Gangguan Mental: Stigma Masyarakat dan Upaya Penyembuhannya

Isu gangguan mental tidak pernah habis diperbincangkan dengan teman saya. Berdasarkan perbincangan tersebut, saya tidak menyangka bahwa gangguan mental sangat melekat dalam kehidupan kami.
Gangguan mental diartikan sebagai penyakit yang mempengaruhi emosi, pola pikir dan perilaku penderitanya. Gangguan mental sangat beragam jenisnya, misalnya gangguan kecemasan, gangguan bipolar, Borderline Personality Disorder (BPD), skizofrenia dan lain sebagainya.
Faktor utama individu mengalami gangguan mental beragam. Beberapa faktor yang menyebabkan individu mengalami gangguan mental adalah faktor biologis dan faktor psikologis.
Secara biologis, individu mengalami gangguan mental akibat kerusakan fungsi sel saraf otak, kelainan bawaan, cedera otak dan kekurangan nutrisi. Sedangkan, secara psikologis, gangguan mental dipengaruhi oleh pengalaman traumatik di masa lalu seperti mengalami bullying, korban broken home dan lain sebagainya.
Pada tahun 2009, World Health Organization (WHO) memprediksi 450 juta orang di dunia mengalami gangguan mental. Sebanyak 10% orang dewasa mengalami gangguan mental. Lebih lanjut, gangguan mental tidak hanya dialami oleh orang dewasa, tetapi juga dialami oleh kaum remaja. Persentase kaum remaja yang berpotensi mengalami gangguan mental sebanyak 25%.
Meningkatnya angka penderita gangguan mental di dunia memberikan efek negatif bagi penderitanya. Melihat kondisi tersebut, WHO menjadikan isu gangguan mental sebagai isu global. Namun demikian, isu tersebut seringkali disalahartikan oleh publik dan dinilai ‘tabu’ dibicarakan.
Semasa kuliah dulu, saya dan teman saya pernah membicarakan isu ini. Teman saya menuturkan bahwa individu yang mengalami gangguan mental telah terkena ‘guna-guna’ atau ‘ilmu hitam’. Lantas saya terkejut mendengarkan perkataan teman saya tersebut. Kemudian, saya pun meresponnya dengan canda-tawa sambil mencari tahu kebenaran isu gangguan mental melalui jurnal ilmiah.
Menelisik perkataan teman saya dan informasi yang saya dapatkan melalui jurnal ilmiah, saya pun mempercayainya. Memang benar yang dikatakan oleh teman saya bahwa beberapa masyarakat di Indonesia menganggap gangguan mental tergolong ‘penyakit kutukan’ atau ‘kerasukan roh jahat’. Diperparah lagi, individu yang mengalami gangguan mental diisolasi oleh kerabat terdekat dengan cara dipasung.
Pada ranah media sosial, isu ini dinilai terkesan berlebihan dan penuh kebohongan, misalnya ditunjukkannya unggahan foto individu melakukan self-diagnosis dan unggahan foto surat bunuh diri (suicide note).
Stigma gangguan mental masih melekat dalam lingkungan kami. Hal ini dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya jika individu melakukan terapi mental ke psikolog atau psikiater, maka individu yang bersangkutan dianggap ‘gila’.
Alih-alih mendapatkan pertolongan secara medis, para penderita gangguan mental pada akhirnya melakukan tindakan tidak rasional seperti bunuh diri atau minum obat penenang tanpa petunjuk ahli yang bersangkutan.
Membicarakan persoalan gangguan mental, saya teringat tulisan Arman Dhani di laman geotimes.co.id bertajuk ‘ Kesehatan Mental Usaha Menghapus Stigma Di Dalamnya’. Dituliskan bahwa gangguan mental merupakan salah satu permasalahan kesehatan dengan biaya yang mahal. Hal tersebut ditunjukkan dengan mahalnya biaya konsultasi dan jenis obat yang harus diminum oleh penderitanya.
Selain membutuhkan biaya yang mahal, cara menyembuhkan gangguan mental bagi saya bukanlah perkara mudah. Menyembuhkan penderita gangguan mental, membutuhkan juga proses yang cukup lama. Hal tersebut tergantung pada jenis gangguan mental si penderita.
Secara medis, gangguan mental dapat dipulihkan melalui tiga macam cara yaitu medikasi, psikoterapi dan terapi stimulasi otak. Pertama, medikasi. Metode penyembuhan ini dapat diartikan juga sebagai terapi biologis yaitu dengan cara mengembalikan keseimbangan neurotransmitter yang terganggu. Lebih lanjut, metode ini berfungsi untuk mengatur saraf otak.
Kedua, melalui psikoterapi. Metode kedua berkaitan dengan aspek psikologis penderita. Dalam metode ini, penderita gangguan mental diajarkan untuk mengubah cara berfikir, mengatur emosi dan mengatasi masalah dengan cara yang efektif. Perlu diketahui juga bahwa metode psikoterapi membutuhkan waktu yang berkala.
Ketiga, terapi stimulasi otak. Terapi ini dilakukan dengan cara perangsangan area otak dengan menggunakan impuls listrik.
Selain membutuhkan pertolongan secara medis, penderita gangguan mental juga memerlukan pemulihan dari berbagai aktor dan lembaga. Peranan dari lembaga tertentu sangat penting untuk memberikan edukasi mengenai isu gangguan mental. Salah satu aspek edukasi tersebut adalah mempelajari penanganan bagi penderita gangguan mental.
Sebagai orang yang peduli kepada penderita gangguan mental, cobalah untuk menjadi pendengar dan sahabat yang baik bagi mereka. Kemudian katakan ‘kamu berarti bagi saya dan saya peduli dengan kamu’ bukan menyebutkan ‘santai aja lagi saya juga depresi seperti kamu’. Maka dari itu, dalam rangka menyambut hari kesehatan mental sedunia yang jatuh pada tanggal 10 Oktober mendatang, saya mengajak anda menjadi pendengar sekaligus sahabat bagi penderita gangguan mental bukan memberikan stigma kepada mereka.
Artikel Lainnya
-
11406/07/2025
-
178728/04/2021
-
87626/09/2024
-
Logika Mistika: Warisan Pemikiran Penghambat Kemajuan Islam di Indonesia
78901/03/2025 -
Kiat Sukses Beternak Politikus
164622/11/2020 -
Menilik Kekerasan Seksual dari Perspektif Psikoanalisis
384919/02/2022