Interupsi Iman Setelah Wabah Covid-19

Mahasiswa STFK Ledalero
Interupsi Iman Setelah Wabah Covid-19 15/04/2020 15602 view Lomba Esai pixabay.com

"Dalam bentuknya yang paling padat, agama bisa didefinisikan sebagai sebuah interupsi"_Johann Baptist Metz.

Teolog Katolik, Johann Baptist Metz (1928-2019) merupakan salah seorang pendiri aliran Teologi Politik. Melalui kredonya di atas, ia mau mengasosiasikan interupsi spiritual dengan janji kemenangan bagi mereka yang menderita. Selain itu, ia menggunakannya sebagai peringatan terhadap fenomena ‘pemborjuisan agama‘. Disebut demikian, sebab agama (baca: Gereja) cenderung menganggap dirinya sebagai yang paling unggul dan punya kuasa atas umatnya.

Kendati demikian, jika ia disebut sebagai sebuah interupsi, Gereja justru ingin memperingatkan umatnya agar selalu berjalan pada ajaran Tuhan. Pada titik ini, ia sebetulnya mau mendepak segala sesuatu yang berbau berpaling dari Tuhan dan ajaran-Nya. Karena itu, jika kita lihat lebih jauh, fenomena wabah covid-19 saat ini sesungguhnya menunjukkan interupsi atas Gereja dan umatnya. Interupsi tersebut bisa bermetamorfosis dalam bentuk pertanyaan atas ketahanan iman kita kepada Tuhan dan ajaran-Nya.

Ada banyak fenomena yang menginterupsi ketahanan iman kita itu. Di antaranya ialah tidak adanya misa umat selama pekan suci 2020 ini di beberapa keuskupan. Di Keuskupan Ruteng misalnya, Uskup Sipri Hormat menegaskan bahwa tidak adanya Misa umat selama Pekan Suci 2020.

Berkaitan dengan hal ini, Uskup Sipri mengatakan, untuk pertama kali dalam sejarah, selama beberapa minggu bahkan dalam Pekan Suci, umat Katolik tidak merayakan ekaristi umat di Gereja dan kapela di seluruh wilayah Keuskupan Ruteng. Dalam situasi wabah yang terjadi, umat dan imam hendaknya tidak perlu panik dan cemas. Ketenangan Kristiani ini bukanlah sebuah hiburan romantis, tetapi sungguh sebuah keyakinan teguh yang dibangun dalam kehadiran Tuhan sendiri: “Aku ini!”.

"Kehadiran Allah yang meneguhkan dan menghidupkan dalam hidup manusiawi kita yang rapuh dan terbatas, persis itulah yang kita rayakan dalam peristiwa Paskah. Paskah mengungkapkan bahwa dalam kehidupan dunia yang diwarnai oleh kelemahan dan bahaya, kita selalu berada dalam lindungan kasih ilahi," katanya (Flores Pos, diakses pada Rabu, 15/4/2020).

Melalui pesan Uskup Sipri di atas misalnya, kita diajak untuk berefleksi atas fenomena wabah yang tengah melanda aspek spiritualitas kita semua. Di sini, kita dapat paham bahwa iman kita kepada Tuhan bukan hanya melalui Gereja sebagai sebuah bangunan, namun bisa pula melalui Gereja yang ialah kita semua sebagai umat-Nya.

Karena itu poinnya ialah iman sesungguhnya bukan hanya tampak pada megah, meriah ataupun agungnya kesemarakan Paskah di Gereja dan kapela, tetapi Paskah yang sejati menjadi lebih bermakna bila kita kembali ke dalam diri, berefleksi atas apa yang tengah terjadi saat ini.

Pada aras ini, terjadilah proses interupsi di atas itu. Sebagaimana Metz, interupsi Gereja ialah peringatan kepada umatnya sendiri. Ia mengingatkan umatnya, berarti juga ia memperingatkan dirinya sendiri. Di sini, peringatan itu ialah sebagai bentuk positif bahwasannya Tuhan bukan hanya ada dalam sebuah gedung bernama Gereja, namun Ia juga hadir melalui masing-masing diri kita di rumah.

Meskipun tidak misa, namun adanya ibadat bersama di rumah kita setidaknya meniscayahkan adanya iman yang masih melekat di hati kita semua. Melalui ibadat paskah di rumah saya misalnya, saya baru paham bahwa kehadiran saya di tengah keluarga sangatlah berarti dan membawa kebanggaan bagi mereka semua.

Pada titik ini, interupsi atas iman kita yang positif itu bisa menjadi bias manakala saya berpihak kepada keluarga dan hadir di tengah mereka semua. Inilah bentuk yang paling radikal dari spiritualitas itu, di mana kita ada bersama keluarga, terlibat langsung di sana, melancarkan doa secara bersama dan ada perjumpaan intensi yang sama pada saat ibadat di rumah itu berlangsung.

Saya menyebut hal ini sebagai spiritualitas yang radikal, sebab kita mau agar aspek pelayanan iman kita mesti kembali kepada akar ajarannya. Sebagaimana akar ajaran iman kita (baca: Gereja), ada setidaknya enam cara hidup Jemaat Perdana yang masih bertahan sampai sekarang. Pertama, saling mengumpulkan dan membagikan harta milik kepada sesama. Kedua, setia pada ajaran Para Rasul. Ketiga, tidak egois. Keempat, hidup akur dan rukun. Kelima, selalu hidup dalam kasih karunia Tuhan. Keenam, berkumpul dan berdoa bersama.

Berkaitan yang keenam ini, cara hidup jemaat perdana ini sebetulnya tengah dan kiranya akan selalu kita buat di hari mendatang. Di sini, ada interupsi bernada persuasif agar kita selalu senang untuk berkumpul dan berdoa bersama di rumah kita masing-masing. Sebagaimana Yesus sendiri pernah mengatakan, di mana ada dua atau tiga orang yang berkumpul dan membicarakan Yesus, maka Yesus sendiri akan berada di tengah – tengah mereka.

Jadi, hemat saya, kegiatan berkumpul dan berdoa bersama selama pekan suci 2020 selama ini sangat berguna di mana setiap orang dalam kelompok bisa saling mendoakan satu sama lain. Selain itu, dengan adanya kehadiran Tuhan sendiri, maka berkat dan rahmat akan tercurah pada saat itu juga. Akhirnya, apakah kita berdoa bersama di rumah hanya sebatas perayaan Paskah selama wabah corona? Ataukah kita masih ingin berdoa meskipun pandemi corona ini sudah berlalu?.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya