Diagnosis Patologi Politik Indonesia

Analis Kebijakan, Pascasarjana Kebijakan Publik Universitas Padjadjaran
Diagnosis Patologi Politik Indonesia 26/03/2021 2026 view Politik mediaindonesia.com

Ruang diskusi publik bangsa Indonesia, kini sedang riuh dengan perbincangan politik. Namun sayangnya, keriuhan tersebut bukan penuh dengan perbincangan soal optimisme apalagi progresifitas melainkan kebalikannya. Mayoritas masyarakat Indonesia dijejali oleh panggung politik yang pesakitan. Entah disengaja atau tidak, para elite kuasa negeri ini mempertontonkan lunturnya nilai-nilai luhur politik di hadapan masyarakat secara terang-benderang dan terus-menerus.

Dampak dari perilaku politik para elite dewasa ini, membuat sebagian masyarakat merasa cemas, terutama masyarakat Indonesia yang masih berharap bahwa politik merupakan jalan untuk mewujudkan keadilan. Dan rasa-rasanya, kita perlu menelaah ulang deviasi yang dilakukan para penguasa sebagai upaya pencegahan dan meminimalisir dampak patologis yang diakibatkannya.

Patologi Politik

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia term “patologi” mengandung arti ilmu tentang penyakit yang pada umumnya dikenal dalam ilmu medis. Namun bila kita telaah lebih jauh, patologi juga ada dalam ilmu sosial yang dikemukakan oleh tokoh besar sosiologi E. Durkheim, dan biasa disebut dengan patologi sosial yang berarti penyakit masyarakat. Jika kita berdasar pada analogi term tersebut, maka kita bisa pahami bahwa patologi politik bermakna tentang penyakit-penyakit yang ada dalam tubuh sistem politik. Dalam hal ini adalah penyakit yang menginfeksi environtment politics Indonesia.

Sebagaimana organisme tubuh manusia, apabila terdapat penyakit di dalamnya, tentu tidak boleh dibiarkan, bahkan sebisa mungkin untuk diantisipasi kemunculannya. Begitupun politik, kita tidak bisa membiarkan elite di negeri ini mencemari keluhurannya dengan perilaku politik yang menyimpang dan mengindikasikan kemunduran budaya politik itu sendiri. Sebab, deviasi yang terjadi akan berdampak secara berkesinambungan kepada masa depan politik bangsa, ekosistem bernegara dan cara kita bermasyarakat.

Mengurai dan mendiagnosa patologi politik dalam tubuh ibu pertiwi tentu menjadi wajib hukumnya bagi kita sebagai bentuk perlawanan sejak dalam pikiran terlebih lagi perbuatan.

Korupsi

Sebagai tindakan extra ordinary crimes, korupsi layak menjadi patologi politik paling akut yang terus-menerus menggerogoti tubuh bangsa Indonesia. Tidak hentinya-hentinya rakyat Indonesia menyaksikan pejabat dan wakil-wakilnya menjadi tersangka kasus korupsi. Dari pusat hingga daerah, ada saja pemberitaan tentang korupsi.

Dilansir oleh Kompas.com, Peneliti Indonesia Coruption Watch (ICW) Wana Alamsyah menyatakan, terdapat 169 kasus korupsi selama periode semester satu tahun 2020. Dari 169 kasus korupsi tersebut, 139 di antaranya adalah kasus korupsi baru.

Jika kita berusaha mengulang sedikit memori kebelakang, di tengah pandemi Covid-19, Juliari Batubara yang sebelumnya menjabat sebagai Menteri sosial telah melakukan korupsi dana bantuan sosial dan diduga menerima uang sebesar 17 Milyar. Belum lagi kasus dugaan korupsi terkini yang menyeret nama Gubernur Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah dalam kasus dugaan korupsi proyek infrastruktur.

Degradasi Etika Politik

Selanjutnya, patologi politik yang menyerang para elite penguasa adalah lunturnya etika dalam berpolitik. Berbeda dengan korupsi yang bisa dilacak sebagai sebuah tindakan, etika berada dalam layar yang lebih dalam. Etika adalah prinsip nilai yang semestinya digenggam teguh oleh setiap aktor politik, lalu diejawantahkan dalam perilaku politik yang progresif dan demokratis.

Ramainya perbincangan terkait polemik yang melanda Partai Demokrat sekarang ini adalah salah satu fenomena bahwa etika kini semakin tidak diperhitungkan. Kedua belah pihak yang berseteru saling melontarkan argumentasi yang secara umum berisi intrik politik saja. Dalam hal ini, masyarakat dipertontonkan bagaimana para elite politik sedang menyelesaikan problemnya dengan menggadaikan kebijaksanaan dalam permusyawaratan, sebagaimana Pancasila telah ajarkan.

Korporatokrasi

Istilah korporatokrasi menguat dalam diskursus publik sejak disahkannya UU Omnibus Law. Di mana pengambilan keputusan negara berupa kebijakan dan produk hukum lainnya dihegemoni oleh kepentingan perusahaan-perusahaan yang ada di dalamnya. Fenomena patologi politik berwujud korporatokrasi ini tentunya bisa menjadi boomerang di kemudian hari apabila tidak kendalikan.

Dilansir Liputan6.com, Peneliti P2P LIPI sekaligus Pegiat Marepus Corner, Defbry Margiansyah memaparkan hasil penelitian yang menemukan bahwa total pebisnis dalam tubuh DPR-RI meningkat menjadi 318 orang (55%). Penelitian ini juga menemukan 116 afiliasi para pebisnis di DPR dengan elite partai. Sebut saja, afiliasi dengan Prabowo Subianto, Aburizal Bakrie hingga Surya Paloh. Fenomena ini tentunya akan berdampak pada proses perumusan kebijakan dan penentuan skala prioritas kebijakan yang akan diimplementasikan.

Merangseknya banyak pengusaha ke dalam sendi-sendi bernegara tentunya memiliki potensi konflik kepentingan antara negara dengan perusahaan. Eksosistem tersebut menjadikan kebijakan yang diformulasikan menjadi bias. Sehingga, kebijakan-kebijakan tersebut sebetulnya berpihak pada kepentingan umum atau kepentingan kelompok masing-masing elite saja. Dasar bias tujuan dan koflik kepentingan dalam environment korporatokrasi ini adalah patologi politik yang harus segera ditekan dan dicegah.

Lemahnya Oposisi

Adanya oposisi dalam ekosistem demokrasi adalah keniscayaan dan prinsip check and balance dalam negara demokrasi seperti Indonesia adalah hal dasar yang secara konsisten harus terus diargumentasikan. Selain itu, kekuasaan dalam sistem demokrasi juga harus terus didistribusikan agar tidak berpusat pada satu titik kuasa saja. Hal tersebut adalah upaya untuk menjaga keseimbangan dalam mengelola kekuasaan.

Namun sebagaimana kita ketahui bahwa fakta relasi kekuasaan di Indonesia hari ini menggambarkan lemahnya keberadaan dan kekuatan oposisi. Bagaimana tidak, wajah oposisi pada pemilu 2019 yang tersemat pada Partai Gerindra melalui Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno, kini telah ikut bergabung ke dalam barisan pemerintah.

Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely” Adagium Lord Acton ini, layaknya bisa dijadikan kunci yang harus tertanam sebagai anti bodi sekaligus countermen jalarnya patologi politik di Indonesia.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya