Filsafat Transendental Mulla Sadra

Dalam pemikiran Islam, khususnya melalui kontribusi Mulla Sadra, hubungan antara jiwa, tubuh, dan pencarian kesempurnaan spiritual dianalisis secara mendalam. Mulla Sadra memperkenalkan filsafat transendental yang menyoroti psikologi jiwa, tidak hanya dalam konteks filosofi tetapi juga dari sudut pandang soteriologis, yang mencakup penyelamatan jiwa manusia dalam kerangka kosmik. Salah satu inti pemikirannya adalah doktrin gerak substansial (harakat al-jawhariyya), yang menggambarkan jiwa sebagai substansi bertingkat yang mampu bertransformasi dari entitas jasmani menjadi eksistensi spiritual.
Doktrin ini memungkinkan jiwa untuk mengalami perubahan tanpa kehilangan identitasnya. Sadra memandang perubahan sebagai proses bertahap di mana bentuk baru muncul di atas bentuk sebelumnya. Dengan demikian, jiwa manusia menjadi entitas dinamis yang senantiasa berkembang melalui akuisisi pengetahuan dan pengalaman spiritual, berperan sebagai penggerak utama dalam realitas kosmik.
Kebahagiaan sejati (sa'adah) menurut Sadra terletak dalam persatuan dengan Intelek Aktif (‘aql fa’al), yang merepresentasikan pengetahuan Ilahi. Jiwa manusia, meskipun terperangkap dalam dunia material, memiliki kecenderungan untuk kembali kepada asalnya yang mulia. Namun, perjalanan ini menuntut usaha aktif dalam menghadapi tantangan eksistensial dan melaksanakan praktik spiritual agar dapat mencapai kebahagiaan hakiki dengan menyatu dengan intelek aktif.
Mulla Sadra menguraikan perjalanan jiwa manusia dalam karya utamanya, al-Asfar al-Arba‘a (empat perjalanan), yang menciptakan kerangka spiritual mendalam dengan menggabungkan filosofi dan mistisisme Islam. Perjalanan ini terdiri dari empat fase: dari ciptaan menuju Sang Pencipta, yang berfokus pada keesaan Tuhan; melalui Sang Pencipta, yang mengeksplorasi esensi-Nya; dari Sang Pencipta ke ciptaan, merenungkan sifat-Nya dalam konteks alam semesta; dan dari ciptaan ke ciptaan dengan Sang Pencipta, yang menyoroti takdir manusia dan hubungan antar makhluk. Kerangka ini menunjukkan bahwa perjalanan jiwa adalah bagian dari kosmos yang lebih besar, menjadikan jiwa sebagai aktor aktif menuju kesatuan dengan Tuhan.
Tahap awal adalah perjalanan yang berfokus pada pencarian eksistensi Tuhan sebagai sumber dari segalanya. Dalam perjalanan ini, manusia memulai dengan mengakui dirinya sebagai bagian dari makhluk ciptaan. Refleksi tentang kenyataan dunia material mengarah pada pemahaman akan keberadaan Sang Pencipta yang berada di luar segala sesuatu.
Pada langkah ini, pemahaman tentang Tuhan bukanlah pemahaman empiris, melainkan pemahaman intelektual dan metafisik. Seseorang berpindah dari mengamati tanda-tanda Tuhan di jagat raya menuju pemahaman yang mendalam tentang keesaan Tuhan (tawhid). Sadra menyatakan bahwa untuk mencapai hal ini, diperlukan kemampuan untuk melampaui perbedaan antara penciptaan dan keberadaan ilahi, sehingga manusia menyadari bahwa Tuhan merupakan asal dari segala eksistensi.
Fase ini mencerminkan pencarian fundamental setiap individu akan arti keberadaan dan tujuan hidup. Perjalanan ini memerlukan usaha untuk melepaskan keterikatan pada hal-hal material dan mengembangkan hubungan yang lebih intim dengan Tuhan sebagai tujuan utama.
Tahap kedua merupakan lanjutan dari perjalanan awal, namun dengan perhatian yang lebih mendalam terhadap hakikat dan inti dari Tuhan. Setelah menyadari adanya Tuhan, manusia didorong untuk mengerti karakteristik dan perbuatan-Nya. Perjalanan ini dilakukan "melalui Tuhan," karena hanya dengan petunjuk dan sinar ilahi seseorang dapat memahami misteri hakikat-Nya.
Pada tahap ini, manusia mendekati Tuhan melalui pemikiran yang mendalam tentang atribut-Nya, seperti cinta, keadilan, kebijaksanaan, dan kemuliaan-Nya. Sadra menegaskan bahwa ini bukan hanya pemahaman kognitif, melainkan juga pengalaman eksistensial yang mendalam. Roh manusia mulai menyadari bahwa Tuhan merupakan satu-satunya kenyataan hakiki, sedangkan segala hal lainnya adalah cerminan dari keberadaan-Nya.
Tahap ini membutuhkan tingkat spiritualitas yang tinggi, di mana manusia mulai menyesuaikan diri dengan kehendak Tuhan. Ia tidak hanya mencari Tuhan sebagai objek, tetapi juga menganggap Tuhan sebagai pusat dari seluruh pengalaman dan kenyataan.
Tahap ketiga merupakan perjalanan yang lebih praktis, di mana orang kembali dari pemikiran tentang Tuhan menuju hubungan dengan ciptaan. Akan tetapi, kembalinya manusia ke dunia tidak terpisah dari Tuhan, melainkan bersatu dengan-Nya.
Dalam perjalanan ini, manusia melihat ciptaan tidak lagi sebagai entitas yang terpisah, melainkan sebagai manifestasi dari sifat-sifat Tuhan. Roh yang telah mendapat pencerahan mulai menjalani hidupnya dengan keyakinan bahwa setiap tindakan, interaksi, dan kejadian di dunia adalah bagian dari rencana ilahi.
Tahap akhir dalam al-Asfar al-Arba‘a adalah renungan mendalam mengenai hubungan manusia dengan makhluk lainnya. Setelah menempuh perjalanan menuju Tuhan dan mengerti hakikat-Nya, manusia kembali sepenuhnya ke dunia ciptaan, namun dengan sudut pandang yang telah berubah secara signifikan.
Pada tahap ini, manusia merasakan dirinya sebagai elemen penting dari keseluruhan ciptaan Tuhan yang lebih luas. Ia tidak hanya terhubung dengan Tuhan, tetapi juga dengan sesama manusia, lingkungan, dan makhluk lainnya, dengan kesadaran bahwa setiap ciptaan memiliki nilai intrinsik sebagai bagian dari realitas ilahi.
Tahap ini menekankan harmoni alam semesta, di mana setiap orang mengambil peran aktif dalam mempertahankan keseimbangan dan keadilan di dunia. Hubungan dengan makhluk lain tidak lagi berlandaskan pada egoisme, melainkan pada kasih dan tanggung jawab yang berasal dari kesadaran ilahi. Perjalanan ini menggambarkan pencapaian sejati manusia, di mana ia tidak hanya mendekatkan diri kepada Tuhan, tetapi juga menjadi sarana kasih dan kehendak Tuhan dalam dunia.
Mulla Sadra juga membahas imajinasi dan kehidupan setelah mati, melihat imajinasi sebagai jembatan antara dunia material dan spiritual. Imajinasi tak hanya fenomena psikologis tetapi juga berpotensi kreatif, terwujud dalam mukjizat nabi. Di kehidupan setelah mati, jiwa menciptakan tubuh berdasarkan niat dan perbuatan selama hidup, tubuh yang bukan material melainkan manifestasi dari spiritualitas. Ia menolak reinkarnasi, menggunakan analogi "pantulan di cermin" untuk menjelaskan pengembangan jiwa.
Namun, psikologi Mulla Sadra menghadapi kritik. Pandangannya yang bergantung pada asumsi metafisik sulit diterapkan dalam konteks empiris, dan hierarki spiritualnya bisa dianggap tidak selaras dengan egalitarianisme modern. Meski demikian, filosofi Sadra tetap relevan dalam diskusi mengenai hubungan antara sains, agama, dan filsafat, menawarkan pandangan holistik tentang eksistensi manusia.
Artikel Lainnya
-
166115/10/2019
-
191215/05/2023
-
27707/04/2024
-
Pemutakhiran DTKS Sebagai Katalisator Pengentasan Kemiskinan
102808/03/2022 -
Membumikan Kesadaran Tentang Aku di Tengah Pandemi
102824/08/2021 -
Thrifting: Evolusi dari Hemat Menjadi Simulasi Konsumerisme
42007/12/2023