Redefinisi Demokrasi dan Nasionalisme Nusantara

Peneliti di Indonesia Democratic (IDE) Center
Redefinisi Demokrasi dan Nasionalisme Nusantara 06/07/2025 114 view Politik Generated Chat GPT

Di balik jargon demokrasi dan HAM, luka kemanusiaan terus menganga. Pergumulan kemanusiaan berdarah di Palestina, diindikasikan kuat sebagai praktik genosida oleh Francesca Albanese, Pelapor Khusus PBB, dalam laporannya Anatomy of a Genocide (2024). Di waktu yang sama, sekitar tiga minggu lalu, eskalasi ketegangan meningkat antara Israel dan Iran yang melibatkan Amerika Serikat, secara telanjang menyingkap kontradiksi fundamental dalam klaim universalitas demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) Barat.

Bagaimana mungkin negara-negara adikuasa, yang secara retoris menjadi penopang nilai-nilai tersebut, justru memberikan dukungan tanpa batas kepada sebuah entitas yang terus didokumentasikan melakukan pelanggaran HAM berat?

Standar Ganda dan Dominasi Global

Kesenjangan moral ini bukan sekadar kegagalan etika sesaat; ia adalah manifestasi dari struktur kekuasaan global yang lebih dalam. Dalam konteks yang penuh kontradiksi inilah, nasionalisme khas Nusantara menjadi krusial untuk meredefinisi demokrasi di Indonesia, mengukuhkannya sebagai perisai terhadap standar ganda global.

Secara ontologis, gagasan universalitas demokrasi dan HAM mengandaikan penerapan yang konsisten dan tanpa syarat. Jika hak untuk hidup, martabat, dan penentuan nasib sendiri adalah melekat bagi setiap individu, maka perlindungan terhadap rakyat Palestina seharusnya setara dengan perlindungan terhadap kelompok lain.

Sayangnya, respons Barat terhadap tragedi di Gaza — ditandai oleh kebungkaman moral atau bahkan dukungan aktif terhadap Israel — mengekspos anomali etis yang mencolok. Immanuel Kant dalam karya klasiknya Groundwork of the Metaphysics of Morals (1785), yang dalam beberapa tulisan Indonesia dikenal sebagai Landasan Metafisika Moral, menegaskan bahwa prinsip moral universal hanya sah jika diterapkan secara konsisten—tanpa kecuali dan tanpa standar ganda.

Analisis semacam ini menemukan resonansi kuat dalam kerangka Neo-Gramscian. Gagasan ini berakar pada pemikiran Antonio Gramsci, sebagaimana dikembangkan dalam Selections from the Prison Notebooks (1971), di mana ia menjelaskan bahwa dominasi global tidak hanya dibentuk melalui kekuatan koersif, tetapi juga melalui hegemoni ideologis — yaitu kemampuan aktor hegemonik untuk membentuk norma, nilai, dan narasi sebagai “akal sehat” yang diterima luas dalam masyarakat.

Robert W. Cox, tokoh penting dalam pendekatan Neo-Gramscian hubungan internasional, pernah menyatakan dalam tulisannya pada 1981 bahwa “teori selalu untuk seseorang, dan untuk suatu tujuan.” Dalam konteks ini, retorika HAM dan demokrasi Barat berfungsi sebagai perangkat ideologis yang melayani dan melanggengkan tatanan dunia yang menguntungkan kekuatan-kekuatan hegemonik.

Dalam krisis Palestina, hegemoni ini memanifestasikan diri dalam pembingkaian narasi yang bias. Israel sering diposisikan sebagai "benteng demokrasi," atau tindakannya dibenarkan sebagai "pertahanan diri," meskipun pelanggaran HAM telah didokumentasikan secara luas oleh organisasi seperti Human Rights Watch dan Amnesty International sejak 2021. Eskalasi Israel–Iran juga ditempatkan dalam kerangka naratif ini; Iran distigmatisasi sebagai "ancaman destabilisasi", sembari mengabaikan konteks agresi yang memprovokasi respons Iran, sehingga mengaburkan akar konflik yang sesungguhnya.

Post-Kolonialisme Vs Dekolonialisme

Wacana post-kolonial dan dekolonial membantu menjelaskan bahwa krisis kemanusiaan seperti di Palestina bukanlah penyimpangan, melainkan bagian dari warisan kolonial yang masih aktif bekerja. Aliran pemikiran ini, berpondasi pada kritik tajam terhadap warisan penjajahan, melihat proyek kolonialitas tidak pernah benar-benar berakhir—ia hanya berganti rupa dalam sistem global hari ini.

Dalam karyanya yang monumental, Orientalism (1978), Edward Said menunjukkan bagaimana dunia Barat secara sistematis membentuk citra “Timur” sebagai yang asing, pasif, dan inferior. Pandangan ini bukan hanya mencerminkan bias, tapi menjadi dasar pembenaran atas dominasi politik, budaya, dan militer terhadap dunia Timur. Di Gaza hari ini, masyarakat global menyaksikan bagaimana warisan orientalisme itu masih hidup—dalam bentuk pembiaran terhadap kolonialisme pemukim, yang terus diberi legitimasi oleh kekuatan-kekuatan hegemonik.

Sejalan dengan itu, pemikir dekolonial seperti Walter Mignolo, melalui tulisannya Delinking: The Rhetoric of Modernity (2007), berargumen bahwa proyek modernitas Barat tidak dapat dipisahkan dari kolonialitas—sebuah sistem kekuasaan global yang muncul dari kolonialisme dan terus berlangsung meski dunia secara formal telah merdeka.

Dalam pandangan ini, dominasi global tidak lagi terjadi lewat penjajahan langsung, melainkan melalui jaringan nilai, pengetahuan, dan sistem politik-ekonomi yang tampak netral tapi sebenarnya sarat kontrol. Konsep ini dikenal sebagai matriks kekuasaan kolonial—sebuah struktur yang memaksakan standar tunggal dan digunakan untuk menundukkan peradaban lain yang berbeda.

Dalam konteks ini, sikap Iran yang menegaskan solidaritas terhadap perjuangan Palestina dapat dibaca sebagai bentuk delinking—sebuah pemutusan diri dari sistem kekuasaan global yang hegemonik. Alih-alih tunduk pada retorik dominan yang menyamakan perlawanan dengan terorisme, Iran mengambil posisi yang menantang tatanan geopolitik yang dikuasai oleh logika kolonialitas.

Tindakan ini bukan sekadar pilihan politik, melainkan upaya untuk menegaskan kembali kedaulatan—baik secara moral maupun strategis—tanpa harus mengikuti standar ganda yang diberlakukan oleh kekuatan hegemonik dunia. Di sinilah relevansi wacana dekolonial menjadi nyata, yakni memperjuangkan tatanan dunia yang pluriversal, di mana tidak ada satu pun sistem nilai yang secara sepihak mendefinisikan “kebenaran” global.

Nasionalisme Nusantara

Di titik inilah nasionalisme khas Nusantara menemukan signifikansinya yang mendalam. Bukan nasionalisme eksklusif atau sempit, melainkan bentuk kesadaran kolektif akan martabat dan kedaulatan—berakar pada pengalaman historis bangsa ini dalam menghadapi kolonialisme.
Nasionalisme ini bukan berarti menutup diri, melainkan membuka ruang solidaritas dengan bangsa-bangsa lain yang memiliki pengalaman tertindas yang serupa, terutama di kawasan Asia Tenggara dan Global Selatan.

Melihat kondisi global ini, Indonesia menghadapi dilema yang nyata. Demokrasi liberal — sebuah model yang sangat dipengaruhi oleh sistem politik Barat — seringkali diadopsi dengan keyakinan bahwa ia bersifat universal.

Sungguhpun begitu, paradoksnya, model yang sama ini, ketika dipraktikkan oleh negara-negara Barat, terbukti gagal dalam mengimplementasikan nilai-nilai universalnya sendiri di panggung global, terutama terkait Palestina. Hal inilah yang menimbulkan pertanyaan krusial apakah pondasi moral dan konsistensi nilai-nilai dasar demokrasi liberal memang dapat dipercaya, ketika ia begitu mudah dikompromikan oleh para arsiteknya demi kepentingan geopolitik.

Oleh karena itu, sudah saatnya Indonesia tidak lagi secara pasif mengadopsi model demokrasi dan HAM Barat yang terbukti ambivalen. Dengan demikian, momen ini sungguh krusial untuk meredefinisi demokrasi di Indonesia melalui bingkai nasionalisme khas Nusantara.

Demokrasi Indonesia harus melampaui formalitas dan jebakan liberalisme yang seringkali hanya berfokus pada prosedur. Sistem demokrasi yang dibangun tidak boleh bersandar pada model liberal secara esensial. Terkadang, gagasan yang terasa paling benar dari kelompok-kelompok pemuja liberal justru bisa menjadi malapetaka jika tidak disesuaikan dengan konteks dan realitas sosial-politik Indonesia.

Demokrasi harus secara substantif mewujudkan keadilan sosial dan ekonomi, memberantas korupsi struktural, serta menjamin perlindungan hak-hak fundamental bagi semua lapisan masyarakat, berakar pada prinsip musyawarah, gotong royong, dan keadilan yang hidup dalam spirit Nusantara.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya