Jurnalisme Berperspektif Gender

Pemberitaan yang “menaklukkan” perempuan demi kepentingan bisnis menjadi salah satu permasalahan dalam kajian media. Judul berita sensasional bin hiperbola, seperti: “Gadis 13 Tahun di Gumas Ini Digagahi Berkali-Kali di Bawah Pohon”, atau “Dicekoki Miras, Gadis di Kota Serang Digagahi Dua Pria”—bak penyakit kronis yang sulit diobati dalam kerja-kerja media—yakni jurnalisme yang tidak sensitif gender.
Dalam pemberitaan pertama, seolah-olah, penyintas yang masih berstatus pelajar tersebut, mau tidak mau, harus menerima “suratan takdir” untuk digagahi oleh seorang lelaki yang menjalani hidupnya sebagai pekerja serabutan. Belum lagi pemberitaan tersebut menarasikan ulang kronologi. Bagi penyintas, ini sama saja "sudah jatuh tertimpa tangga". Sedangkan pemberitaan kedua, dalih kedekatan antara pelaku dengan penyintas, dijustifikasi untuk membenarkan perilaku biadab tersebut. Jika hal ini terus dilanggengkan, kekerasan seksual dapat dianggap sebagai hal yang lumrah oleh publik. Libido pelaku seolah-olah menjadi hal yang mendasar, esensial, sebagai dampaknya dapat ditolerir.
Permasalahan lain yang juga sering muncul dalam kajian media, adalah kian minimnya perempuan dalam ruang redaksi. Kita dapat merefleksikan hal tersebut melalui laporan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang diterbitkan pada 1998 lalu. Laporan itu mengatakan, ada 4.678 jurnalis laki-laki, namun hanya ada 461 jurnalis perempuan, atau hanya sekitar 10 persen dari total keseluruhan (Subono, 2003).
Laporan selanjutnya dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang diterbitkan pada 2012 silam. Mereka mengatakan total jurnalis di Indonesia mencapai 14.000 orang. Namun hanya 1.400 (10%) yang merupakan jurnalis perempuan. Sisanya ditempati jurnalis laki-laki (AJI, 2012). Padahal, komposisi yang seimbang dalam ruang redaksi menjadi salah satu cara bagi media untuk memberi ruang kesetaraan bagi perempuan. Namun, ideal tersebut "jauh panggang dari api".
Pada Juli 2021 lalu, Remotivi yang bekerja sama dengan Universitas Diponegoro dan Universitas Indonesia meluncurkan sebuah riset, yang riset tersebut, bermaksud untuk memahami hubungan antara pengalaman belajar (termasuk magang) dengan pilihan karir mahasiswi jurnalistik. Riset itu berusaha menelusuri hal lebih mendalam: persepsi mereka (perempuan) terhadap aktivitas jurnalisme di industri media, sedari menempuh masa studi.
Riset Remotivi mengatakan, bahwa jumlah jurnalis perempuan masih minim dibanding jurnalis laki-laki. Minimnya representasi ini dalam ekosistem-kerja jurnalistik, terlebih dalam ruang redaksi, mengakibatkan banyaknya produk jurnalistik yang tidak sensitif gender, seperti yang ditemukan dalam berbagai riset terdahulu.
Namun, yang menjadi ironi adalah ketimpangan jumlah jurnalis perempuan dibanding jurnalis laki-laki bertentangan dengan kenyataan bahwa program studi maupun peminatan jurnalistik di Indonesia, sebagian besar diisi oleh perempuan. Pada salah satu variabel efikasi diri, misalnya. Dari 338 responden, terdiri dari 109 laki-laki dan 229 perempuan, “jawaban bernada tidak percaya diri” untuk berkarir sebagai jurnalis dan menempati posisi strategis (pengambil keputusan) dalam ruang redaksi, datang dari perempuan. Jawaban dinilai percaya diri, apabila data (skor) yang diperoleh dari seluruh mahasiswa/i yang terkumpul, mendapat nilai 3.4. Faktanya, dalam riset tersebut laki-laki mendapat skor 3.58 dan perempuan hanya 3.39 (Remotivi, 2021).
Melalui perolehan skor di atas, riset mereka kemudian menarik kesimpulan. Pertama, ini menandakan bahwa laki-laki lebih optimis atas potensi dari kemampuan yang dimilikinya, sementara perempuan berhati-hati. Kedua, ada keterlibatan stereotipe dan stigma dalam ekspresi kepercayaan diri perempuan dan laki-laki untuk bekerja di industri media. Dua stereotipe tersebut bersifat kultural dan psikologis. Stereotipe kultural yang muncul: laki-laki lebih pantas menjadi pemimpin dibanding perempuan; perempuan seharusnya berada di ranah domestik (dapur, sumur, atau kasur).
Sedangkan stereotipe psikologis, ada anggapan dari masyarakat bahwa laki-laki lebih mengedepankan logika, dan perempuan mengedepankan perasaan; perempuan dianggap sensitif dan mudah terpengaruh oleh hal di luar dirinya. Sementara laki-laki dianggap lebih supel, mudah berteman, dan membuka jaringan. Apa artinya? Riset mereka ingin mengatakan, bahwa sejak menempuh masa studi, perempuan sudah terpapar, mengalami stereotipe, juga stigma dalam masyarakat. Sebagai dampaknya, tak heran jika dari tahun ke tahun, jumlah jurnalis perempuan di Indonesia kian minim.
Atas dasar itulah, jurnalisme berperspektif gender dirasa perlu, agar dijadikan sebagai alternatif sekaligus landasan kerja bagi setiap insan (jurnalis) maupun pemilik media. Supaya pemberitaan yang sifatnya “menaklukkan” perempuan, juga stereotipe, dan stigma dalam masyarakat yang melekat pada mereka, dapat tercerabut. Akan tetapi, jurnalisme berperspektif gender seperti apakah yang dimaksud oleh penulis?
Jurnalisme yang Berpihak Pada Penyintas
Mengenai pembagian dua kutub posisi media: jurnalisme konvensional murni dan sensitif gender. Menurut Subono, jurnalisme konvensional murni mengatakan bahwa media adalah sarana yang menampilkan semua pembicaraan dan kejadian yang ada dalam masyarakat secara apa adanya. Dalam arti lain, bebas, netral, dan tidak memihak. Maka, dalam pemberitaan yang “menaklukkan” perempuan demi kepentingan bisnis, terlebih isi beritanya sering menyudutkan penyintas. Dibutuhkan jurnalisme yang sensitif gender: media haruslah menjadi sarana yang dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok marginal (terutama perempuan) untuk memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender (Yusuf, 2004).
Karena, kalau tidak seperti itu, pemberitaan yang adil terhadap perempuan hanya akan berujung pada hal yang utopis. Tidak ada keberpihakan pada penyintas. Seolah-olah media tidak ingin campur tangan. Menarasikan ulang kronologi dalam berita kekerasan seksual "dinilai" sebagai cara yang jitu untuk menyelesaikan permasalahan. Sejatinya, seperti yang telah penulis singgung, pemberitaan seperti itu, bagi penyintas: "sudah jatuh tertimpa tangga".
Hal lain yang perlu diawasi adalah kekuasaan, bahkan jika diperlu dikritisi! Jika tidak, ia akan menindas mereka yang lemah. Dalam konteks pemberitaan perempuan yang sering dijadikan sebagai objek oleh media, seperti dikatakan Sindhunata, media yang berperspektif gender tidak mungkin dapat menjalankan idealismenya dengan baik, jika ia tidak berani untuk kritis atau berhadapan dengan kekuasaan. Ia harus kritis terhadap feodalisme, hierarkisme, yang ada dalam masyarakat. Ia juga harus selalu peka, tidak menjadikan perempuan sebagai objek, dan penyintas sebagai bahan pemberitaannya. Tetapi sebagai agen, yang bersama media itu sendiri, menciptakan sistem yang berkeadilan terhadap siapa saja, mau laki-laki atau pun perempuan (Sindhunata, 2019).
Kualitas, Kompetensi, dan Kinerja dalam Jurnalisme
Penulis mengasumsikan logika ini, jika perempuan layak menempati posisi strategis sebagai pimpinan redaksi atau bekerja di industri media sebagai jurnalis dibanding laki-laki karena kualitas, kompetensi, dan kinerja yang dimilikinya, mengapa tidak? Bukankah logika ini jika diterapkan secara tepat-proporsional, dapat menggapai keadilan dan kesetaraan gender yang masih kita raba-raba dalam industri media?
Meski begitu, logika ini berkaitan dengan keinginan politik (political wiil) setiap pemilik media, yang bersedia mengubah sistem kerjanya. Dari yang sebelumnya tidak memberi kesempatan kepada perempuan, menjadi membuka kesempatan tersebut seluas-luasnya. Hematnya, selain media dalam aktivitas jurnalismenya haruslah mengedepankan logika kualitas, kompetensi, dan kinerja—untuk menggapai keadilan dan kesetaraan gender tersebut, dibutuhkan pula keinginan politik (political wiil) dari para pemilik media untuk menciptakan ruang redaksi yang adil, aman, demokratis, serta egaliter. Sistem kerja yang bukan hanya menguntungkan satu pihak. Tetapi seluruh pihak, baik jurnalis laki-laki maupun perempuan.
Dengan demikian, jika ketiga poin di atas terwujud, citra negatif perempuan dalam masyarakat (salah satunya) akibat pemberitaan media yang sifatnya “menaklukkan” demi kepentingan bisnis, minimnya perempuan dalam ruang redaksi (terlebih menduduki posisi strategis), dan masih banyaknya produk jurnalistik yang tidak sensitif gender, dapat diminimalisir. Atau syukur-syukur, tercerabut sampai ke akar-akarnya.
Artikel Lainnya
-
114308/10/2020
-
106222/09/2021
-
27431/03/2024
-
Covid-19 dan Ketergantungan Ekonomi Nasional
170822/04/2020 -
Tontonan (Belum Tentu) Jadi Tuntunan
140118/09/2021 -
Mencoba Melihat Kasus Pelecehan Seksual dari Dua Sisi
399322/06/2020