Ilusi Demokrasi dalam Dinasti Politik
Majunya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon Walikota dalam Pilkada Solo pada 9 Desember 2020 mendatang menghangatkan kembali diskusi mengenai dinasti politik. Mengingat pula bahwa Gibran merupakan putra pertama dari Presiden Joko Widodo.
Pada umumnya, demokrasi menjadi alasan yang mendasari sikap untuk menilai praktik dinasti politik. Pihak kontra akan menilai bahwa dinasti politik akan merusak demokrasi sehingga perlu usaha untuk mereduksi praktik dinasti politik demi terciptanya demokrasi yang berkualitas, sebaliknya tindakan tersebut akan dinilai oleh pihak lain sebagai usaha untuk mereduksi demokrasi itu sendiri karena membatasi warga negara untuk dapat berpartisipasi dalam Pemilu.
Diakui Negara
Perlu disadari bahwa praktik dinasti politik merupakan hal yang lumrah, tidak hanya di Indonesia, namun juga di berbagai negara. Bahkan, dinasti politik yang kerap diindentikkan dengan politik kekeluargaan (political families) terjadi pula hingga tingkat lokal. Keterlibatan keluarga di sini bisa dimaknai dalam dua sifat: intragenerasi (seperti istri, suami, atau saudara kandung), maupun antargenerasi (anak, menantu, mertua, dan sebagainya).
Tujuan dari dinasti politik nyatanya tidak hanya untuk melanggengkan kekuasaan yang dimiliki, namun juga sebagai bentuk strategi pertahanan. Dalam artikel yang bertajuk Understanding Family Politics: Successes and Failures of political Dynasties in Regional Indonesia, Aspinall dan As’ad (2016) menyebutkan bahwa dinasti politik menjadi sebuah usaha bagi seseorang untuk dapat melindungi diri mereka sendiri dari penyelidikan atau pun penuntutan hukum. Kasus yang menimpa Mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah maupun mantan Bupati Bangkalan Fuad Amin Imron dapat menjadi contoh yang menegaskan hal tersebut. Karenanya menjadi wajar jika dinasti politik kerap dipandang negatif oleh masyarakat umum.
Dalam sudut pandang hukum, dinasti politik merupakan hal yang tidak dilarang dan dibenarkan sejauh individu tersebut dapat menaati mekanisme pemilihan yang berlaku.
Pengakuan tersebut terjadi ketika pada 8 Juli 2015 Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan Pasal 7 huruf (r) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. Pasal tersebut mengatur persyaratan di mana calon Kepala Daerah tidak boleh memiliki konflik kepentingan dengan petahana. Konflik kepentingan di sini, salah satunya, bisa diartikan di mana calon Kepala Daerah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan, dan garis keturunan dengan petahana.
Ilusi Demokrasi
Unsur partisipasi dipandang menjadi alasan utama pembatalan Undang-Undang tersebut. Demokrasi selalu mengandaikan keterlibatan yang penuh dan bebas dari setiap warga negara dalam Pemilu sehingga perlakuan diskriminatif dalam hal dipilih dan memilih tentu tidak dapat dibiarkan. Pembatasan bagi anggota keluarga petahana yang terdapat pada UU No. 8 Tahun 2015 dinilai telah merampas hak konstitusional mereka untuk dapat mencalonkan diri dalam Pemilu.
Alasan ini perlu dipahami secara cermat. Dalam banyak kasus, dinasti politik justru membatasi partisipasi masyarakat untuk dapat mencalonkan diri dalam Pemilu. Daerah yang dikuasai oleh elit keluarga maupun klan dari petahana hanya akan membentuk persepsi bahwa kekuasaan merupakan sesuatu yang ekslusif dan tidak dapat dijangkau secara bebas dan luas. Hal demikian bukanlah ciri dari negara demokratis.
Partisipasi tidak menjadi parameter tunggal dari demokrasi. Jaminan demokrasi berkualitas juga ditunjukkan dari keberadaan dan dinamika yang terjadi dalam partai politik. Ini yang kemudian menjadi kontra karena praktik dinasti politik justru memperburuk institusionalisasi kepartaian (Harjanto, 2011). Fenomena ini nampak jelas pada kisruh internal yang terjadi pada PDIP Solo.
Sebelumnya, Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PDIP Solo mengusulkan pasangan Wakil Walikota Surakarta ke-3 Achmad Purnomo dan Teguh Prakosa. Nama keduanya muncul lewat penjaringan tertutup dari anak ranting, ranting, anak cabang. Namun, partai politik di Indonesia masih bersifat sentralistis sehingga keputusan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDIP yang lebih memilih Gibran Rakabuming Raka harus ditaati oleh kader partai.
Sifat yang sentralistis justru memperburuk institusionalisasi partai politik itu sendiri sehingga sulit untuk mencapai demokrasi yang berkualitas. Terlebih, partai politik kerap terjebak pada sikap pragmatis: mengutamakan berbagai faktor tertentu, salah satunya yakni politik kekeluargaan, dibanding dinamika yang terjadi di daerah seperti rekrutmen hingga kaderisasi.
Kita perlu mengingat bahwa suara yang kita berikan dari bilik suara merupakan tahap krusial dalam Pemilu. Karenanya mempertimbangkan pilihan secara tepat dan cermat menjadi tugas penting bagi masyarakat. Itu dapat dilakukan dengan melihat latar belakang, kemampuan, hingga prestasi calon sebelum memilih. Partisipasi demikian menjadikan kita lebih jernih dalam menilai praktik dinasti politik, tidak terjebak pada suatu ilusi demokrasi, dan memiliki harapan nyata untuk lima tahun ke depan yang lebih baik. Selamat memilih yang terbaik.
Artikel Lainnya
-
214905/05/2020
-
99809/08/2021
-
34827/05/2024
-
Mewaspadai Kejahatan Online Saat Pembelajaran Daring
153419/03/2021 -
Krisis Spiritual dan Derita Masyarakat Modern
300323/12/2021 -
Membongkar Makna dalam kajian Kitab Al Fasl Karya Ibnu Hazm
56928/11/2024
