Perlukah Mencari Kebahagiaan?

Saya punya beberapa teman yang suka membagikan sebuah reminder rutin dalam status media sosialnya.
Isinya adalah sebuah kalimat singkat : "Jangan lupa bahagia" atau dalam kesempatan lain, kadang-kadang redaksinya berubah sedikit menjadi "jangan lupa tersenyum"
Awalnya saya tidak terlalu memperdulikan dan terlalu tertarik dengan model reminder-remider seperti ini karena isinya sangat umum dan lazim ditemukan dalam kutipan-kutipan sejenis lain yang memang banyak bertebaran di media sosial.
Cuma karena terlalu sering melihat kalimat ini, saya tiba-tiba jadi kepikiran dengan isi kalimat tersebut. Apa benar ya sekarang untuk sekedar bahagia atau tersenyum saja orang bisa lupa dan harus diingatkan orang lain?
Atau kalimat ini sebenarnya menyiratkan isi pesan yang lain, semacam sarkasme yang menggambarkan betapa kacau dan konyolnya dunia yang kita tinggali saat ini, sehingga untuk hal sesederhana seperti menjadi bahagia atau tersenyum saja orang bisa lupa dan mesti diingatkan.
Tentu kita semua sudah tahu, bahwa ketika membahas kebahagiaan perdebatannya bisa panjang. Dari definisi saja orang bisa berbeda-beda pendapat, apalagi jika kita turun membahas standar, indikator, dan hal-hal apa saja yang bisa mendatangkan kebahagiaan.
Dalam perspektif hedonisme, kebahagiaan itu adalah segala hal yang membawa kepuasan bagi diri. Dalam perspektif emosional, bahagia adalah ketika orang merasakan ketenangan dan kedamaian. Indikatornya dapat kita uraikan lebih banyak lagi, tergantung dari sudut pandang yang digunakan.
Kembali kepada pembahasan di awal tentang reminder tadi. Dari redaksi kalimatnya, saya mengasumsikan bahwa banyak orang menganggap bahwa kebahagiaan itu adalah sesuatu yang sifatnya didapatkan dari luar dan harus dicari dari eksternal diri manusia.
Secara umum orang menganggap hal-hal eksternal tersebut diwakili oleh harta, tahta, atau bahkan pasangan. Semua hal tersebut adalah jalan menuju kebahagiaan. Semakin kaya & berkuasa seseorang maka ia akan semakin bahagia. Akan tetapi konsep kebahagiaan yang menitikberatkan kepada hal kebendaan seperti ini justru tidak memadai. Karena, begitu orang mendapatkan sesuatu, muncul hasrat untuk mendapatkan sesuatu lain yang lebih tinggi dan lebih banyak. Jadi, sampai titik mana hasrat manusia itu dapat dipenuhi sehingga ia mendapat kebahagiaan?.
Atau apakah kebahagiaan terletak ketika seseorang bisa berkumpul dengan orang-orang yang ia kasihi? Jika demikian, bagaimana bila suatu saat tiba-tiba orang tersebut meninggalkannya? Apakah serta merta kebahagiannya juga hilang?.
Barangkali kita bisa sedikit menengok kembali kisah Sisipus yang ditulis oleh Albert Camus. Sisipus adalah manusia yang dikutuk oleh para dewa untuk mendorong sebuah batu besar ke atas bukit, tetapi saat batu tersebut akan mencapai puncak batu itu akan kembali menggelinding ke bawah. Siklus ini terus terjadi dan Sisipus harus mendorong batu tersebut selamanya.
Cerita Sisipus ini adalah alegori yang menggambarkan bahwa secara instrinsik hidup manusia itu tidak memiliki makna apa-apa. Manusia itu sendirilah yang memberikan makna dalam kehidupannya.
Cerita Sisipus dapat dilihat sebagai sebuah tragedi jika kita melihatnya sebagai sebuah kutukan karena ketidakmungkinannya untuk mencapai puncak bukit, atau kita juga bisa menganggapnya sebagai hal yang membahagiakan jika kita melihatnya sebagai sesuatu proses perjuangan hidup yang berarti. Seperti yang diungkapkan oleh Camus, "kita harus membayangkan sisipus bahagia".
Kebahagiaan itu sebenarnya ditentukan dari diri setiap orang itu sendiri. Orang bisa menentukan seberapa bahagia ia bukan dari banyaknya harta, tingginya kekuasaan, atau berada di sekitar orang-orang yang dikasihi. Orang miskin & kaya, rakyat jelata & raja, sama-sama dapat bahagia, tergantung dari seberapa besar ia mengganggap hal-hal apa saja yang ia anggap bermakna.
Oleh karena itu tidak heran jika misalnya kita melihat ada tenaga medis yang rela bekerja non-stop atau tentara yang rela mati di medan perang. Mereka memiliki sesuatu hal bermakna yang mereka perjuangkan, entah itu negara, nyawa pasien, orang, dan lain sebagaianya. Itulah yang membuat orang terus berjuang walaupun kesulitan dan rasa ingin menyerah itu terus menghampiri.
Hal-hal yang terjadi di luar kita itu bukan sesuatu yang bisa diatur oleh kemampuan kita. Tetapi, satu hal yang bisa kita atur adalah bagaimana kita melihat segala sesuatu dan mengontrol pikiran kita, itulah kebijaksanaan yang kita miliki, seperti yang pernah diucapkan oleh seorang kaisar sekaligus seorang filsuf stoik terkenal, Marcus Aurelius.
Dewasa ini, sepertinya banyak orang yang terlalu sibuk memikirkan apa yang dikatakan atau dipikirkan orang lain mengenai dirinya. Makanya banyak orang yang resah, tidak nyaman, dan mengalami gangguan psikis. Orang dipaksa untuk mengikuti standar dan nilai dari orang lain, padahal setiap orang memiliki seperangkat nilai dan kepercayaan sendiri yang ia yakini, dan ajaibnya, banyak yang salah langkah dan tidak bahagia akibat kasus seperti ini. Barangkali mungkin ini memang efek samping yang dihasilkan dari konektivitas antar orang yang begitu tinggi di zaman teknologi informasi yang sedemikian pesat.
Memang, kita tidak bisa mengesampingkan hal-hal eksternal yang dapat memicu rasa kebahagiaan kita. Atau bukan pula kita juga harus menolak dan anti terhadap hal-hal tersebut. Tapi, apalah arti sebuah harta kekayaan sebesar gunung dan kekuasaan setinggi langit bilamana dalam hati kecil, kita masih merasakan kehampaan. Pada intinya semua kembali ke pikiran dan kearifan pribadi seseorang.
Jadi, kebahagiaan itu sebenarnya bukan hal merepotkan yang harus susah-susah dicari atau ditemukan dari luar. Kebahagiaan itu tidak kemana-mana, ia selalu ada dalam diri setiap orang. Tinggal orangnya sendiri yang akan memilih apakah dia mau bahagia atau tidak. Tidak perlu harus menunggu harus memiliki harta, tahta, atau sosok orang yang berharga di sisinya.
Seperti kisah sisifus tadi. Jika orang terus mendorong batu ke atas bukit untuk mencari kebahagiaan, maka ia tidak akan pernah sampai pada tujuannya. Sebaliknya jika ia menyerah, ia akan terus menderita sepanjang hidupnya.
Kalau kebahagiaan itu terus menerus kita kejar, lalu Kapan kita akan menikmati kebahagiaan itu? Kalau untuk bahagia saja kita bisa lupa, berarti orang itu hakikatnya sudah mati karena tidak ada lagi yang bermakna dalam hidupnya.
Alangkah absurdnya hidup ini...
Artikel Lainnya
-
146630/12/2019
-
46508/10/2023
-
76711/08/2025
-
Krisis Spiritual dan Derita Masyarakat Modern
287823/12/2021 -
E-commerce di ASEAN: Ratifikasi AAEC Menuju Ekosistem E-commerce Berkembang di Indonesia
69205/05/2024 -
Anomali Politik Jelang Pilkada
44806/10/2024