Hari Santri Nasional 2020: Menuntut Ruang Aman di Pesantren

Hari Santri Nasional (HSN) yang diperingati setiap tanggal 22 Oktober, kini seolah hanya menjadi ajang selebrasi belaka. Ramai di lini masa kita jumpai perayaan HSN semacam lomba membuat vlog, menulis, video cover sholawat atau webinar dengan tema-tema nasionalisme dan santri. Bentuk dan tema kegiatan semacam ini memang populer di kalangan santri kita. Sayangnya, dari sekian penyelenggara selebrasi, hampir tidak ada yang berani meradikalisasi makna HSN dan membuat sesuatu yang lebih progresif.
Hal ini cukup membuat saya resah. Pasalnya, jika berlanjut begini, HSN hanya akan dimaknai sebagai upaya untuk membumikan nasionalisme di kalangan santri dan glorifikasi status individu saja. HSN tidak lagi dilihat sebagai skema besar jihad melawan penindasan atau kezaliman. Pendangkalan makna HSN yang demikian rasanya akan berseberangan dengan semangat resolusi jihad K.H. Hasyim Asy’ari yang dalam pandangan kontekstualis era poskolonial, peperangan terhadap penjajah atas nama nasionalisme kurang begitu relevan.
Isu yang dihadapi umat telah banyak berkembang dengan sangat variatif. Salah satu di antaranya adalah maraknya kasus kekerasan seksual di pondok pesantren yang tengah berada pada titik mengkhawatirkan. Pasalnya dari banyak kasus kekerasan seksual yang mencuat ke publik justru dilakukan oleh oknum pemegang otoritas keagamaan seperti kiyai, pengasuh, dan ustaz. Relasi kuasa yang dimiliki oleh oknum-oknum tersebut sangat mungkin menjadikan korban tidak berdaya untuk menolak.
Misalnya saja pada kasus kekerasan seksual yang dilakukan putra (gus) dari kiyai Pondok Pesantren Majmaal Bahrain Shiddiqiyyah Ploso, Jombang. Kasus ini mencuat ke publik ketika penyintas I dan R melaporkan M. Subchi Azal Tsani kepada Polres Jombang atas dugaan kasus pencabulan terhadap anak. Kronologi pencabulan bermula saat I mengikuti acara interview yang dilakukan pelaku sebagai bagian dari proses rekruitmen di RSTMC (Rumah Sehat Tentrem Medical Center) miliknya, pada tanggal 7 Mei 2017 di Puri Plandaan. Pelaku memperdaya korban dengan mengatakan bahwa ia merupakan “Penjaga Lingkaran Emas” yang baru memiliki satu sayap dan membutuhkan satu sayap lagi (istri).
Penyintas R juga mengalami hal yang sama ketika ia masih berstatus sebagai pacar gelap pelaku. Pencabulan terhadap penyintas pertama kali R berlangsung pada tahun 2012 di bulan Juli jam 4 sore di rumah pelaku. Dalih pelaku saat itu ialah ingin menurunkan semacam "ilmu" kepada R melalui hubungan seksual. Selepas itu, R berulang kali dicabuli dengan keadaan tidak kuasa untuk menolaknya. Pelaku memperdaya bahwa korban adalah perempuan yang dicintai dan suatu saat akan dinikahi meskipun status pelaku telah beristri.
R yang tidak kuat menahan perlakuan Subhi mencoba mencari tempat untuk berkeluh kesah. Ia bertemu dengan seorang lelaki yang menerima ia apa adanya. Mengetahui hal tersebut, Subhi lantas menyekap korban selama seminggu dan justru melaporkan korban ke Kantor Polisi Ploso atas kasus pencemaran nama baik pesantren. Ia menggunakan foto telanjang korban sebagai bukti dan memaksa korban mengaku bersalah dan secara sadar berniat mencemarkan nama baik pesantren. Perilaku revenge pron ini membuat korban pada akhirnya harus keluar dari pesantren dengan keadaan belum sempat bersuara atas apa yang Subhi lakukan atasnya.
Di sisi lain, I, salah satu korban, bersama seorang teman lain yang juga mengalami kasus kekerasan seksual di RSTMC melaporkan ini kepada pengasuh pondoknya. Sayangnya laporan I dan R malah dianggap sebagai fitnah yang berujung pada pengeluaran kedua santri ini bersama seorang santri yang membantu mereka bersuara. Mereka dituduh secara sistematis telah melakukan upaya penghancuran pesantren dan nama baik sang gus.
Dari kasus Subhi Azali kita bisa melihat bagaimana relasi kuasa bekerja pada tiga lini, yakni pencabulan, pembungkaman, dan penyelesaian hukum. Relasi kuasa ini begitu terlihat dalam lini ketiga ketika R berusaha melaporkan Subhi pada Mei 2018. Laporan tersebut kemudian dicabut karena intimidasi dan teror yang dilakukan pelaku dan ketiadaan dukungan dari keluarga. Pihak keluarga secara pesimis mengatakan bahwa R tak akan menang sebab struktur kuasa yang dimiliki pelaku, dari segi ekonomi hingga politik, begitu kuat.
Selain relasi kuasa, kasus kekerasan seksual di pesantren juga terjadi sebab nihilnya sistem dan regulasi yang mengakomodasi terciptanya ruang aman dan bagaimana penyelesaian kasus-kasus kekerasan seksual di sana.
Pendidikan keadilan gender dan kesadaran pelecehan/kekerasan seksual bahkan cenderung dianggap tabu dan tidak islami. Stigma “Barat” bahkan dilempar kepada ajaran gender untuk mengukuhkan terpisahnya Islam dari kajian ini.
Perihal relasi antar laki-laki dan perempuan secara eksklusif hanya diajarkan melalui kitab-kitab seperti Fathul Izar, Qurratul Uyun, Uqudulujjain, atau Adabul Mu’asyaroh. Jika menyangkut pelecehan/kekerasan seksual mungkin logika yang dipakai adalah logika perzinahan yang diharamkan agama. Hukumannya pun hanya sekadar mengeluarkan pelaku sebab dianggap melanggar aturan syariat (serta pesantren) dan aib yang mengotori nama baik penjara suci. Tidak jarang juga pesantren melakukan denial terhadap kasus kekerasan seksual yang terjadi.
Jikapun upaya penyelesaian kasus kekerasan seksual ditempuh, pesantren kerap memberikan opsi mediasi atau penyelesaian berasaskan kekeluargaan. Bahkan beberapa kali kita mendapati upaya perdamaian yang dilakukan oleh sang kiyai dengan memberikan segelas air yang dibacakan do’a kepada korban dengan harapan agar korban diberi keselamatan dan kebaikan. Setelahnya, pihak korban, entah bagaimana lantas mengurungkan atau mencabut laporan kasusnya.
Sayangnya isu ini tidak disuarakan dengan lantang oleh kalangan santri. Cukup menyedihkan ketika kita mendapati banyak kalangan santri yang justru menolak pengesahan RUU PKS dengan alasan banyak substansi RUU PKS yang tidak Islami. Padahal, urgensi pengesahannya sangat terlihat pada status quo kekerasan seksual di pesantren. RUU PKS, bagi penulis, menjadi harapan baru lebih dari sekadar menghukum pelaku dengan tegas, tetapi juga bekerja di ranah pencegahan kekerasan seksual dan pemberian perlindungan serta pemulihan terhadap psikologi dan kesehatan korban.
Dalam memutus rantai kasus kekerasan seksual di pesantren, di Hari Santri Nasional 2020 ini, penulis mendorong pesantren memberikan dukungan bagi para korban kekerasan seksual. Pesantren harus berpartisipasi dalam kegiatan sosialisasi, edukasi, serta advokasi untuk memupuk kesadaran santri, ustaz, pengurus, dan siapa yang tinggal di pesantren perihal isu kekerasan seksual ini. Selain itu, pesantren perlu merumuskan kurikulum tersendiri untuk memberikan pemahaman gender disertai dalil-dalil keagamaan yang adil dan berdasarkan prinsip-prinsip kesetaraan.
Penulis memahami betul bahwa ini adalah kerja-kerja berat dan memakan waktu. Akan tetapi, kebaikan tentu perlu diusahakan dan diorganisasi sedemikian rupa. Sebab agama pada dasarnya tidak hanya bergerak dalam relasi manusia dan Tuhan saja, tetapi juga antar manusia, terlebih laki-laki dan perempuan secara khusus.
Untuk mengarusutamakan isu gender dan kekerasan seksual di pesantren, salah satunya kita bisa memakai strategi “islamisasi” kajian gender seperti yang dilakukan oleh Kiyai Faqihuddin Abdul Qadir dengan perspektif mubadalahnya atau Bu Nyai Nur Rofi’ah dengan konsep keadilan hakiki miliknya. Ini memungkinkan diskursus kajian pesantren menjadi lebih variatif dengan kehadiran kitab-kitab baru yang membahas perihal keadilan gender, salah satu di antaranya misalnya saja kitab “As-Sittin Al-Adliyah”. Dengan basis kitab kuning sebagai literatur khas pesantren, ajaran keadilan gender bisa kita sisipkan dengan tidak terkesan kebarat-baratan.
Tentu ini juga menjadi otokritik bagi penggerak isu gender dan ulama perempuan untuk lebih banyak menulis guna membumikan isu gender di kalangan pesantren melalui kitab-kitab kuning. Sebab bagaimanapun kajian gender dan Islam terlalu banyak ditulis dengan bahasa Indonesia dalam bentuk buku-buku dan jurnal. Sedangkan di pesantren, corak budaya literasinya tidak sama dengan pasar masyarakat umum. Untuk itulah, pekerjaan ini membutuhkan banyak sekali kontribusi ulama perempuan Indonesia. Ulama perempuan harus mampu menulis kitab kuning dengan kualitas yang sepadan dengan kitab kuning yang beredar di pesantren saat ini untuk memberikan narasi baru Islam adil gender dan berkomitmen menciptakan ruang aman.
Penulis percaya bahwa agama pada dasarnya diturunkan dengan misi pembebasan. Dan salah satunya ialah membebaskan pesantren dan seluruh institusi keagamaan dari kekerasan seksual. Wallahu a’lam bissawab, waiilaihil marji’ wal maab.
Artikel Lainnya
-
107311/10/2020
-
295025/03/2020
-
88904/01/2023
-
Pertarungan Keras Pemilu 2024: King Maker vs King Maker
65908/10/2022 -
China Mengutangi Bangsa yang Salah
215116/01/2020 -
86412/11/2022