Harapan Damai Muslim Balkan

Asesor SDM Aparatur Ditjen Pendidikan Islam Kemenag
Harapan Damai Muslim Balkan 08/08/2021 1601 view Politik bbc.com

Bosnia-Herzegovina memiliki sejarah kedekatan tersendiri dengan Indonesia. Untuk memberi dukungan moral pada muslim Bosnia-Herzegovina, pada awal Maret 1995, Presiden Soeharto melakukan kunjungan kenegaraan yang disebut sebagai perjalanan “kontrak mati”. Disebut demikian karena kondisi Sarajevo yang masih mencekam karena sisa suasana peperangan yang belum selesai.

Kunjungan tersebut mengawali bantuan Indonesia dalam bentuk pembangunan Masjid Istiklal Dzamija bagi umat muslim Bosnia-Herzegovina, sekaligus dorongan pemerintah Indonesia untuk keadilan dan perdamaian rakyat Bosnia-Herzegovina.

Bagi muslim Bosnia- Herzegovina, setiap bulan Juli adalah penanda memori kelam pengepungan tentara Serbia selama tiga tahun. Peristiwa tersebut terjadi pada 26 tahun lampau di Srebrenica. Meski demikian, upaya damai yang ikut diprakarsai pemerintah Indonesia hingga kini menghadapi tantangan yang tidak mudah.

Damai dan bayang-bayang sentimen konflik masih mewarnai bumi Balkan. Sebagai kawasan yang masih relatif baru berdiri, negara-negara eks Yugoslavia berupaya maksimal untuk mengobati luka sejarah konflik rasial dan meredam beragam bibit masalah dengan berbagai tantangan terkini.

Salah satu tantangan nyatanya adalah opini media. Vonis Ratko Mladic, gembong genosida muslim Bosniak (sebutan kaum muslim Bosnia Herzegovina), oleh Pengadilan Kejahatan Perang Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) bulan lalu justru disambut gempita dukungan positif di Beograd.

Harian Informer, Kurir, dan Vecernje Novosti bergantian menyikapi vonis tersebut sebagai putusan tidak adil dan malah menempatkan Mladic sebagai pahlawan yang menjadi korban ketidakadilan dunia. Tentu saja aneh. Pasalnya, pada saat yang bersamaan, kantor berita BBC dengan tegas memberitakan Mladic sebagai “jagal muslim Bosnia”. Pernyataan dan keberanian media Serbia tersebut tentu tidak berdiri sendiri. Afirmasi tersebut sarat makna dan karenanya bukan hors texte, dalam banyak hal justru menjadi hantu perdamaian itu sendiri.

Titik curiga

Hantu ini terus membayangi konsolidasi etnisitas dan negara-negara Balkan dalam bentuk kecurigaan, sinisme, provokasi, dan semacamnya. Selepas keruntuhan Yugoslavia pada tahun 1992, negara-negara baru bermunculan di bekas kekuasaan Yugoslavia dalam kedaulatan Kroasia, Bosnia- Herzegovina, Makedonia Utara, Slovenia, Montenegro, Kosovo - Vojvodina, dan Serbia.

Namun, meski tidak sebesar muslim Bosnia, memori kelam konflik antar etnis juga dialami muslim di Albania, Kroasia, Bulgaria, Kosovo, Montenegro, dan sekitarnya, khususnya dalam konflik dengan etnis Serbia dalam bentuk ethnic cleansing dan beragam intimidasi fisik. Dalam posisi demikian, muslim Balkan justru kerap dikonstruksi menjadi titik curiga dan bahan dasar Islamophobia di Eropa Tenggara. Bahkan saat mereka adalah korban genosida itu sendiri sebagaimana yang dialami muslim Bosnia-Herzegovina dan Kosovo.

Di luar Asia dan Afrika, Balkan adalah rumah terbesar bagi kaum muslim dengan Dinasti Ottoman sebagai pembuka jalan dan peletak dasar nilai dan peradaban Islam. Namun demikian, capaian peradaban dan nilai Islami yang dibangun Dinasti Ottoman di wilayah Balkan selama 500 tahun berusaha dikaburkan dengan anggapan barbarisme, nalar perang, dan stigma negatif lainnya yang membangun Islamophobia. Bisa dipahami, posisi Balkan sebagai titik temu Eropa dan Asia sangat mungkin akan dinilai merepotkan banyak pihak dan kekuatan utama jika berkembang dengan optimal.

Stigma dan Harapan Damai

Secara umum, gerakan Islamophobia di kawasan Balkan diinisiasi beberapa sumber. Pertama, gerakan yang dipelopori pandangan dan gerakan kelompok Sayap Kanan. Perdana Menteri Hungaria Viktor Okbin dapat dikatakan berada di garis depan dalam menyuarakan penolakan dan tudingan negatif pada muslim Balkan. Karena masih berupa negara-negara muda yang mengalami masalah perbatasan dan etnisitas, negara-negara Balkan tetap mengalami masalah pengungsi di beberapa negara.

Terhadap pengungsi muslim Balkan yang mencari suaka, misalnya, Okbin dengan lantang menyatakan penolakan dan mengatakan mereka sebagai perusuh peradaban Nasrani dan Yahudi. Pandangan Okbin jelas destruktif untuk ide perdamaian. Ujaran tersebut juga tidak bisa disepelekan, bukan hanya karena disampaikan seorang pimpinan pemerintah di Eropa Timur, tapi juga karena kematangan dan kedewasaan berbangsa dan bernegara negara-negara eks Yugoslavia masih rentan dan rawan konflik.

Kedua, pembiaran dan pengabaian sentimen publik. Pemberian Hadiah Nobel bidang Sastra bagi Novelis Austria Peter Handke pada 2019 menimbulkan gelombang penolakan besar di kalangan muslim Balkan. Pasalnya, Handke secara nyata memberi dukungan pada Radovan Karadzic dan Ratko Mladic, serta menolak adanya genosida muslim Bosnia. Pemberian Nobel ini jelas melukai perasaan warga muslim Balkan karena sama halnya memberi apresiasi dan dukungan terhadap keseluruhan pandangan Handke.

Namun, penolakan warga muslim Balkan tidak digubris. Dalam konteks yang sama, pandangan Handke mengenai tragedi muslim Bosnia sebangun dengan ide pemikir bahasa terkemuka Noam Chomsky dalam bukunya, Yugoslavia, Peace, War, and Dissolution (2018). Keduanya mewakili pandangan banyak pemikir dan sejarawan yang mengabaikan fakta genosida dan acuh pada sentimen muslim Balkan yang ta’awun pada upaya membangun solidaritas dan kebersamaan antar etnis dan antar agama.

Di Sarajevo, ibu kota Bosnia-Herzegovina, misalnya, niat dan upaya membangun toleransi itu terlihat nyata. Sebagaimana laporan International Religious Freedom 2021 yang dirilis pemerintah AS, dengan populasi 51 persen lebih muslim Sunni, muslim Bosnia bahu membahu membangun kehidupan beragama yang guyub dengan umat Gereja Ortodoks Roma, Gereja Ortodoks Serbia, dan Yahudi.

Kebersamaan ini sejalan dengan catatan positif ranking Bosnia Herzegovina pada Global Peace Index (GPI) 2020 yang dilansir Institute for Economics and Peace. Didukung regulasi toleransi beragama yang relevan, muslim Bosnia berkontribusi besar dalam capaian ranking 72 GPI, dengan tren positif dari capaian sejenis sebelumya.

Narasi kebersamaan dan capaian positif muslim Bosnia rasanya terlalu naif jika harus berhadapan dengan kepentingan sempit dan pandangan separatis mengenai Islamophobia di Balkan. Pasalnya, muslim Balkan telah menunjukkan niat dan tindakan konstruktif untuk kehidupan beragama dan semangat toleransi yang demikian positif.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya