Indonesia Bukan Hanya Pancasila

Pembahasan mengenai Pancasila akhir-akhir ini begitu panas dengan adanya pembentukan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (UU HIP). Ada dua kubu yang pro dan kontra dalam pembentukan UU HIP, walaupun pada akhirnya rencana pembentukan UU HIP ditunda disebabkan polemik dari publik yang pro dan kontra terhadap UU HIP tersebut. Pembahasan mengenai Pancasila yang tidak pernah usai sejak awal kemerdekaan hingga kini dengan rencana pembentukan UU HIP sangat membingungkan kita semua tentang pemaknaan Pancasila itu sendiri.
Di Abad ke-21 ini menarik melihat Indonesia yang masih saja mengurusi persoalan ideologi negara di saat negara-negara di dunia sudah melewati fase pembahasan ideologi yang berujung pada PD I, PD II, hingga perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Indonesia yang akan memasuki usia ke-75 pada tahun ini dengan usia yang tidak muda lagi masih meributkan perihal ideologi negara yang pada akhirnya pembahasan ideologi tersebut hanya sebatas proyek semata. Di abad ke-21 yang seharusnya pemerintah membahas masalah publik atau hak warga yang luput dari kacamata kita semua.
Sebagian dari kita mungkin merasa bahwa Indonesia itu Pancasila dan Pancasila itu Indonesia. Tapi ada yang luput dari kita semua yaitu kita sebagai negara yang menganut bentuk pemerintahan “Republik”.
Pembahasan mengenai makna republik tidak pernah naik kepermukaan publik mengenai publik dan privat dalam kehidupan berbangsa ataupun bernegara sekalipun. Dengan mengamalkan makna republik seharusnya demokrasi di Indonesia berjalan semestinya. Sebagai gagasan generik republik bisa diisi dengan konsep dan pemikiran apa pun yang melibatkan seluruh publik atau warga demi tujuan bersama.
Dengan adanya pembentukan UU HIP yang kontroversial ini membuat kebebasan berpendapat dan bahkan kebebasan akademik semakin terbendung, karena pada akhirnya dengan mengatasnamakan Pancasila saja yang layak untuk diserap dan diterima oleh masyarakat ataupun publik.
Di era globalisasi ini dimana ide dan gagasan visioner berkembang secara dinamis yang menjadikan kita sebagai masyarakat global sulit untuk diterapkan dengan adanya UU HIP tersebut yang bersifat mengikat dan selalu mengatasnamakan Pancasila semata. Dengan rencana pembentukan UU HIP layaknya kita masih terjebak glorifikasi dan romantisme sejarah Indonesia.
Seperti yang dikatakan Robertus Robet pada jurnalnya yang berjudul “Gagasan Manusia Indonesia dan Politik Kewargaan Indonesia Kontemporer”, pada jurnal tersebut Robertus Robet melihat pada masa Orde Baru dimulai dengan proyek kewargaan yang melibatkan tidak hanya peralatan hukum dan politik, tetapi juga kebudayaan hingga filsafat.
Proyek kewarganegaraan yang dibangun oleh Orde Baru menurut Robertus Robet dimaksudkan untuk mengintegrasikan wilayah mental dengan wilayah biologis yang dirumuskan dalam sebuah konsep antropologis politis yang bernama “manusia pancasila” Seperti yang dikatakan oleh Robertus Robet konsepsi mengenai manusia Indonesia seutuhnya digunakan oleh Orde Baru untuk memantapkan standarisasi dan normalisasi yang menjadi standar baku mengenai siapa manusia Indonesia tersebut.
Jika melihat pembentukan UU HIP hampir sama dengan yang dilakukan pada masa Orde Baru mengenai proyek kewargaan Indonesia saat ini. Dengan adanya reformasi tahun 1998 yang diharapkan keterlibatan publik atau civil society nyatanya hanya menjadi perputaran sirkulasi elit dahulu dengan yang baru.
UU HIP merupakan bentuk dari belum hancurnya bentuk-bentuk tradisonal negara-bangsa yang dibawa oleh Orde Baru dahulunya. Terlihat banyaknya tokoh-tokoh elit tradisional yang memiliki kekuasaan besar yang tidak bisa memaknai bentuk dari negara modern itu seperti apa. Semangat kepublikan akhirnya kembali tergoyah dengan pembentukan UU HIP yang sangat jauh dari ide-ide visioner mengenai bentuk negara modern.
Yang menjadi problem jika UU HIP ini ditindaklanjuti dan disahkan oleh DPR maka politik kewargaan yang sudah mulai terbangun dalam bentuk pemerintahan republik pasca reformasi ini akan menjadi hal yang sangat tidak diinginkan. Yang terjadi kebebasan publik bakal lebih terbatas dengan dalih tidak sesuai dengan pancasila.
Maka pada akhirnya seperti yang dikatakan filsuf Italia yaitu Giorgio Agamben bahwa masyarakat hanya akan menjadi homo sacer yang dimaksud ketika negara pada akhirnya menginklusi semua orang dalam tatanan dengan berbagai peraturan dan batasan. Tetapi negara juga menjalankan kekuasaan berdasarkan paradigma penyelenggaraan status darurat di dalam tatanan hukum sekalipun, maka kekerasan dan kesewenangan masih akan terus terjadi. Inilah yang disebut Agamben bahwa setiap orang pada era kontemporer ini berstatus sebagai homo sacer hak alamiah dan hak politisnya dilucuti secara bersamaan.
Seharusnya yang dilakukan oleh pemerintah saat ini bukan hanya mengurus permasalahan ideologis khususnya Pancasila dengan pembentukan UU HIP, tetapi yang penting saat ini bagaimana menciptakan partisipasi aktif dalam masyarakat dengan menciptakan modal sosial (social capital) yang berkaitan dengan hubungan. Seperti yang dikatakan Putnam yang dikutip oleh John Field pada bukunya yang berjudul Social Capital, bahwa modal sosial merupakan bagian dari kehidupan sosial berupa jaringan, norma, dan kepercayaan yang mendorong partisipan bergerak bersama secara lebih efektif untuk mencapai tujuan-tujuan bersama.
Putnam menggunakan konsep modal sosial untuk lebih banyak menjelaskan mengenai perbedaan-perbedaan dalam keterlibatan yang dilakukan warga berdasarkan jaringan dan norma di masyarakat yang majemuk. Dari pada menindaklanjuti pembentukan UU HIP lebih baik memperkuat civic engagement atau keterlibatan warga negara dalam hal yang bersifat inovatif dan visoner di masyarakat yang majemuk ini.
Artikel Lainnya
-
59716/10/2023
-
192630/12/2020
-
185504/07/2021
-
533817/11/2019
-
Parasitisme: Patogen Dan Kelas Penguasa
202418/04/2020 -
Kerja Terus Sampai Gila: UU Cipta Kerja dan Janji Manis yang Mengabaikan Kesehatan Mental
45210/10/2024