Siswa Sekolah: Apakah Terjangkiti Mentalitas Budak?
Belakangan, channel edukasi yang cukup tersohor di Indonesia, Guru Gembul. Ia mengunggah salah satu video yang berjudul “10 Ciri Orang Bermental Budak. Di antaranya gemar bekerja ?!” Dalam konten tersebut Guru Gembul menyoroti sebuah fenomena sosial yang kerap kali menjangkiti rakyat pribumi Indonesia. Dari 10 di antaranya yang disorot oleh Guru Gembul, pada nomor 10 adalah tidak berani berinisiatif.
Mudahnya, ketika seseorang punya waktu senggang. Ia justru malas-malasan dan tidak melakukan apapun yang berimplikasi kreatifitas. Ia membiarkan waktu senggang terbuang sia-sia. Maka dari itu, sebenarnya –dalam sudut pandang Guru Gembul—orang menganggur justru memiliki kesempatan yang luar biasa untuk berkreasi. Namun karena terjangkiti mental budak, di mana seseorang tidak akan bergerak jika tidak disuruh, dikomando, atau diperintah, maka pengangguran menjadi negatif. Sebab kondisi “nganggur” demikian justru menjadikan seseorang tidak produktif.
Berangkat dari pengalaman penulis, jika ditarik ke dalam aspek pendidikan adalah, bahwa siswa-siswa di sekolah masih minim kreatifitas untuk menemukan inovasi-inovasi. Misalnya saja, ketika jam pelajaran sedang kosong. Apa yang dilakukan oleh siswa? Betul. Kalau tidak main game berarti sekadar scrolling media sosial atau melakukan hal-hal yang nggak ada implikasi inovatif. Andai kata seorang siswa mampu menarik kondisi “jam kosong” itu pada hal yang lebih produktif, misalnya, di sela-sela jam kosong mereka menggunakan waktunya untuk membaca, menulis esai atau opini, atau berdiskusi dengan teman sekelasnya. Sayangnya, apa yang penulis singgung tersebut agaknya terlalu berat bagi siswa sekolah. Sebab mereka lebih memilih menghabiskan waktu dengan hal yang tidak mempunyai output yang jelas.
Hal ini terkoneksi kembali dengan apa yang disampaikan oleh Guru Gembul. Siswa sekolah sangat jarang (atau tidak ada?) yang mau berinovasi demi memenuhi kebutuhan belajarnya. Sebab banyak siswa, menganggap belajar adalah hal yang perlu dihindari. Meski sebenarnya mereka sudah tahu pasti output belajar itu jelas, sekurang-kurangnya: membuat mereka berprestasi, mampu menyerap materi dengan baik, termasuk salah satunya membuat ilmu mereka berprogres.
Tapi apakah belajar itu diminati? Tidak juga.
Lantas, apakah jam kosong pelajaran hanya berlalu begitu saja? Betul.
Di sinilah, bentuk mental budak itu tampak jelas. Di mana para siswa hanya mau bergerak jika diberi komando oleh gurunya. Misalnya, ketika jam kosong lalu seorang guru pelajaran meminta: “Ayo, silakan pelajari bab ini. Ayo, silakan kerjakan tugas ini.” Dengan begitu mereka akan mau menuruti perintah. Namun sebaliknya, jika seorang guru tak meminta hal demikian. Maka yang terjadi adalah, siswa tak mampu untuk berinovasi dan mengkreasikan kondisi kelas kosong dengan hal yang cukup produktif. Sebabnya, mereka terjangkiti mentalitas budak: hanya mau bergerak ketika disuruh.
Ironi demikian menjadikan penulis gusar. Sebab pada dasarnya, meminjam istilah Paulo Freire, pendidikan itu membebaskan. Pendidikan membuat siapapun pelakunya mengeksplor diri mereka dengan hal yang inovatif. Bebas di sini bukan berimplikasi pada tujuan yang seenaknya: leyeh-leyeh, santai, nggak produktif. Bukan begitu. Namun lebih kepada tindakan kreatif yang mampu menunjang kondisi belajar siswa.
Oleh karenanya, penulis menyimpulkan tiga hal agar para siswa tidak terjatuh pada kondisi mentalitas budak. Pertama, siswa harus berani berpikir mandiri. Immanuel Kant meyebutkan dengan istilah sapere aude. Sebuah kata latin yang berarti “berani berpikir mandiri”. Maksudnya, mereka memiliki kapasitas untuk mengendalikan diri sendiri dengan membuat inovasi yang positif, sehingga mereka akan tetap bergerak meski tanpa perintah.
Kedua, para siswa harus menyadari sepenuhnya bahwa posisi mereka adalah “murid yang sedang belajar”. Belajar merupakan proses internalisasi untuk mengumpulkan, mengakumulasi pengetahuan sebanyak-banyaknya guna memperbaiki laku pikir, batin, dan tindakan siswa. Maka di sini siswa tidak boleh berpangku tangan dan hanya menyerahkan otoritas diri mereka pada seorang guru. Sebab guru bukanlah patron yang sepenuhnya bisa dipatuhi. Dalam beberapa catatan siswa juga harus mempunyai daya gedor untuk campur tangan dalam pengajaran guru.
Maksudnya, siswa terlibat aktif dalam pembelajaran di kelas agar tidak mewujud sistem teacher-oriented: guru sebagai pusat, namun sebaliknya: student-oriented. Dengan begitu harapannya, para siswa bukan hanya copy-paste dengan apa yang disampaikan guru. Tapi mereka berani untuk menyampaikan gagasan, ide, dan opini yang konstruktif.
Ketiga, siswa harus sepenuhnya menyadari bahwa waktu mereka terbatas. Pembelajaran di sekolah merupakan jembatan untuk memberikan simulasi kehidupan sesungguhnya. Sebelum mereka menghadapi realitas hidup yang lebih kejam di luar kelas. Mereka sejenak perlu memahami problem kompleks kehidupan dimulai dari ruang kelas. Mereka perlu menumbuhkan jiwa inovatif, kreatif, dan peka dengan lingkungan agar proses belajar tetap berjalan. Pendek kata, meski tanpa diminta, mereka bisa melakukan hal yang positif sebagai penunjang belajar. Berpangku tangan dan pasrah menerima perintah guru, itu cerminan mentalitas budak yang perlu diberangus.
Artikel Lainnya
-
95922/05/2022
-
189914/10/2021
-
124030/04/2021
-
Soal Sampah: Membayangkan Sebuah Bumi Masa Depan
174813/07/2020 -
Peranan Mahasiswa dalam Menerapkan Nilai-nilai Pancasila
993226/12/2022 -
Kebahagiaan sebagai Tujuan Akhir: Studi Terhadap Tahsil al-Saadah Karya Al-Farabi
8816/12/2024