Distorsi Amanat Reformasi

Dosen Ilmu Komunikasi, dan Kepala Pusat Kajian Gerakan Bersama Antikorupsi (PK Gebrak) UNP
Distorsi Amanat Reformasi 26/09/2024 477 view Politik cnnindonesia.com

Meskipun Bulan Mei telah lewat, namun tidak ada salahnya kita merenung dan introspeksi terhadap makna serta capaian gerakan Reformasi yang sudah dirintis sejak 21 Mei 1998 lalu. Momen ini menandai berakhirnya era Orde Baru dan membuka jalan bagi demokratisasi di segala bidang. Harapan akan pemerintahan yang lebih transparan, demokratis, dan bebas dari korupsi begitu menggebu saat itu. Namun, setelah lebih dari dua dekade, apakah janji-janji tersebut benar-benar sudah terwujud?

Reformasi, yang dimulai dengan penggulingan Presiden Soeharto, tak pelak membawa berbagai perubahan signifikan dalam struktur politik Indonesia. Pemilihan presiden dan kepala daerah secara langsung, pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta Mahkamah Konstitusi (MK), dan jaminan kebebasan pers adalah beberapa capaian utama yang diharapkan mampu mengubah wajah otoritarianisme di era sebelumnya. Namun, realitas yang kita hadapi saat ini menunjukkan bahwa capaian-capaian tersebut tercederai dan mengalami distorsi.

Banyak hal distortif sekaligus manipulatif yang menggejala pasca Reformasi 1998. Salah satu sektor yang tak henti disorot adalah masalah korupsi. Meski berbagai lembaga seperti KPK didirikan untuk memerangi korupsi, praktik korupsi masih merajalela. Data terbaru menunjukkan bahwa korupsi terus menggerogoti berbagai sektor, bahkan lembaga-lembaga anti korupsi itu sendiri tidak luput dari masalah. Penurunan signifikan kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga ini, sebagaimana diungkapkan dalam survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada tahun 2024, mencerminkan adanya krisis integritas yang parah.

Ketimpangan sosial dan ekonomi juga menjadi masalah yang terus mengemuka. Walaupun terdapat upaya untuk mendistribusikan kekayaan dan pembangunan secara merata, kenyataannya adalah kekayaan nasional masih terakumulasi pada segelintir individu. Laporan dari Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) pada tahun 2023 mengungkapkan bahwa 1% teratas populasi menguasai lebih dari 30% kekayaan nasional. Kesenjangan yang semakin lebar ini menunjukkan bahwa reformasi belum berhasil menciptakan pemerataan sosial.

Kemunculan kaum oligarki baru adalah fenomena penting yang patut dicermati, dan ini sedikit banyak memperkuat gejala terdistorsinya amanat Reformasi. Ironisnya. Tak sedikit di antara individu-individu yang kini berada di tampuk kekuasaan merupakan mantan aktivis reformasi yang dulu vokal memperjuangkan perubahan. Kini, mereka memegang posisi-posisi penting dalam politik dan bisnis, bertukar peran sebagai menjadi penghuni posisi-posisi kekuasaan yang strategis. Pergeseran dramatis ini menunjukkan paradoks: orang-orang yang dulu melawan kekuasaan kini menjadi bagian dari sistem kekuasaan (korup) itu sendiri.

Situasi ini menimbulkan pertanyaan serius tentang integritas dan konsistensi gerakan reformasi. Ketika mantan aktivis yang dulu berjuang melawan ketidakadilan mulai terlibat dalam praktik-praktik yang bertentangan dengan nilai-nilai yang mereka perjuangkan, kepercayaan publik terhadap reformasi menjadi goyang. Ini bukan hanya soal individu, tetapi soal sistem yang memungkinkan konsentrasi kekuasaan dan kekayaan pada segolongan orang yang pada gilirannya memperparah ketidakadilan sosial.

Berkaca pada apa yang menonjol terjadi sepanjang 2024, beberapa peristiwa penting menunjukkan pula bagaimana amanat reformasi kerap dilanggar. Kasus pertama yang mencolok adalah penangkapan terhadap beberapa pejabat tinggi pemerintah dan pengusaha terkemuka dalam operasi korupsi besar-besaran. Di antara mereka adalah anggota DPR yang terlibat dalam skandal suap dan gratifikasi yang melibatkan mega-proyek.

Selain itu, konflik agraria juga eksis sepanjang tahun 2024 semakin memperlihatkan ketidakadilan struktural. Beberapa laporan dari kelompok masyarakat sipil menunjukkan bahwa penggusuran paksa terhadap komunitas adat terjadi di berbagai daerah untuk memberikan jalan bagi proyek-proyek bisnis besar. Konflik-konflik ini tidak hanya menyalahi prinsip-prinsip reformasi yang mengutamakan hak-hak dasar manusia, tetapi juga mencerminkan ketidakmampuan pemerintah melindungi hak-hak kelompok marjinal.

Krisis lingkungan juga menjadi masalah serius kurun 2024, memperkeras alarm bahwa amanat Reformasi mengalami distorsi. Meski spirit reformasi membawa harapan akan pengelolaan lingkungan yang lebih baik, deforestasi dan kerusakan ekosistem terus berlangsung dengan pesat. Kasus kebakaran hutan yang melanda beberapa wilayah di Kalimantan dan Sumatera menunjukkan lemahnya penegakan hukum terhadap praktik-praktik ilegal yang merusak lingkungan.

Krisis hak asasi manusia juga tak kalah menyedihkan. Sepanjang 2024, beberapa laporan internasional menyoroti pelanggaran hak asasi manusia yang melibatkan penahanan sewenang-wenang dan pelanggaran kebebasan berekspresi. Media independen dan jurnalis yang berusaha mengungkap kasus-kasus korupsi dan pelanggaran hak asasi mengalami tekanan dan intimidasi. Situasi ini menunjukkan bahwa kebebasan pers, yang merupakan salah satu pilar reformasi, masih terancam.

Fenomena pemaksaan kehendak UU Mahkamah Konstitusi (MK) tentang batas minimal calon wakil presiden juga mencerminkan pelanggaran serius terhadap amanat reformasi. UU tersebut secara drastis menetapkan perubahan batasan usia bagi calon wakil presiden, yang jelas-jelas memperlihatkan pengaruh dinasti politik dan hegemoni otoritarianisme.

Kebijakan ini bukan hanya mempersempit ruang bagi calon-calon pemimpin baru dan independen untuk berkompetisi, tetapi juga memperkuat posisi kelompok-kelompok tertentu yang telah menguasai kekuasaan politik di Indonesia. Dengan adanya batasan ini, calon-calon dari dinasti politik yang sudah mapan mendapatkan keuntungan yang tidak proporsional dibandingkan dengan calon independen yang tidak memiliki akses ke sumber daya dan dukungan politik yang sama.

Lebih jauh, pelbagai laku distortif dan pengkhianatan terhadap agenda dan amanat reformasi disinyalir merupakan upaya sistematis untuk mempertahankan kekuasaan sekaligus menghilangkan potensi “ancaman” dari para pembaharu yang tetap kritis. Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip reformasi yang mengedepankan prinsip perubahan, demokrasi dan keadilan.

Dalam perspektif ini, penting untuk memahami bahwa reformasi tidak seharusnya dianggap sebagai momen tunggal an sich yang kelahirannya dirayakan secara tanpa makna dan minim refleksi serta introspeksi. Sebaliknya, penting menafsirkan momen peringatan reformasi sebagai sarana memperkuat dan mengembangkan fungsi pengawasan, kritik konstruktif, dan koreksi komprehensif terhadap segala ketimpangan dan penyimpangan.

Jika hanya memaknai reformasi sebagai momen seremonial, maka kita berisiko terjebak dalam siklus perayaan tanpa substansi. Padahal, sejatinya semangat reformasi merupakan titik awal dari sebuah perjalanan yang terus berlanjut, di mana setiap aspek kehidupan dan pranata sistem politik senantiasai diawasi, evaluasi dan koreksi. Tanpa paradigma ini, kita akan terus terperangkap dalam siklus perayaan yang tidak berdampak pada pencerahan.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya