Gagalnya Social Distancing

Pegiat Demokrasi
Gagalnya Social Distancing 23/03/2020 1970 view Opini Mingguan Liputan6.com

Per hari-hari ini, di Indonesia, kita menyaksikan virus korona semakin banyak menelan korban. Korbannya adalah jiwa-jiwa manusia yang suci. Suci karena tidak bersalah, bahkan tahu menahu saja tidak. Apa langkah pemerintah selanjutnya untuk menahan laju penyebaran pandemi korona?

Sebelumnya, Presiden Jokowi telah mengeluarkan maklumat pemberlakuan social distancing sebagai strategi dalam menangkal penularan wabah virus korona supaya tidak kian tersebar luas ke mana-mana dan semakin banyak merenggut nyawa umat manusia Indonesia.

"Saatnya kita kerja dari rumah, belajar dari rumah, ibadah di rumah. Inilah saatnya bekerja bersama-sama saling tolong-menolong dan bersatu-padu, gotong royong," tutur Presiden Jokowi pada 15 Maret 2020. Langkah ini patut diapresiasi.

Strategi itu ditiru dari negara-negara yang sudah terlebih dahulu didera pandemik. Ia dianggap ampuh oleh pemerintah kita untuk menimalisir pandemik virus corona. Sehingga, baik pemerintah pusat maupun daerah memilih memberlakukan social distancing sebagai kebijakan. Dan kalau sudah dijadikan sebagai kebijakan, itu artinya tidak boleh dilanggar, mesti dipatuhi.

Pihak pemerintah berpikir strategi social distancing sangat pas dengan situasi sekarang di Indonesia, di mana sangat minim peralatan medis. Namun sayangnya kebijakan ini dalam praktiknya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Diacuhkan. Sinergitas antara pemerintah, pihak swasta, dan warga sipil biasa belum kuat, bahkan nyaris bisa dibilang belum ada.

Alih-alih sebagai obat penangkal, kebijakan ini justru seumpama embusan angin, hilir mudik, kemudian berlalu, dan sia-sia! Dua tanda kesia-siaannya.

Pertama, korban akibat virus korona terbukti jumlahnya saban hari bertambah banyak, kendatipun yang sembuh juga bertambah. Kedua, masih banyak warga yang menjalani rutinitas seperti biasa, terutama buruh—sebab masih diwajibkan kerja pada tempatnya biasa bekerja, bukan di rumah sebagaimana yang diharapkan oleh bapak Presiden Joko Widodo.

Saya sedih dan waswas menyaksikan poin pertama, di mana jumlah korban akibat virus korona kian bertambah banyak. Dan saya sangat marah dengan poin kedua, di mana orang-orang masih pada ngeyel, terutama para korporat teguh bersikeras hati mengejar keuntungan yang ditargetkan. Bisa-bisanya di tengah ancaman wabah virus korona mereka tak mau ambil pusing dengan himbauan yang ada.

Apa itu tandanya bahwa pemerintah kita cukup gugup untuk menginterupsi kelakuan para korporat nakal di negeri ini?

Saya dan beberapa teman saya masih diwajibkan masuk kantor oleh pihak Bank yang notabenenya masih milik negara (BUMN), sialnya Bank itu melabeli dirinya sebagai Bank Islamiah al atau bin paling tersyar'i sejagat nusantara. Padahal kami sejatinya adalah warga negara, dan hanya sekadar mahasiswa praktik yang juga masih sangat-sangat terikat dengan kebijakan Universitas tempat kami kuliah.

Kampus tempat kami kuliah telah mengeluarkan kebijakan serupa, menindaklanjuti kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pihak pemerintah. Proses perkuliahan dialihkan ke rumah, dilangsungkan melalui media daring. Jadwal praktik harus diatur ulang. Tetapi pihak Bank tersyar'i sejagat, tempat kami praktik, ogah peduli soal himbauan pemerintah. "Harus tetap masuk," kata mereka.

Kasus itu saya ajukan sebagai ilustrasi, bahwa ketidakpedulian atas himbauan serta situasi yang ada, masih terjadi, dan pastinya ada di banyak wilayah. Apakah kondisi semacam itu belum cukup sebagai penanda gagalnya kebijakan social distancing serta ketidakseriusan pemerintah dalam mengendalikan laku manusia Indonesia di tengah merebaknya wabah, bahkan ancaman kematian?

Kemarin, seorang senior mengirimkan saya sebuah rekaman yang berisi suara dari seorang perawat, tapi mungkin dokter. Entahlah. Yang pasti, dia perempuan. Dalam rekaman itu, perawat atau dokter tersebut menangis tersedu-sedu. Ia meminta dengan sangat pada keluarganya untuk jangan keluar rumah.

"Ma, Pa, jangan keluar rumah dulu. Di R.S Hasan Sadikin sudah ada yang meninggal—pasien dan residen anastesi atau mahasiswa yang sedang kuliah—dan itu teman kami sendiri," tuturnya dicampuri deru tangis dalam rekaman itu.

Di saat-saat seperti ini, mendengar seorang perawat atau dokter menangis, perasaan saya campur aduk. Rasanya mau ikut menangis bersamanya, kalau bisa. Tapi tanpa bersamanya, saya tetap menangis, seorang diri. "Keluarganya pasti sangat mencemaskan keadaanya," pikir saya saat itu.

Saya pribadi sangat mencemaskan kondisi teman-teman medis. Mereka pertaruhkan nyawa mereka sendiri hanya untuk menyelamatkan nyawa orang lain yang belum tentu mereka kenal. Mari kita doakan keselamatan mereka, semoga tetap sehat.

Seiring bertambahnya jumlah korban akibat virus korona, dan melihat perjuangan pekerja medis mempertaruhkan nyawa mereka untuk menyelamatkan kita semua, namun masih saja ada banyak sekali orang-orang yang nakal di luar sana dan mengacuhkan himbauan-himbauan serta situasi krisis yang nyata, sungguh mengiris-ngiris naluri.

Dengan begitu, saya rasa, social distancing tak lagi relevan sebagai jurus untuk menahan gerak laju wabah yang kian massif. Penjerakan sosial atau social distacing telah terbukti gagal.

Situasi saat ini semakin sulit. Peralatan dan terutama tenaga medis yang kita punya sangatlah terbatas. Kita juga harus menolong pekerja medis, ini demi kita semua. Mari saling tolong-menolong. Saatnya kita mengunci pintu rumah, bukan lagi sekadar mengambil jarak di lingkungan sosial. Please, lockdown right now!

Terakhir, bila lockdown, pemerintah jangan tinggal diam. Jangan biar seorangpun senang dan menang sendiri. Ini musibah bersama. Saatnya kita semua kembali ke akar, ke dasar perjuangan memerdekakan republik ini, yakni senasib sepenanggungan.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya