Gaya Pemikiran Filsafat Nietzsch dan Konsep Ubermensch

Uber pada Ubermensch mempunyai peran yang menentukan dalam membentuk keseluruhan makna ubermensch, dimana penekanan penting di sini ada pada kehendak untuk berkuasa sebagai semangat untuk mengatasi atau motif-motif untuk mengatasi diri. Ubermensch adalah cara manusia memberikan nilai pada dirinya sendiri tanpa berpaling dari dunia dan menengok ke seberang dunia, sehingga Nietzsche tidak lagi percaya akan bentuk nilai adikodrati dari manusia dan dunia, dan pemberian makna hanya dapat dicapai melalui Ubermensch (Nanuru, 2017: 3). Sehingga dapat dikatakan bahwa gaya pemikiran filsafat khususnya konsep Ubermensch ini adalah sebuah upaya untuk menjadi manusia yang bernilai dan dominan pada segala sesuatu untuk berkuasa dalam setiap aspek atau struktur kehidupan.
Selain konsep Ubermensch, penulis juga mengungkapkan berbagai pemikiran filsafat dari Nietzsche yakni kehendak kuasa (Will to Power), moralitas utama dan moralitas budak, kekembalian yang sama secara abadi, nihilism dan konsep kebenaran. Inilah pemikiran yang dikembangkan oleh Nietzsche yang pada dasarnya bermula bahwa ia ingin mencari dan mengungkap sesuatu mengenai kehidupan pada zamannya dan sampai saat ini pemikiran Nietzsche ini masih relevan bahkan kerapkali terjadi pada setiap pribadi yang dalam arti tertentu mencari status dan jati dirinya sebagai manusia. Maka, konsep-konsep yang dikemukana oleh Nietzsche juga dalam artian mengingatkan kita pada jati diri yang sebenarnya apakah kita sampai saat ini ragu akan diri sendiri dan tujuan yang sudah kita rencanakan apakah sungguh membawa kebahagiaan pada diri sendiri dan orang lain.
Pemahaman mengenai tingkah laku atau tindakan yang dilakukan oleh manusia disebut dengan kehendak, yang berimplikasi dari hukum moral dengan sumbernya berupa kebebasan(Wafi & Firdausiyah, 2022: 105). Orang yang memiliki kehendak, tentunya menggerakkan untuk mewujudkan apa yang sesuai ia alami dan rancangkan. Dengan demikian, kehendak membantu manusia untuk mengalami kesadaran dan keaktifan dalam berinteraksi dengan sesama demi mewujudkan tujuannya.
Kehendak Kuasa (Will to Power) adalah sebuah esensi yang ada, bukan dalam arti metafisis atau kausal, melainkan dalam arti konsepnya Nietzsche (A. Setyo Wibowo, 2021: 297). Kehendak Kuasa yang semangat dalam metode menganalisis juga dapat dipandang kausalitas namun kausalitas Kehendak Kuasa bukanlah seperti sebab akhir yang biasa dibayangkan. Sebab ia bukanlah sebuah titik pijak pejal yang fixed. Kehendak Kuasa sebagai cause sejauh effectnya juga pada kehendak itu sendiri. Kehendak Kuasa dapat dikatakan cause jika pengaruh kehendak itu diawali dari diri sendiri tanpa adanya pengaruh dari orang lain. Maka, menurut Nietzsche, Will to Life (keinginan untuk hidup) ada karena adanya Will to Power (kehendak untuk berkuasa) (Wibowo,2021: 14).
Kehendak Kuasa adalah sebab yang tidak mampat, yang bergerak dan sebuah identitas yang bergerak, yang mengandungi dalam dirinya sendiri pluralitas, di mana kesatuan identitas akan muncul selalu bersifat sementara karena hal itu ia juga tunduk pada setiap dinamika tegangan antara unsur yang secara spesifik tidak akan berhenti. Dapat dikatakan bahwa Kehendak Kuasa juga disebut sebuah energi yang senantiasa bergelut dan bergumul dalam kehidupan manusia baik dalam jiwa dan batinnya, sehingga hal itu menciptakan kehidupan baru. Nietzsche melihat dunia sebagai arena di mana setiap makhluk hidup terdorong oleh Kehendak untuk Berkuasa, sebuah dorongan fundamental untuk mendominasi, mengatasi kelemahan, dan mencapai kekuatan tertinggi.
Kehendak Kuasa sebuah tantangan antara diri sendiri dan dimana diri tinggal, dan karena itu kekuatan akan bertolak-belakang dan menjadi tidak spesifik. Penjelasan kekuasaan akan menjadi representasi yang tidak dapat dikatakan seorang individu. Namun, itu akan menjadi sesuatu yang ada di dalam diri manusia yang hidup dan bergerak adanya (Wiguna, 2023:11). Konsep ini memungkinkan manusia untuk lebih melihat secara leluasa tentang dirinya, sehingga memungkinkan seseorang untuk kritis dalam memahami dirinya baik kondisi yang dapat dijangkau oleh kehendak diri sendiri.
Selain itu, Nietzsche membagi moralitas ini ada 2 yakni moralitas utama dan moralitas budak. Moralitas utama adalah nilai-nilai moral yang diciptakan oleh manusia sendiri, yang mereka anggap sebagai perbuatan baik (Cahyanto, 2023: 84). Moralitas utama ini menekankan bahwa dengan adanya dasar dan tujuan yang baik, tentunya hal itu dapat dikatakan baik. Sehingga para ahli moral mendefiniskan bahwa moralitas mereka adalah bersifat universal. Selain itu, moralitas utama juga dikatakan sesuatu nilai yang berharga dan tertinggi karena dengan adanya pencapaian dalam berbuat atau bertindak dengan dasar kebaikan dan tujuan yang jelas serta moralitas utama juga disebut moralitas tuan. Moralitas tuan ini tidak menunjukkan bagaimana orang itu harus berperilaku, melainkan bagaimana orang (tuan) itu yang seharusnya berperilaku. Oleh karena itu, tindakannya adalah sebuah akhlak yang sejati khususnya dalam kepemimpinan.
Moralitas budak adalah bukan sebuah tindakan yang dilakukan oleh kemauan sendiri namun dari tuannya. Hal ini dapat dibayangkan bahwa seorang budak tentu memiliki tuan yang harus dipatuhi permintaannya, sehingga hal itu menunjukkan siapa yang memiliki wewenang di atas dan siapa yang memiliki wewenang di bawah. Namun moralitas budak memiliki kasih sayang sejati. Ia tidak memiliki kedaulatan diri, kekuasaan dan kemandirian, namun memiliki kebaikan dan kerendahan hati terhadap kasta yang lebih rendah (Cahyanto, 2023: 90). Bagi Nietzsche, orang yang memiliki mentalitas budak adalah orang pelarian di dunia ini yang merasakan kehampaan dan ketiadaan segala sesuatu dalam hidupnya. Dalam hal ini moralitas adalah ekspresi dari kehendak untuk berkuasa. Di mata Nietzsche, moralitas sesuatu yang mengekspresikan kehendak untuk berkuasa dari kerumunan (herd) yang bermental budak. Mental budak dari moralitas kerumunan ini mendapatkan perlindungan dan diafirmasi, yang terkuat, oleh Kekristenan (Indrajaya, 2010: 213).
Dalam moralitas tuan, segala yang baik senada dengan ningrat, sedangkan yang tidak baik senada dengan rendah. Mereka yang dianggap hina dan rendah merupakan 3 kumpulan manusia yang tidak mampu melampaui dirinya sendiri, yang selalu merendahkan dirinya, karena menurut Nietzsche, moralitas yang benar-benar terhormat itu tumbuh dan berkembang dari suatu proses penguasaan diri (Ramdani, 2018: 2-3).
Moralitas tuan juga disebut sebagai dasar pada seseorang yang memiliki wewenang dan hak dalam berekspresi sehingga mentalitas tersebut menjadi banyak perhatian khususnya menjunjung nilai moral pada dirinya. Maka, moralitas tuan adalah sebuah pemikiran yang hanya pada golongan terkemuka atau tertentu.
Menurut Fritz nilai-nilai itu sebenarnya muncul dari ‘moralitas budak’, di mana seorang budak tidak langsung memahami kebaikan dari yang kuat, dia selalu meragukan dan tidak mempercayai segala sesuatu yang dianggap yang kuat sebagai sesuatu yang ‘baik’(Hukmi, 2020: 4)
Nietzsche percaya bahwa sesuatu tidak ada kehidupan abstrak yang diluar kehidupan ini. Kehidupan yang terjadi adalah sebuah kehidupan yang sekarang, oleh karena itu kita harus menjadikan kehidupan yang sekarang ini baik adanya. Sesuatu yang tumbuh di luar diri manusia harus ditolak dan diretas yang membuat hidup menjadi indah dan menyenangkan. Menurutnya, individu pada akhirnya akan kembali sebagai orang yang sama. Keyakinan ini adalah keyakinan yang muncul ketika seseorang melepaskan sepenuhnya kecenderungan entitas di luar manusia. Manusia akan kembali dan terus menjadi manusia yang sekarang. Hal ini mendorong manusia untuk menjadi baik dan terus menjadi baik untuk memperoleh kehidupan (Human Will to Power).
Dalam pandangan Nietzsche, ketidakberakhiran bukanlah suatu penindasan terhadap keberadaan, tetapi sebaliknya yaitu persetujuan terhadapnya. Keberadaan itu ada tanpa syarat dan tetap terus ada sampai akhir (Muttaqin, 1970: 3). Persetujuan terhadap keberadaan manusia tidak lain adalah meyakini keadaan apa adanya yang bahwa sesungguhnya memiliki potensi besar untuk memaknai hidup dan kehidupan tanpa ada pegangan dan jaminan kepastian dari hal-hal yang berada di luar eksistensi dan ekspektasi manusia yang selalu berangan-angan. Konsep ini adalah sebuah hal yang membuka wawasan dalam berpikir dan mendorong kita untuk semakin memahami diri sendiri dan mengutamakan tugas serta kewajiban kita nantinya.
Artikel Lainnya
-
3001/10/2025
-
29922/03/2024
-
94504/01/2023
-
Hegemoni Globalisasi, Kaum Muda dan Pengembalian Citra Identitas Budaya Lokal
183415/04/2020 -
Covid-19 dan Ketika Semua Jadi Presiden
166512/04/2020 -
Legitimasi Praktik Kekerasan di Masyarakat Meto
50009/11/2022