Bencana Asap dan Polusi Udara

Setelah pandemi covid-19 dinyatakan usai oleh pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia beberapa waktu lalu dan kita kembali kepada kehidupan yang normal, saya berpikir bahwa tidak akan lagi memakai masker terutama ketika beraktivitas di luar rumah dan berkumpul dengan keluarga, teman ataupun mitra kerja yang lainnya.
Namun apa yang saya pikirkan tersebut ternyata meleset. Hal ini dikarenakan bahwa hingga saat ini kami terpaksa harus memakai masker terutama ketika beraktivitas di luar rumah. Semua itu kami lakukan karena untuk melindungi diri dari bahaya asap akibat kebakaran hutan dan lahan di wilayah Pulau Sumatra di mana kami tinggal.
Ini bukan kali pertama di pulau yang kami tempati terjadi kebakaran hutan dan lahan yang mengakibatkan asap. Kejadian ini berulang kali. Setiap kali kemarau panjang sering kali kebakaran hutan dan lahan ini terjadi. Pemerintah dan kita seperti tak bisa melakukan apa-apa untuk menghentikan kebakaran hutan dan lahan ini.
Memang benar, bahwa kita semua telah berusaha bergotong-royong untuk mengantisipasi kebakaran hutan dan lahan bahkan pemerintah juga tak henti-hentinya untuk melakukan himbauan agar masyarakat tidak melakukan pembakaran hutan dan lahan. Bahkan pemerintah juga telah membuat peraturan bahwa bagi yang kedapatan membakar hutan dan lahan akan didenda dan atau dipidana dengan hukuman penjara. Namun ini sepertinya kurang efektif karena kebakaran hutan dan lahan masih saja terjadi. Dan itu membuat kami dan keluarga merasa tersiksa, apa lagi kami punya anak kecil yang terkena asap sedikit saja saluran pernafasannya mudah terganggu, terkena ISPA ataupun batuk-batuk.
Langkah menghentikan kebakaran hutan dan lahan bukan hanya melalui himbauan atau kebijakan berupa peraturan, namun juga dilakukan upaya pemadaman oleh pihak-pihak berwenang dibantu masyarakat dan sukarelawan. Bahkan, beberapa kali untuk memadamkan kebakaran hutan dan lahan ini dilakukan modifikasi cuaca yang lebih dikenal dengan hujan buatan. Namun hal ini tidak lantas membuat asap yang masih menyiksa kami itu hilang 100 persen. Sering kali satu-satunya yang bisa membuat kebakaran hutan dan lahan itu berakhir adalah datangnya musim penghujan. Untuk itu, kami berdoa dan berharap musim penghujan segera tiba agar bencana asap ini segera berakhir.
Selain hal tersebut, untuk mengurangi dampak akibat asap, pemerintah di provinsi kami juga mengeluarkan surat edaran yang isi intinya adalah bahwa kelompok rentan yang beresiko terhadap paparan asap seperti ibu hamil dan juga lansia agar tidak melakukan aktivitas di luar rumah terlebih dahulu sampai bencana asap ini berakhir atau membatasi diri. Demikian juga dengan anak sekolah agar melakukan pembelajaran melalui daring, namun hal ini bukanlah solusi permanen untuk persoalan bencana asap yang sering berulang.
Karena bencana musiman kabut asap ini sering kali terjadi, maka bebarapa waktu lalu saya mencoba curhat kepada teman karib saya yang saat ini sedang bekerja dan tinggal di Jakarta. Saya berkeluh kesah mengenai bencana asap yang terjadi di Pulau Sumatra yang membuat kami sekeluarga terutama anak kami yang masih kecil sering mengalami batuk-batuk akibat terjadinya gangguan pernafasan bagian atas sebagai dampak dari udara yang tak bersih akibat kabut asap ini.
Namun, terhadap curhatan saya tersebut, teman saya malah balik curhat. Dia berkata “Kamu dan keluargamu lumayan, hanya sesekali saja dalam beberapa tahun terkena dampak polusi udara akibat asap, kami hampir tiap hari terkena dampak polusi udara ini akibat polusi asap dari pabrik ataupun juga dari kendaraan bermotor. Kami juga terpaksa memakai masker tiap hari."
Lebih lanjut temanku itupun menambahkan “Jika di tempat kamu dan keluargamu tinggal, asap bisa hilang karena hujan lebat yang menyebabkan kebakaran hutan dan lahan kemudian padam, di tempatku hal itu tidak berlaku. Mau hujan lebat atau tidak, selama pabrik yang menghasilkan asap dan kendaraan bermotor juga masih mengeluarkan asap tiap hari, maka polusi udara tetap terjadi di kota kami."
Sebenarnya berita mengenai polusi udara yang ada di Kota Jakarta dan sekitarnya sering kami dengar dan kami baca melalui media, namun kebenarannya belum dapat saya pastikan. Saya baru percaya bahwa polusi udara itu benar-benar terjadi di Kota Jakarta dan sekitarnya ketika seminggu yang lalu saya pergi ke Jakarta selama beberapa hari. Dan saat itu pula saya menyaksikan sendiri, polusi udara yang diakibatkan oleh asap di Kota Jakarta dan sekitarnya benar-benar terjadi.
Akhirnya, saya mengamini curhatan kawan saya. Dalam hati saya berbisik “Kita sama-sama menderita dan tersiksa karena bencana asap dan polusi udara, kawan!."
Artikel Lainnya
-
141410/02/2020
-
31818/12/2023
-
206223/12/2019
-
Menyoal Sinergisitas Agama dan Budaya Populer
176501/01/2021 -
Diagnosis Patologi Politik Indonesia
210026/03/2021 -
Arah Langkah Pendidikan Pasca Pandemi Covid-19
194621/05/2020