buku jelas merupakan sebuah produk intelektual yang berbobot dan memiliki validitas tinggi yang dapat dipertanggungjawabkan. Sementara itu, tidak semua yang ada di internet dapat dipercayai.

Syahdan, sejalan dengan ditinggalkannya budaya membaca buku, masyarakat seperti sedang kehilangan pegangannya akan kebenaran. Kebenaran menjadi rancu. Contoh kasus paling populer adalah merajalelanya hoaks menjelang pemilihan umum presiden 2019. Persis ketika itu, terutama ketika internet menjadi begitu populer, apa yang orang sebut ‘data’–dalam arti yang negatif–berseliweran di mana-mana. Mana yang boleh dipercaya dan mana yang tidak, orang tidak punya pegangan.

Dalam pada itu, masyarakat yang bertumpu pada kebenaran-kebenaran yang relatif memiliki kecenderungan untuk hanya mempercayai apa yang sesuai dengan kepentingannya. Kecenderungan semacam ini bisa ditelusuri sejak zaman Yunani Kuno ketika orang-orang beralih ke kaum sofis, yang dalam sejarah filsafat dikenal sebagai para pembias kebenaran.

Kaum sofis merupakan golongan yang dengan ajarannya menjual kebenaran demi reputasi dan kekayaan. Sekarang, kaum sofis tidak lagi berwujud manusia, Protagoras atau Gorgias. Pada abad ke-21, internet yang kemudian membuka jalan bagi lahirnya media sosial seperti Facebook, Twitter, WA Group dan lain sebagainya telah lahir sebagai sofis yang baru.

Di sana, orang bisa membagikan apa saja, termasuk kebencian, karakusan, kegarangan, dan berbagai naluri destruktif mereka lainnya. Hoaks kemudian merajalela di berbagai platform media sosial. Di sini, kebenaran tidak lagi autentik karena dimanipulasi demi tujuan apa saja, terutama untuk kepentingannya.

Dari keperihatinan inilah tulisan yang berintensi mengubah ini berangkat. Bagi saya, adalah mendesak bagi setiap orang untuk kembali kepada buku. Oleh karena itu, tulisan ini selain ingin menegaskan bahwa masyarakat Indonesia mesti kembali kepada buku, juga menawarkan jalan bagaimana masyarakat Indonesia bisa mewujudkan masa depan diri dan bangsa lewat membaca buku.

Sebelum beranjak dari seruan kepada tindakan konkret “kembali kepada buku”, beberapa gejala yang saya lihat sebagai akar dari ditinggalkannya budaya membaca dalam masyarakat perlu diulas. Pertama, kualitas bacaan kita belum tepat sasar. Bacaan yang tidak tepat sasar berkaitan dengan isi bacaan yang tidak sesuai dengan tingkat pendidikan masyarakat. Saya, misalnya, belasan tahun berada di bangku pendidikan. Belasan tahun itu pula saya telah berhadapan dengan banyak pengetahuan yang ruwet, baik untuk sekadar dibaca maupun untuk didalami. Buku-buku kebanyakan ditulis dalam bahasa-bahasa dan istilah-istilah yang rumit.

Sisi positif dari hal ini adalah bahwa bacaan-bacaan dengan kompleksitas isi yang tinggi juga menuntut nalar pembaca yang tinggi. Pada titik ini, bacaan-bacaan tersebut mempunyai peran langsung untuk meningkatkan daya nalar pembaca. Selain itu, bisa dikatakan bahwa semakin rumit isi sebuah ide atau gagasan, semakin orisinal ide atau gagasan tersebut.

Akan tetapi, sisi negatifnya adalah kebanyakan masyarakat kita belum sampai pada tuntutan itu karena sebagian masyarakat belum melek huruf, punya pendidikan yang rendah, dan jarang membaca. Kondisi yang demikian tentu akan menutupi akses mereka kepada berbagai pengetahuan baru di luar diri mereka.

Masalah ini menjadi kian pelik ketika kesenjangan antara rendahnya tingkat pendidikan masyarakat dengan kualitas isi bacaan yang rumit dimanfaantakan oleh segelintir orang. Bayangkan, lewat tulisan-tulisan sampah atau kabar bohong (hoaks), beberapa oknum mencoba menyusupkan paham-paham sempit mereka kepada masyarakat, seperti nilai intoleransi, rasisme, kekerasan, fitnah, terorisme, dan lain sebagainya. Hal ini mudah saja mengingat bacaan-bacaan seperti ini cenderung lebih menarik bagi masyarakat kita yang nyatanya belum kritis.

Kedua, kegiatan membaca tidak terdapat dalam keseharian sebagian besar masyarakat kita. Masyarakat kita nyatanya meloncat terlalu cepat dari penuturan lisan kepada yang visual, lewat hadirnya televisi dan teknologi audio-visual lainnya. Proses penuturan dan penyampain informasi lewat tulisan menjadi terlewatkan. Akibatnya kultur membaca masyarakat menjadi sangat rendah.

Ketiga, sistem pendidikan yang kita hidupi tidak menyentuh aspek paling mendasar dari kegiatan membaca, yakni menemukan sesuatu. Menemukan sesuatu berarti memahami apa yang dibaca dan mampu mengaplikasikannya ketika menghadapi masalah-masalah yang nyata. Kurikulum sekolah kita semata hanya berorientasi pada nilai-nilai di atas kertas dan memaksa para siswa untuk mencapai target-target tertentu. Akibatnya, untuk mendapatkan informasi-informasi yang dibutuhkan, para siswa menghalalkan berbagai cara, seperti menyontek, menjiplak sana-sini, dan lalu hanya menghafal sesuai dengan tuntutan yang ada.

Menyikapi permasalahan di atas, panggilan untuk menjadikan budaya membaca buku dekat dengan masyarakat mesti diwujudkan. Saya menawarkan langkah-langkah berikut ini. Pertama, kita mesti sampai pada kesadaran bagaimana merumuskan dengan baik apa yang telah kita peroleh dalam proses belajar kita, baik secara lisan maupun tulisan. Inti dari tugas ini adalah bagaimana mengartikulasikan pengetahuan yang didapatkan seseorang di bangku pendidikan dengan lebih sederhana dan lugas agar bisa disampaikan secara efektif.

Di sini, saya memberikan sebuah contoh yang sederhana. Setiap orang yang pernah dididik di sekolah tentu tahu bagaimana memeras intisari dari sebuah gagasan dengan melihat kalimat utamanya. Dari kalimat utama tersebut, ditariklah gagasan utamanya. Jelasnya, pengetahuan masyarakat untuk dapat membaca dan memahami bacaan dengan baik mesti dikembangkan.

Selain itu, perlu digarisbawahi bahwa kelindenan proses membaca bagaimanapun mesti sampai pada kegiatan menulis dan berbicara sehingga ide tidaklah menjadi sia-sia. Tugas setiap orang di sini, secara khusus pelajar, adalah bagaimana merumuskan gagasan dengan baik, dalam menulis maupun berbicara. Kualitas isi sebuah tulisan atau pembicaraan bukan terletak pada banyaknya kata-kata indah dan ruwet yang dikutip, melainkan terletak pada keefektifan penuturan itu kepada para pendengar atau pembaca. Jelasnya, ide-ide mesti disampaikan dengan efektif.

Kedua, akses masyarakat kepada sumber-sumber bacaan harus dimudahkan. Keterbatasan ekonomi turut membatasi masyarakat kita dari bacaan-bacaan yang dibutuhkannya. Masyarakat kelas bawah tentu tidak mampu membeli buku-buku yang mereka perlukan karena perpustakaan menyediakan buku-buku dengan harga yang mahal. Di sini, terobosan yang diperlukan adalah memudahkan akses masyarakat kelas bawah kepada berbagai sumber bacaan. Pemerintah diharapkan mampu menyediakan perpustakaan-perpustakaan yang murah dan gratis.

Mengenai hal ini, pemerintah kita bisa belajar dari negeri-negeri seberang. Di Finlandia, misalnya, perpustakaan ada di mana-mana. Buku untuk anak-anak dan sejenisnya diterbitkan jauh lebih banyak dibandingkan buku yang lain. Di Jepang, terdapat budaya Tachiyomi yang mana masyarakat bisa membaca buku-buku di toko buku secara gratis (sambil berdiri). Penyedia buku di toko-toko buku sengaja membuka segel semua buku, agar setiap orang bisa membacanya.

Ketiga, setiap orang juga mesti belajar dari tokoh-tokoh bangsa mengenai semangat membaca dan berliterasi. Tan Malaka, seorang tokoh Indonesia, dalam bukunya yang berjudul Materialisme, Dialektika dan Logika (1943) menceritakan bagaimana ia melewati puluhan tahun di tanah pembuangan (Cina, Jepang, Singapura, Hongkong, Rusia) sambil berjuang mati-matian untuk terus bisa memiliki pustaka. Bagi Malaka, selama tokoh buku masih ada, selama itu pula pustakanya masih bisa dibentuk kembali.

Selain itu, Drs. Mohammad Hatta, bapak proklamator sekaligus wakil presiden pertama RI dalam setiap pembuangannya, selalu membawa berpeti-peti buku. Dari kebiasaan itu, lahirlah karya-karya bernas dalam rupa buku, seperti Demokrasi Kita (1960) dan Mendayung Antara Dua Karang (1976).

Dari kedua tokoh ini, kita belajar bahwa buku teramatlah penting, sama pentingnya dengan keberadaan kita. Tanpa buku, kita tidak akan bisa mewujudkan dan menyebarkan gagasan kita.

Akhirnya, buku teramatlah penting. Saya suka mengutip Joseph Brodsky di sini, there are worse crimes than burning books. One of them is not reading them. Yang mau saya katakan adalah jika tidak segera kembali kepada buku, masa depan bangsa adalah tumbalnya. Selain itu, proses membaca adalah proses belajar yang tak berkesudahan. Ia mesti dihidupi setiap saat.
 

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya