Kajian Gender: Implikasi Pemisahan Santriawan dan Santriwati
Di era yang kompleks (saat ini), banyak orang yang seolah mencari tempat aman. Tempat aman sebagai alternatif untuk menemukan kebenaran. Karena kompleksitas di berbagai hal, kebenaran sering-kali menjadi bias. Kompleksitas dalam perkembangan sosial, banyak memunculkan isu-isu kekinian, termasuk isu tentang kesetaraan gender.
Pada awalnya, moral sosial masyarakat dibentuk oleh pemahaman intersubyektif suatu kelompok atau komunitas masyarakat. Berdasasrkan sejarah, pemahaman intersubyektif itu banyak diperankan oleh kaum lelaki. Sehingga tidak heran bila moral yang terbentuk adalah nilai yang ‘pro kaum lelaki’; inilah yang sering disebut sebagai peradaban patriarki.
Berbarengan dengan perkembangan isu kesetaraan gender, banyak orang tua yang memilih memondokkan anaknya ke pesantren sebagai alternatif untuk memberi tempat aman bagi anak-anak mereka di tengah kompleksitas zaman saat ini. Dengan alasan menyelamatkan anak dari dekadensi moral global, sebagian orang tua menganggap pesantren adalah plihan yang tepat.
Nilai moral dalam kesetaraan gender, tentu adalah kesetaraan antara lelaki dan perempuan di dalam sosial. Apakah moral yang dicita-citakan ini, dijamin sepenuhnya terlaksana di dalam dunia sosial pesantren? Memang benar menurut sejarah, bahwa yang dicita-citakan pesantren adalah mencetak generasi bermoral yang kuat memiliki basik keagaaman.
Dalam kajian gender yang terus bergulir hingga kini, ada sebuah hak perempuan yang terus “dikoar-koarkan” guna menjadi kesadaran bersama dalam sosial secara umum yakni, hak bagi peerempuan untuk berpartisipasi aktif dalam membentuk budaya. Hak tersebut sering menjadi kegelisahan para pemikir kesetaraan gender.
Yang diberi kesempatan terbatas untuk bergerak dalam sosial, tidak akan bisa berpartisipasi aktif membentuk budaya dalam sosial tersebut. Yang dianggap sebagai kelas bawah oleh suatu budaya, tidak akan bisa berpartisipasi aktif membentuk budaya.
Banyak pesantren di Jawa dan Madura (tidak perlu disebutkan namanya satu-persatu), memisah santriwan dan santriwati, sehingga ada label ‘komplek purtri’ dan ‘komplek putra’ begitupun semacamnya. Pemisahan santriwan dan santriwati ini bertujuan agar tidak terjadi ikhtilāṭ (membaur antara lelaki dan perempuan). Untuk tujuan ini, pemisahan tersebut dirasa sangat efisien.
Apa yang dirasakan santriwati ketika dalam sosial yang sama (yakni sosial pesantren) dan dengan status yang sama (yakni status santri), ia (santriwati) menyadari ada yang lebih bebas dari dirinya untuk bergerak yakni, santriwan? –sama halnya dengan yang dirasakan Fatima Mernissi dalam Harem ketika melihat banyak lelaki di luar bebas melangkah.
Pemisahan santriwan dan santriwati di pesantren cenderung memberi ruang gerak yang jauh lebih sempit terhadap santriwati dibanding dengan ruang gerak yang bisa dirasakan santriwan (lagi-lagi berdasarkan realita di banyak pesantren Jawa dan Madura). Sehingga pemberian porsi yang tidak sama semacam ini, mudah memberi kesan bahwa dengan porsi ruang gerak yang lebih terbatas santriwati berada “di bawah” santriwan dengan porsi ruang gerak yang lebih luas.
Pemisahan santriwan dan santriwati sangatlah mencolok dalam sosial pesantren. Sehingga kesan dari hal mencolok akan menjadi fundamental dalam benak santri, lalu akan mempengaruhi banyak hal: perilaku keseharian pola pikir dan seterusnya. Ketika kesan bahwa santriwati berada “di bawah” santriwan telah mengakar bahkan sudah dianggap sebagai hal biasa, para santri akan mudah menerima hal-hal misoginis.
Semisal hal misoginis yang memiliki kedekatan dengan pesantren, amalan-amalan berupa bacaan suatu ayat quran yang harus dilakukan dalam durasi (semisal) empat puluh hari secara continue. Amalan semacam ini jelas tidak pro terhadap santriwati, karena santriwati tidak mungkin membaca suatu ayat selama empat puluh hari sebab dalam durasi itu ia akan mengalami haid (di saat haid perempuan tidak boleh membaca ayat quran). Amalan semacam ini, jarang dipersoalkan karena santri sudah menerjemahkan bahwa santriwati berada di bawah santriwan –kasihan santriwati tidak bisa melakukan amalan semacam itu.
Di dalam berbagai term pengetahuan Islam, banyak hal secara sepintas dianggap sebagai misoginis (tanpa melakukan analisa lebih jauh lagi). Semisal, sebuah hadis: suatu kaum tidak akan menemukan keberuntungan bilamana mereka menyerahkan kepemimpinan terhadap perempuan. Orang yang menganggap perempuan berada di bawah lelaki, akan menerima hadis tersebut secara leksikal, sehingga akan lebih memilih lelaki bodoh daripada harus memilih perempuan yang piawai untuk menjadi pemimpin.
Padahal hadis di atas, memiliki historical text yang begitu penting guna memberikan pemahaman yang benar; bahwa hadis di atas adalah respon rasulullah terhadadp kekaisaran Romawi saat itu yang menyelesaikan konfliknya dengan solusi mengangkat seorang perempuan yang masih belum dewasa untuk menjadi pemimpin. Maka, hadis di atas bukan dalil untuk melarang perempuan jadi pemimpin ataupun melarang masyarakat untuk menjadikan perempuan sebagai pemimpin.
Semisal, pemahaman fikih yang membolehkan suami memukul istrinya yang nusyūz (tidak patuh terhadap suami) berdasarkan ayat “...faḍribūhunna wahjurūhunna fi al-maḍāji’i...” (QS. Al-Nisa: 34). Dalam fikih, dibolehkan memukul istri dengan pukulan yang tidak mubarriḥ. Tidak mubarriḥ sering diartikan ‘tidak mencederai’ atau ‘tidak membahayakan’. Sehingga dipahami (semisal) boleh mendamik punggung istri yang ngeyel karena mendamik tidak akan mencederai atau membahayakan anggota badan yang didamik.
Memukul istri nusyūz, sebenarnya kurang disukai atau tidak diperkenankan dalam fikih. Hanya karena kebiasaan memaknai mubarriḥ sebagai pukulan yang mencederai atau membahayakan, muncullah pemahaman seperti pada paragraf sebelumnya. Padahal, mubarriḥ secara leksikal berarti hal yang dapat menyakiti. Kalau dipikir ulang, mana ada pukulan yang tidak membuat sakit (tidak menyakiti)? Maka, pukulan yang tidak mubarriḥ adalah pukulan semacam menggunakan sehelai kain tipis atau menggunakan satu batang lidi.
Sebagai efek dari kesan yang diterima oleh keadaan sosial pesantren tentang santriwati berada di bawah santriwan, masih banyak dijumpai para santriwan menggojlok santriwati di saat mereka berpapasan (meskipun sudah ada keamanan pesantren) atau berada dalam satu forum.
Melihat keadaan yang demikian –jika tetap demikian realita dalam dunia sosial pesantren– dirasa sangat sulit menemukan partisipasi aktif santriwati dalam membentuk budaya dalam sosial pesantren, (sekali lagi) karena yang diberi kesempatan terbatas untuk bergerak dalam sosial, tidak akan bisa berpartisipasi aktif membentuk budaya dalam sosial tersebut. Yang dianggap sebagai kelas bawah oleh suatu budaya, tidak akan bisa berpartisipasi aktif membentuk budaya.
Maka diperlukan berbagai upaya melalui bidang pendidikan dan sistem sosial pesantren untuk membentuk kesadaran bersama tentang kesetaraan gender (khususnya dalam persoalan gender terkait pembahasan ini).
Artikel Lainnya
-
36224/08/2025
-
105515/10/2021
-
36920/01/2025
-
Revitalisasi Paradigma Kota Berekosistem
100026/01/2022 -
Catin dan Sertifikasi Pranikah
221123/12/2019 -
Politikus Selalu Saja Melempar Kotoran ke Muka Sendiri
170904/09/2020
