Hoaks: Ironi Media Sosial

Mahasiswa STFT Widya Sasana Malang
Hoaks: Ironi Media Sosial 07/11/2021 1855 view Lainnya tekno.sindonews.com

Dewasa ini media sosial mejadi kebutuhan penting bagi banyak orang di dunia, termasuk di Indonesia. Melalui media sosial orang dapat melakukan banyak hal penting secara daring, seperti membangun komunikasi dengan keluarga, sahabat, dan kenalan; berbisnis; dan bahkan tak jarang ada yang menjadikannya sebagai sarana untuk mencari jodoh. Meluasnya penggunaan media sosial ini untuk berbagai keperluan disebabkan oleh munculnya fitur-fitur baru yang semakin canggih dan menarik dalam media sosial. Karena itu, tidaklah mengherankan apabila saat ini media sosial menjadi konten yang paling sering diakses di internet.

Beberapa tahun terakhir, media sosial seperti menjadi sebuah tren di Indonesia. Dikatakan demikian, karena setiap tahun semakin banyak masyarakat Indonesia dari pelbagai lapisan yang “berbondong-bondong” mengakses media sosial. Berdasarkan data yang dirilis oleh layanan manajemen konten HootSuite dan agensi pemasaran media sosial We Are Social dalam laporan bertajuk “Digital 2021”, diketahui bahwa pengguna internet di Indonesia pada awal 2021 ini mencapai 202,6 juta jiwa. Jumlah ini meningkat 15,5 persen atau 27 juta jiwa jika dibandingkan pada Januari 2020 lalu (Kompas.com, 23/02/2021).

Dari data ini, apabila ditelaah lebih dalam lagi akan diketahui bahwa konten internet yang paling diminati orang Indonesia adalah media sosial. Pada tahun 2021 ini, ada 170 juta jiwa orang Indonesia yang merupakan pengguna aktif media sosial. Rata-rata dari mereka menghabiskan waktu 3 jam 14 menit di platform jejaring sosial (Kompas.com, 23/02/2021).

Tatkala berselancar dalam media sosial-seperti Facebook, Twitter, What’s App, dan Instagram, sering kali orang menyatakan ekistensi dirinya. Penyataan ekistensi ini terindikasi dalam pelbagai tindakan digital yang dilakukan, seperti uploading (mengunggah), chatting (ngobrol), posting (mengirim), dan seterusnya (Bdk. Kompas.id, 01/03/2018).

Ironisnya bahwa seringkali dalam beberapa bentuk tindakan digital tersebut terkandung unsur hoaks, baik itu dalam bentuk video, foto maupun tulisan. Hal ini bisa dilakukan oleh siapa saja secara sengaja atau tidak sengaja, baik oleh masyarakat biasa maupun oleh oknum-oknum tertentu yang memiliki tujuan politis.

Berdasarkan riset Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia), hoaks mengenai agama, politik, dan kesehatan menduduki peringkat tinggi di Indonesia (Kompas.com 05/06/2021). Sementara itu, akhir-akhir ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mencatat terdapat total 1.096 hoaks terkait wabah Covid-19 di media sosial dengan Facebook sebagai platform penyebaran terbanyak, yakni 759 isu (CNN Indonesia.com 08/04/2020).

Fenomena seabrek hoaks di media sosial tersebut, tentunya sangat mengkhawatirkan dan menjengkelkan. Dikatakan demikian karena pelbagai hoaks tersebut dapat mengakibatkan kecemasan, chaos (kekacauan) dan bahkan intoleransi serta perpecahan di kalangan masyarakat Indonesia yang plural dari segi suku, agama, ras dan golongan (SARA). Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa maraknya hoaks di media sosial adalah suatu ironi dalam pemanfaatan media sosial. Alih-alih ingin menuai ribuan komentar, like, super, emoji, dan sejenisnya, kemudian ada banyak pengguna media sosial yang secara sadar atau tidak sadar menyebarkan hoaks.

Ada banyak contoh hoaks yang dapat kita temukan dalam media sosial. Pelbagai hoaks itu mulai dari skala yang kecil sampai ke skala yang besar. Dalam skala kecil, hoaks itu bisa tejadi dalam chatting-an antara dua orang. Sementara itu, dalam skala besar hoaks bisa terjadi dalam postingan yang dibagikan, baik dalam bentuk video, foto, gambar maupun tulisan. Ada pun beberapa contoh kasus hoaks yang masih aktual dan sempat viral dalam beberapa bulan terakhir, yaitu tentang seorang mantan dokter yang menyebarkan hoaks bahwa Covid-19 tidak ada, Babi Ngepet di Depok, Susu Beruang yang bisa menyembuhkan Covid-19, dan sebagainya.

Menurut penulis, pelbagai hoaks berseliweran di media sosial disebabkan oleh dua faktor utama. Pertama, media sosial memilki karakter something for free. Artinya bahwa setiap pengguna media sosial memiliki kebebasan mem-posting atau membagikan apa saja dan kapan saja di akunnya. Tidak ada tim redaktur khusus yang akan menyaring, menyunting, dan mengoreksi pelbagai informasi yang diekspos. Setiap orang bebas mem-posting atau memberikan komentar sesuai keinginannya. Karena itu, F. Budi Hardiman menyatakan bahwa dalam keadaan itu adil dan tidak adil tidak dikenal. Setiap orang menjadi hakim dan bahkan tuhan atas yang lain (Kompas.id, 01/03/2018).

Kedua, para pengguna media sosial kurangnya bersikap kritis dan selektif dalam menggunakan media sosial. Kurangnya sikap kritis dan selektif dalam menggunakan media sosial mengakibatkan orang kurang menyadari bahwa apa yang di-posting atau dibagikan dan diterimanya adalah hoaks.

Mereka menganggap bahwa pelbagai hal itu adalah sesuatu yang wajar atau biasa-biasa saja dan bahkan mengagumkan. Padahal, apabila ditelisik dengan jeli, ada unsur hoaks (kejahatan) di dalamnya.

Fenomena ini oleh filosof Hannah Arendt disebut sebagai banalitas kejahatan, yaitu suatu situasi ketika yang jahat dianggap sebagai hal yang wajar atau biasa-biasa saja, tanpa merasa malu atau bersalah. Dalam keadaan seperti itu, tidak dapat dimungkiri bahwa orang bisa saja menyebarkan hoaks. Hal itu tambah dipicu lagi oleh karakteristk hoaks yang provokatif, mengagumkan dan sensasional.

Akibatnya, setiap penerima hoaks merasa perlu menyebarkan kembali informasi tersebut tanpa terlebih dahulu melakukan konfirmasi atas kebenarannya (Kniu.kemdikbud.go.id, 08/01/2019). Dalam hal ini, para pengguna media sosial tidak memverifikasi informasi yang diperoleh karena ingin cepat mendapat kesan selalu up to date dan menuai banyak respon, baik itu komen, like, super, emoji dan sejenisnya dari teman-teman media sosialnya.

Berkenaan dengan masalah hoaks di media sosial ini, ada beberapa solusi yang saya tawarkan sebagai langkah preventif untuk meminimalisasi hoaks dan untuk mencegah penyebaran hoaks dalam kehidupan masyarakat. Pertama, masyarakat perlu meningkatkan budaya literasi baik secara konvensional maupun digital yang kredibel dan akuntabel. Artinya, masyarakat perlu mengakses informasi dari sumber-sumber terpercaya yang diakui kevaliditasannya oleh pemerintah.

Dengan cara ini, maka masyarakat akan terhindar dari pelbagai hoaks. Dalam hal ini, budaya literasi yang baik dan benar penting ditingkatkan karena dapat menumbuhkan daya kritis dan reflektif terhadap realitas yang ada. Dengan daya kritis dan reflektif yang mendalam, seseorang tidak akan secara serampangan mengonsumsi informasi yang diterimanya dan menganggapnya sebagai kebenaran. Ia akan memverifikasinya dan menganalisinya sampai menemukan kevaliditasan informasi tersebut.

Kedua, Pemerintah harus secara rutin menyosialisasikan etika bermedia sosial kepada masyarakat, baik itu di sekolah-sekolah, di kantor maupun di kampung-kampung. Sosialisasi ini sangat penting diberikan agar masyarakat memiliki pemahaman yang baik tentang bagaimana menggunakan media sosial dengan baik dan benar.

Dengan memiliki pemahaman seperti itu, masyarakat akan lebih berhati-hati dalam menyatakan eksistensi dirinya dalam media sosial. Implikasinya, masyarakat tidak akan cepat dipengaruhi oleh pelbagai hoaks yang tersebar di media sosial. Selain itu, dengan pemahaman yang baik tentang etika bermedia sosial, masyarakat juga tidak akan serta merta menyebarkan hoaks di akun media sosialnya. Dalam arti ini, masyarakat akan memilih dan memilah apa yang layak dan pantas untuk dibagikan atau disebarkan dalam media sosial.

Dengan demikian, hemat penulis, kerja sama antara pemerintah dengan masyarakat adalah sesuatu yang vital dalam mengatasi hoaks di media sosial. Pelbagai upaya pemerintah dalam menangani hoaks akan menghasilkan buah apabila masyarakat juga turut berpartisipasi dalam pelaksanaan upaya tersebut. Di sisi lain, masyarakat akan mengejawantahkan pelbagai aturan dan program dari pemerintah apabila pemeritah juga memberikan edukasi yang baik kepada masyarakat. Intinya bahwa pemerintah dan masyarakat mesti secara proaktif dalam menangani hoaks.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya