Gepeng dan Anjal: Tantangan dan Strategi Penanganan Berkelanjutan dan Berdampak

Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah terkait keberadaan Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS) -sebelumnya disebut Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)- seperti gelandangan, pengemis, dan anak jalanan (gepeng dan anjal). Keberadaaan mereka di tempat umum seperti pasar, jalan raya, dan tempat lain yang menjadi pusat aktivitas sosial kerap menjadi masalah sosial dan juga dapat mengancam keamanan dan ketertiban umum. Padahal negara bertanggung jawab untuk merawat fakir miskin dan anak-anak yang terlantar, begitu bunyi Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 yang mengamanatkan memberikan perlindungan bagi fakir miskin dan anak-anak yang terlantar. Namun kenyataannya sampai saat ini negara masih belum mampu untuk melindungi hak-hak mereka dan menjamin agar mereka menerima kebutuhan dasar, seperti hidup, tumbuh dan berkembang dengan dengan layak.
Fenomena gepeng dan anjal ini umumnya berkorelasi erat dengan tingkat kemiskinan, pengangguran dan tingkat putus sekolah, dimana semakin tinggi tingkat kemiskinan, pengangguran dan tingkat putus sekolah suatu daerah maka akan mempengaruhi pertambahan gepeng dan anjal. Berdasarkan data kemiskinan selama lima tahun (2019-2023) berbanding lurus dengan tingkat pengangguran, dimana persentase penduduk miskin Indonesia meningkat dari 9,22 persen tahun 2019 menjadi 9,36 persen pada tahun 2023 dan tingkat pengangguran terbuka (TPT) dari 5,23 tahun 2019 menjadi 5,32 pada tahun 2023.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), selama periode 2017- 2022 angka kemiskinan menunjukkan tren menurun, meski sempat meningkat pada 2020 akibat pandemi Covid-19. Sebelumnya, angka pengangguran sempat melonjak tajam hingga ke level 7,07% pada September 2020 dampak diberlakukannya pembatasan kegiatan sosial terkait pandemic 2022 (databoks.katadata.co.id, 2022). Adapun angka putus sekolah di Indonesia, hingga 2022 meningkat mulai dari jenjang lebih rendah hingga jenjang lebih tinggi. Fakta menunjukkan bahwa terdapat 13 anak dari 1.000 penduduk yang putus sekolah di jenjang tersebut. Adapun alasan terbesar para siswa putus sekolah adalah pengaruh lingkungan yang tidak baik, kurangnya motivasi belajar, dan faktor keluarga yang tidak harmonis. Menurut Survei Ekonomi Nasional (Susenas) 2021, terungkap 76 persen keluarga mengakui anaknya putus sekolah karena alasan ekonomi. Sebagian besar yaitu 67,0 persen di antaranya tidak mampu membayar biaya sekolah, sementara sisanya yaitu 8,7 persen anak harus mencari nafkah (Kompas.com, 2023).
Masalah gepeng merupakan salah satu masalah sosial sebagai akibat sampingan dari proses pembangunan nasional, maka penanggulangan perlu dikoordinasikan dalam program lintas sektoral, regional, dengan pendekatan yang menyeluruh baik antar profesi maupun antar instansi disertai partisipasi aktif dari masyarakat. Permasalahan yang dihadapi yaitu belum optimalnya penanganan gepeng dan anjal di daerah disebabkan beberapa hal antara lain belum optimalnya penerapan kebijakan terkait penanganan, kewenangan pemangku urusan yang terbatas, keterbatasan alokasi anggaran sosial, fasilitas sarana dan prasarana kurang memadai dan belum ada bentuk kolaborasi penanganan gepeng dan anjal.
Upaya Konkrit Penanganan oleh Pemerintah Daerah
Idealnya penanganan dilakukan dengan kolaborasi seluruh perangkat daerah sehingga dapat mengambil peran dalam penanganannya. Dinas Sosial sebagai leading sector penanganan PPKS maka dalam hal pembinaan gepeng dan anjal dapat dilakukan melalui pembinaan pencegahan, pembinaan lanjutan, dan rehabilitasi sosial. Adapun Satpol PP sesuai dengan tugas dan fungsinya sebagai unsur pengamanan dan membantu kepala daerah dalam penegakan perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat melaksanakan penanganan gepeng dan anjal. Penanganan yang dilaksanakan oleh Dinas Sosial, diawali dengan menerima laporan dan hasil penjaringan yang dilakukan oleh Satpol PP. kemudian diidentifikasi dan diassessment untuk mengetahui latar belakangnya. Selanjutnya anjal dan gepeng dilakukan beberapa tindakan sesuai kebutuhannya, salah satunya dikembalikan ke daerah asalnya.
Dinas Sosial dapat berkolaborasi dengan sejumlah instansi. Misalnya dengan Disdukcapil untuk pembuatan KTP bagi anjal-gepeng yang belum memiliki kartu identitas. Kedua, Dinas Pemberdayaan perempuan dan Pemberdayaan Anak terkait pendataan anak jalanan setiap tahun, termasuk dokumentasi. Ketiga, Dinas Pendidikan untuk memfasilitasi anak jalanan yang ingin melanjutkan Pendidikan. Keempat, Dinas Kesehatan berupa pembuatan kartu BPJS, Kelima, Kesatuan Pelaksanaan Pengamanan Pelabuhan (KPPP) sebagai unsur Kepolisian Republik Indonesia, yang membantu memulangkan gepeng dan anjal ke daerah asalnya.
Selanjutnya, dalam memperpanjang jangkauan Dinas Sosial untuk menangani permasalahan PPKS, dibentuk juga TKSK (Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan) dan PSM (Pekerja Sosial Masyarakat) yang merupakan pilar-pilar sosial, merupakan mitra pemerintah sebagai pelaku penyelenggara kesejahteraan sosial di tengah-tengah masyarakat. Setiap pilar-pilar sosial mempunyai tugas pokok secara bersama-sama dengan pemerintah dan komponen masyarakat lainnya untuk menanggulangi berbagai masalah kesejahteraan sosial. Jadi TKSK dan PSM berada di bawah koordinasi dari Dinas Sosial.
Setidaknya ada 3 langkah strategis sebagai upaya penanganan yang dapat dilakukan, Pertama, upaya Pre-Emptif. Upaya ini dilakukan sebagai tahapan awal dari perencanaan dan pengambilan keputusan. Upaya yang dapat dilakukan juga melalui pendekatan persuasif dengan mengedepankan himbauan dan pendekatan kepada masyarakat dengan tujuan menghindari munculnya potensi-potensi terjadinya permasalahan sosial dan kejahatan di masyarakat. Kegiatan yang dapat dilakukan antara lain dengan penyusunan roadmap kolaboratif penanganan gepeng dan anjal, berikut mapping analisis situasi dan kondisi berbasis kecamatan-kelurahan-rukun tetangga (RT) yang merupakan kolaborasi antara Dinas Sosial, Satpol PP, Kecamatan, dan Kelurahan serta perangkat daerah lainnya.
Upaya selanjutnya adalah sosialisasi, kampaye, penyuluhan, dan edukasi “Stop Beri Uang Di Jalan” secara massif menggunakan berbagai media baik secara langsung (Di jalan; Sekolah, RT, Tempat Ibadah, Komunitas), melalui media (Spanduk, Videotron, Medsos OPD), ataupun juga pemanfaatan pengeras suara (speaker) di Simpang Lampu Merah.
Kolaborasi dengan pelaku usaha dalam membentuk forum Corporate Social Responsibility (CSR) yang melibatkan masyarakat, pemberian bantuan, pelatihan & kesempatan kerja melalui pemberian bansos/ penyaluran derma kepada keluarga miskin dan menyiapkan saluran kerja bagi tenaga kerja produktif dari keluarga miskin dan juga pemberian apresiasi/anugrah kepada Orang Tua Asuh/ Ormas Asuh/ Panti/ Yayasan/ Rumah Singgah Swasta/ Pesantren yang membantu secara optimal penanganan anjal-gepeng.
Kedua, upaya preventif. Sebagai tindak lanjut upaya pre emptif melalui upaya pencegahan berkembangnya gepeng dan anjal. Kegiatan yang dapat dilakukan misalnya: patroli rutin gabungan antara Satpol PP, Linmas, TNI, Polisi, dan BNN dapat dilakukan secara terencana dan terkoordinasi, penempatan anggota (Satpol PP, Mitra (Linmas, TKSK, PSM) pada titik-titik konsentrasi anjal-gepeng. Untuk pemenuhan SDM dapat dilakukan pemetaan kebutuhan SDM yang dilakukan oleh Satpol PP, menyusun kebijakan/aturan yang memuat penguatan hukuman atas tindak pidana ringan dan sanksi progresif, operasi penertiban dengan memberikan sanksi progresif mulai dari himbauan sampai pada pemberian sanksi dan laporan ke kepolisian, melaksanakan MoU kerjasama secara integratif-kolaboratif pengelolaan anjal-gepeng dengan pihak terkait (OPD, LPNK, TNI/Polri, Kemenag, Ormas, Pesantren, Swasta), peningkatan anggaran penanganan gepeng dan anjal pada OPD terkait (Dinsos, Rumah Singgah, dan Satpol PP) serta Kecamatan dengan menyusun perencanaan anggaran OPD berdasarkan potret permasalahan terkait yang dituangkan dalam program dan kegiatan OPD, aplikasi gepeng dan anjal melalui pengembangan aplikasi Super APPs penanganan PPKS dalam rangka pendataan-pemantauan-pelaporan-serta pengambilan kebijakan terkait Data Terpadu Kesejahteraan Sosial, partisipasi OPD melalui penanganan anjal-gepeng memerlukan kerja kolaboratif seluruh OPD dan lokalisasi dengan cara Pemusatan aktivitas anjal-gepeng pada titik tertentu (taman/ mall/ terminal) dengan pengawasan ketat.
Ketiga, upaya refresif. Dilakukan melalui operasi penertiban dengan memberikan sanksi progresif mulai dari himbauan sampai pada pemberian sanksi. Pemberian sanksi administrasi dengan mengamankan KTP warga yang terbukti memberikan uang kepada gepeng dan anjal di jalanan. KTP dapat diambil di Satpol PP, namun sebelumnya masyarakat akan menjalani pembinaan terkait bahaya dan dampak dari memberikan uang kepada gepeng dan anjal. Sanksi ini bertujuan untuk memberikan efek jera kepada masyarakat dan mengubah perilaku mereka terkait memberikan bantuan langsung kepada gepeng dan anjal di jalanan.
Harapannya dengan tiga upaya yang dilakukan ini dapat memberikan dampak bagi menurunnya angka gelandangan, pengemis dan anak jalanan.
Artikel Lainnya
-
120025/06/2021
-
44013/04/2024
-
210823/03/2020
-
Revisi UU ITE: Antara Perlindungan dan Ancaman terhadap Kebebasan Berekspresi
7422/06/2025 -
353109/02/2020
-
78017/02/2022