Humanisme dan Pengungsi Perang

Asesor SDM Aparatur Ditjen Pendidikan Islam Kemenag
Humanisme dan Pengungsi Perang 01/04/2022 1000 view Politik emerging-europe.com

Di tengah seruan global untuk menghentikan perang Rusia-Ukraina, masyarakat dunia juga perlu memperkuat upaya penegakan keadilan dan perhatian nilai kemanusiaan terhadap para pengungsi korban perang pada berbagai belahan dunia. Pasalnya, perang dan berbagai kepentingan di dalamnya kerap meminggirkan sisi kemanusiaan di luar alasan dan latar belakang perang itu sendiri.

Saat kecamuk perang Rusia-Ukraina masih terus berlangsung, beberapa tokoh dan media Barat - Eropa justru mengambil sudut pandang yang meminggirkan nalar humanisme dan toleransi. Di samping meliput penderitaan para pengungsi korban perang dan menolak tindakan invasi Rusia, sempat-sempatnya para pihak tersebut mengaitkan keberadaan pengungsi Ukraina dengan berbagai hal di luar urusan perang: mata biru, status peradaban yang dikatakan lebih tinggi ketimbang pengungsi Timur Tengah, dan agama Kristen yang dianut.

Meskipun sudah disusul permintaan maaf, pernyataan tersebut seperti menegaskan bawah sadar negatif warga Eropa mengenai Timur Tengah dan Islam. Sinisme dan pandangan negatif keberadaan para pengungsi korban perang Timur Tengah tersebut sejatinya menyiratkan beberapa hal. Pertama, pembenaran pandangan sinisme “klasik” tentang stereotipikal pandangan Barat kepada warga Timur Tengah. Pandangan tersebut berakar setidaknya dari kritik orientalis Edward Said yang melihat perangai negara-negara Barat yang memandang sebelah mata keberadaan warga Timur Tengah dan Asia secara umum.

Dalam kritik Said, Barat melihat diri mereka sebagai entitas yang lebih mulia dan maju dibanding ras Timur Tengah dan Asia dalam segala hal. Meski pandangan ini tentu saja banyak tidak diterima berbagai kalangan, dinilai ortodoks dan sangat ketinggalan sebagai ide intelektual, namun nyatanya pandangan yang menekankan relasi superior – inferior ini masih terjaga, setidaknya, dalam idiom-idiom komunikasi massa.

Kedua, pemberlakuan standar ganda. Amerika dan sekutunya, langsung maupun tidak langsung, dengan mengirim pasukan atau “sekadar” menjual peralatan militer dan persenjataan, saat memporak-porandakan Irak, Afghanistan, Suriah, dan negara Timur Tengah lainnya tidak pernah berpikir bagaimana nasib warga sipil yang menjadi korban dari aksi militer tersebut.

Saat para pengungsi harus meninggalkan negara yang sedang koyak oleh aksi militer yang diwarnai keterlibatan mereka, para pengungsi tersebut justru mendapatkan perlakuan yang negatif dalam berbagai bentuknya. Hal ini sangat berkebalikan dengan perlakuan terhadap pengungsi Ukraina.

Ketiga, paradoks kebangsaan. Warga Timur Tengah yang menjadi pengungsi perang lebih memilih untuk bergerak ke kawasan Uni Eropa daripada kawasan negara kaya raya Timur Tengah. Hal ini diperparah dengan diamnya organisasi negara-negara Islam (OKI) dan beratnya dampak beban pengungsi beberapa negara Arab atau Eropa yang membuka diri untuk pengungsian, semisal Turki, Mesir, Jordania, dan Lebanon.

Gelombang Pengungsi

Dalam satu dekade terakhir, Benua Biru memang direpotkan arus pengungsi dari Timur Tengah. Para pengungsi itu datang sebagai dampak dari peperangan yang terjadi di Afghanistan, Irak, Libya, Suriah, dan Yaman. Gelombang pengungsi Timur Tengah tersebut mulai terlihat secara masif saat invasi Amerika ke Irak terjadi pada 2003 dengan tuduhan keberadaan senjata pemusnah massal yang dimiliki rezim Saddam Hussein, sebuah tuduhan yang tidak pernah terbukti hingga kini. Sebelumnya, mereka juga secara besar-besaran menyerang Afghanistan dengan semangat “War on Terror” selepas peristiwa 9/11. Selain itu, konflik yang terjadi di Suriah pada 2011 hingga kini juga menyisakan problem pengungsi yang pelik ke pelbagai negara.

Untuk semua tindakan militer yang diprakarsai Amerika tersebut, mau tidak mau negara-negara Eropa yang tergabung dalam aliansi North Atlantic Treaty Organization (NATO) mendukung keputusan agresif Amerika dengan perannya masing-masing. Clare Daly, anggota Parlemen Eropa (MEP) dan politisi kiri jauh Irlandia, saat berbicara di Parlemen Eropa mengomentari perbedaan perlakuan pengungsi oleh negara-negara Eropa sebagai hipokrisi yang akut.

Dalam pandangan Clare, Eropa menjadi bagian dari koalisi bersama negara adidaya Amerika yang menyebabkan para pengungsi Timur Tengah itu terlunta-lunta atau mencari suaka. Kini bukan hanya keberadaan mereka ditolak ke Eropa, namun para pengungsi tersebut juga menghadapi kelaparan, kematian, dan kenyataan getir anak-anak mereka yang dijual untuk bertahan hidup.

Tindakan tersebut berlanjut pada tekanan pemiskinan Afghanistan yang dilakukan Presiden AS Joe Biden. Biden berkeputusan untuk merampas 7 miliar dolar Amerika dana bank sentral Afghanistan untuk membayar keluarga korban tragedi 9/11. Tentu saja aneh, warga Afghanistan disamaratakan dan dipaksa Biden untuk ikut bertanggung jawab terhadap tindakan yang tidak mereka lakukan.

Jadi, di tengah perlakuan sinis dan rasial terhadap pengungsi Timur Tengah oleh media dan anggota parlemen Eropa, siapa sesungguhnya yang berperadaban rendah dengan nalar hiprokrit, menindas, bahkan mengambil yang bukan menjadi haknya?

Pada akhirnya, sinisme dan tindakan rasialisme yang dilakukan terhadap pengungsi Timur Tengah tidak akan membuat ras kulit putih dan non-muslim menjadi mulia dengan tindakan tersebut. Selain itu, glorifikasi terhadap identitas fisik pada mereka yang bermata biru, berkulit putih, dan berpendidikan tinggi tidak akan mengurangi penderitaan mereka selaku korban peperangan Rusia - Ukraina dan menjadi bagian solusi atas masalah perang yang sedang berkecamuk.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya