China Mengutangi Bangsa yang Salah

Mahasiswa Terujung
China Mengutangi Bangsa yang Salah 16/01/2020 1958 view Ekonomi Manilatimes.net

Pemerintah “NKRI harga mati” dewasa ini cukup banyak bergantung pada China dalam persoalan materi: baik yang sifatnya investasi atau modal (utang) untuk membangun negeri. Setali tiga uang, Pemerintah China pun begitu pula; mereka sangat antusias meminjamkan uang pada Indonesia dengan harapan besar, yaitu dapat mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya dari masyarakat ultra-hedonis seperti Indonesia.

Strategi China dalam menjerat negara-negara berkembang melalui hubungan diplomasi utang piutang memang telah mahsyur dimana-mana, dan sudah menjadi rahasia umum di seluruh bagian dunia. Menurut hasil penelitian Kiel Intitute, China telah bertransformasi menjadi kreditor resmi terbesar di dunia, melewati IMF dan Bank Dunia, lewat program Jalur Sutera Baru.

Jalur Sutera adalah jalur niaga lama yang dilewati oleh China sebagai bangsa pedagang yang masyhur. Sebagaimana pedagang pada umumnya, China tentu telah menggunakan trik-trik S3 marketing untuk menarik minat bangsa-bangsa yang berkembang agar mau berhutang pada China.

Pemerintah China sadar benar bahwa seluruh bangsa di dunia gila akan diskon, maka dari itu mereka pun menerapkan hal yang sama dalam memberikan pinjaman pada negara yang akan berhutang, yaitu bunga utang yang kecil.

Oleh karena itu banyak negara-negara di dunia kemudian berbondong-bondong untuk pindah haluan dari IMF dan Bank Dunia ke pemerintah China. Bahkan terhitung sejak 2015 ada 50 negara berkembang yang bergantung lewat utang pada Pemerintah China. Lunak gigi daripada lidah: pemerintah China justru mengikat para pengutang lewat tempo pembayaran yang sesingkat-singkatnya dan jaminan kekayaan alam apabila negara yang berutang tidak mampu membayar hutang mereka, strategi ini dikenal dengan sebutan debt-trap diplomacy.

Sejauh ini ada beberapa negara yang terkena dampak besar dari program China, yaitu Zimbabwe, Pakistan dan Venezuela. Malah beberapa waktu lalu, Sri Lanka harus bersusah-susah “melapangkan hati, melebarkan pantat” untuk menyerahkan pelabuhannya pada China karena tidak mampu membayar utang sesuai tempo yang disepakati.

InsyaAllah-trap Diplomacy

Mungkin saja China saat ini sedang senyam-senyum melihat ada banyak sekali wilayah yang akan mereka sita apabila Indonesia gagal membayar utangnya pada China dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Akan tetapi China telah salah menilai, sebab debt-trap diplomacy ala China yang telah banyak membuat negara-negara berkembang taubatan nasuha untuk berutang pada China, tidak akan mempan terhadap bangsa Indonesia. Karena Pemerintah Indonesia sadar betul bahwa bukan China yang menjebak mereka dalam debt-trap diplomacy tapi merekalah yang sedang menggiring China dalam jebakan InsyaAllah-trap diplomacy yang sedang digandrungi oleh mayoritas manusia Indonesia.

Beberapa kasus insyaAllah-trap diplomacy ini bahkan telah banyak memakan anak sendiri. Bukan sedikit orang Indonesia yang kewalahan menagih utang pada orang Indonesia lainnya. Bahkan beberapa waktu lalu seorang penagih utang terpaksa dibui karena berani-beraninya menagih utang pada seorang istri aparat sebesar 80 juta.

Di Indonesia kasus demi kasus insyaAllah-trap diplomacy bukan satu dua, namun hampir seiringan dengan jumlah manusia yang mendiami Indonesia. Fenomena lebih galak yang berutang daripada yang memberi utang adalah hal umum di Indonesia. Bahkan yang memberi utanglah yang harus menghiba dan menghamba pada si pengutang agar uangnya dikembalikan.

Walaupun China telah berkoar-koar “Bagaikan burung ditinggal induk dalam sangkak” pada Indonesia di kemudian hari agar pemerintah “NKRI harga mati” berkenan membayar utang yang segunung pada China. Namun tetap saja pemerintah Indonesia akan diam seribu bahasa. Malahan pemerintah kita bisa lebih berkoar-koar dari pada China dalam mempertahankan argumentasi agar China takut menagih utang pada Indonesia.

Sosiologis orang Indonesia inilah yang tidak dipahami oleh Pemerintah China. Jangankan China, Pemerintah Indonesia pun kecipratan insyaAllah-trap diplomacy, karena memberi jaminan kesehatan pada masyarakat Indonesia lewat BPJS.

Akibatnya Pemerintah Indonesia kewalahan menagih iuran pada rakyat Indonesia. Walaupun telah diberi ancaman dan seabrek sanksi, namun yang namanya rakyat Indonesia peduli apa? Ancaman neraka pun mereka senyum-senyum saja.

Oleh karena itu, China harus segera sadar, bahwa mereka sedang mengutangi bangsa yang salah. Jika Luhut Binsar Panjaitan berusaha menarik minat China untuk memberi pinjaman dan kebebasan investasi, serta berusaha meredam emosi bangsa Indonesia pada China karena persoalan Natuna.

Pemerintah China jangan lekas terbuai, karena begitulah sosiologis sapiens yang mendiami Indonesia; ketika mereka ingin berutang dan ada perlunya “lunak gigi daripada lidah”, namun ketika keperluannya telah selesai dan para penagih utang mulai bekerja, manusia Indonesia seketika berevolusi menjadi bangsa yang tegap dan tangguh: pantang diintervensi bangsa asing.

Selagi masih ada kesempatan untuk bertaubat, Pemerintah China harus segera sadar dan angkat kaki, karena harapan mereka untuk menguasai Indonesia lewat jalur debt-trap diplomacy akan berakhir sia-sia dan sifatnya hanyalah khayalan dan dongeng belaka. Karena Indonesia punya strategi jitu untuk mengcounternya lewat insyaAllah-trap diplomacy.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya