Luka Kebertubuhan Penyintas Kekerasan Seksual
Tingginya angka pelecehan dan kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan Indonesia menjadi diskursus primer perbincangan publik yang hingga saat ini belum menemukan rumusan penyelesainnya. Tidak adanya payung hukum yang mengatur dan mencegah secara spesifik kasus pelecehan dan kekerasan seksual, serta miskinnya pengetahuan berbasis gender masyarakat Indonesia, menjadi isu utama diskursus tersebut. Selain itu, kurangnya respon masyarakat dalam mengakomodasi kepentingan penyintas kekerasan seksual menjadi permasalahan tersendiri dalam isu kekerasan dan pelecehan seksual. Hal itu pula yang membuat Indonesia mengalami situasi darurat kekerasan sesksual.
Di Indonesia, angka kekerasan terhadap perempuan dalam kurun waktu 12 tahun terus mengalami peningkatan sebanyak 792% atau meningkat sebanyak delapan kali lipat (Hana, 2020). Adanya peningkatan yang signifikan mengindikasikan belum adanya perlindungan dan keamanan terhadap korban, bahkan dianggap telah terjadi pembiaran sehingga berdampak pada korban yang enggan melaporkan kasusnya.
Komnas Perempuan mendokumentasikan kasus kekerasan pada perempuan yang terjadi pada tahun 2016 dan 2017. Hasilnya, terdapat 259.150 jumlah kekerasan. Sedangkan, tahun 2017 terdapat 245.548 kasus yang diperoleh dari 358 Pengadilan Agama dan 13.602 kasus yang ditangani oleh 233 lembaga mitra pengadaan layanan yang tersebar di 34 Provinsi. Dalam ranah personal, pelaku kekerasan seksual tertinggi adalah pacar dengan 2,017 kasus (Noviani, 2018).
Tidak hanya ranah personal, kekerasan di ranah komunitas juga banyak terjadi dengan 3.092 kasus yang terbagi dalam pemerkosaan dan pencabulan. Selain itu, lingkungan tempat kerja pun tidak lepas dari kasus kekerasan seksual. Menurut Komnas Perempuan, terdapat laporan sebanyak 44 kasus kekerasan di tempat kerja. Sedangkan dalam Catatan Tahunan (Catahu) yang dirilis pada 5 Maret 2021, Komnas Perempuan (2021) melaporkan bahwa terjadi 309 kasus kekerasan dalam pacaran. Angka tersebut menempati posisi kedua setelah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang menempati posisi pertama, yaitu sebanyak 6.480 kasus.
Di dalam tradisi masyarakat Indonesia yang patriarkis, relasi sosial dan kebudayaan antara laki-laki dan perempuan acapkali berlangsung timpang. Ketimpangan relasi tersebutlah yang menyebabkan perempuan menjadi objek diskriminasi, eksklusi, eksploitasi, dan kekerasan (Guamarawati, 2009; Harnoko, 2010). Bahkan di dalam kebudayaan masyarakat tradisional Indonesia, kekerasan tersebut didefinisikan sebagai norma yang mendukung keyakinan bahwa kekerasan merupakan sesuatu yang disetujui dan dianggap sebagai cara menyelesaikan konflik interpersonal. Di dalam hubungan berpacaran, misalnya, dalam jurnal The Relationship Dating Violance, Zandy Putri (2002), membangun argumentasi dalam risetnya, bahwa kekerasan tersebut, bagi korban perempuan, dianggap sebagai bentuk kepatuhan dan pemakluman.
Wacana mengenai relasi antar manusia, menurut Merleau-Ponty, haruslah dimulai dengan pemahaman atas eksistensi sebuah dunia milik bersama. Eksistensi saya sebagai sebuah diri persis memiliki akar yang sama dengan eksistensi diri-diri lainnya, yaitu sebuah keterbukaan pada dunia tersebut (2002; 192). Seharusnya dalam menempati dunia milik bersama itu, bila merujuk nasehat Merleau-Ponty, perilaku emansipatoris dan mutual respect di antara laki-laki dan perempuan di kedepankan dan menjadi tuntunan bersosial dan berkebudayaan. Sehingga, dapat menghasilkan ruang yang aman dan inklusif serta terbebas dari aspek pelecehan maupun kekerasan berbasis gender. Sejauh dan selama laki-laki masih mengobjektivikasi perempuan sekadar sebagai objek seksual, the second, serta tetap mensuperiorisasi maskulinitas dan privilege-nya sebagai yang dominan, maka sejauh dan selama itu pula tidak akan ada ruang bersama yang aman dan inklusif bagi perempuan.
Menurut Rini Oktaviani (2020) kekerasan dan pelecehan seksual dipahami sebagai persoalan personal dan domestik. Apabila seorang perempuan menjadi korban perkosaan atau pelecehan seksual maka dikaitkan dengan kepribadian dan perilaku korban yang dianggap menyebabkan terjadinya tindak kejahatan tersebut. Masyarakat cenderung memandang korban perkosaan sebagai perempuan yang hina. Korban perkosaan juga sering disalahkan karena dianggap sengaja menggoda, menantang, atau mengundang nafsu birahi laki-laki (Faturochman, 2002; Mason, 2013).
Menurut Michael Kaufman (1994), seorang aktivis yang memimpin kampanye “Pita Putih” mengatakan bahwa penyebab terjadinya kekerasan atau pelecehan pada perempuan berkaitan dengan tiga faktor yang merupakan cara laki-laki dalam menunjukan kekuasaannya, yaitu kekuasaan patriarki (partriarki power), hak istimewa (privilege), dan sikap yang permisif atau memperbolehkan (permission).
Menurut penulis, kepatuhan dan pemakluman atas kekerasan tersebut terjadi karena, pertama, nihilnya kesetaraan gender dalam relasi sosial. Kedua, tidak adanya kesadaran hubungan berbasis gender di antara laki-laki dan perempuan. Ketidaksetaraan gender dan miskinnya pengetahuan seksual merupakan dua alasan utama terjadinya kekerasan berbasis gender.
Pelbagai masyarakat seringkali menormalisasi kekerasan tersebut dan menganggap bahwa pelecehan seksual – seperti menggoda, berbicara dengan nuansa seksual, bersiul, dan meraba bagian tubuh tertentu – wajar adanya. Padahal dampak fisik, seksual, dan psikologis yang tertinggal akibat pelecehan dan kekerasan seksual pada perempuan sangat berbahaya dan sulit disembuhkan.
Bagi Advovates For Youth (2001), dampak kekerasan seksual yang tertinggal dan bermukim pada diri perempuan antara lain luka, simptom fisik, kerusakan fisik yang permanen, Post Traumatic Sydrome Disorder (PTSD), depresi, kecemasan, gangguan makan, disfungsi seksual, self-esteem yang rendah, penggunaan rokok, alkohol, dan obat-obatan, serta kompilasi kehamilan, berbagai resiko pada fungsi reproduksi perempuan, hingga potensi bunuh diri. Korban kekerasan seksual juga dapat mengalami berbagai masalah interpersonal, seperti ketidakpercayaan pada orang lain, kesulitan dalam hubungan, mengisolasi dan mengasingkan diri sendiri, serta ketakutan terhadap laki-laki (Briere & Runtz, 1988). Selain itu, masalah psikologis menjadi aspek dominan dalam pengalaman hidup penyintas kekerasan seksual: perasaan terhina, putus asa, marah, dikucilkan, dikhianati, kesepian, perasaan terintimasi, frustasi, risih, degradasi, dan bersalah (Zastrow dan Ashman, 1989; Abbott, 1992; Magley dkk., 1999).
Selain itu, perempuan yang mengalami tindak kekerasan seksual rentan terhadap penurunan kualitas hidup (Asadi, 2017). Penelitian Soares, Viitasara, & Macassa, (2007) menunjukkan bahwa quality of life para perempuan korban kekerasan seksual lebih rendah dibandingkan dengan perempuan normal. Sedang temuan dari hasil penelitian Lamoureux-Lamarche & Vasiliadis (2017) menunjukkan bahwa para perempuan korban kekerasan seksual cenderung mengalami penurunan health-related quality of life (HRQoL) akibat pengalaman traumatik yang berakibat terjadinya penurunan kepuasan hidup.
Dalam sebuah penelitian berjudul "Hubungan antara Kekerasan Seksual dengan Fungsi Seksual Perempuan", Zuhratul Rofidah, dkk (2017) menyebutkan bahwa pengalaman kekerasan seksual memberikan dampak traumatik yang berbeda pada seseorang dan dapat menjadi sangat mengkhawatirkan karena dapat menimbulkan dampak jangka panjang di sepanjang kehidupannya. Perempuan yang pernah mengalami kekerasan seksual cendrung kurang puas dengan kualitas hubungan seksualnya dan hilangnya rasa kenikmatan seksual dan disfungsi seksual yang lebih besar dibandingkan dengan perempuan yang tidak pernah mengalami kekerasan seksual serta mempengaruhi minat dan gairah seksual mereka untuk melakukan hubungan intim.
Dalam penelitian yang lain, Yoga Tursilariini (2017), menyatakan bahwa akibat kekerasan seksual, penyintas akan mengalami trauma post sexual abuse: takut untuk berhubungan seksual, perilaku merusak diri sendiri, serta tidak ingin bergaul dengan orang lain. Selain itu pula, penyintas kekerasan seksual akan mengalami aersion sexual: keadaan di mana penyintas menolak hubungan psikologis dengan lawan jenis, tidak mau menikah karena merasa kontak seksual adalah kotor, mengerikan, dan tidak normal.
Oleh karena itu, pengalaman korban dengan kekerasan seksual akan senantiasa melekat pada eksistensi ketubuhannya, memengaruhi cara ia berpersepsi tentang dunia, serta berdampak pada caranya berelasi – baik secara sosial maupun secara romantik – dengan sesuatu yang ada di luar dirinya. Seperti dikatakan Merleau-Ponty (2002:81): “Tubuh saya adalah pandangan saya mengenai dunia.”
Artikel Lainnya
-
272915/10/2020
-
207822/03/2020
-
158702/12/2021
-
Soeharto Hilang dari TAP MPR: Reformasi Dikebiri?
152630/09/2024 -
Menggagas Islam Tengah dalam Gerakan Bela Agama
150003/12/2020 -
Menggali Relevansi Gagasan Descholling Society Ivan Illich di Indonesia
54603/09/2023