Etika, Konflik Moral, dan Sinetron Indonesia
Kita hidup di zaman pancaroba, di kala perubahan sosial budaya dan moral kerap dimanfaatkan oleh para penipu ulung. Mereka menawarkan beraneka macam ideologi sebagai obat penyelamat. Namun, mereka justru menghancurkan budaya, dan mengusik kestabilitasan hidup bersama. Perubahan ini terjadi begitu dahsyat di bawah hantaman gelombang modernasi yang mengenai semua segi kehidupan. Artinya, ada sebuah transformasi mengenai intelektual, ekonomi, sosial, dan budaya.
Pada situasi ini, banyak orang yang hanyut dalam arus zaman. Orang hanya gemar ikut-ikutan, tanpa mampu jika dituntut untuk bertanggung jawab. Sebab, banyak yang terkecoh pada permasalahan “yang baik” dan “yang buruk”. Ya, walaupun kata tersebut sudah sangat familiar di telinga semua orang. Namun, jika dihadapan problematika, kenyataannya orang-orang sering memberikan pandangan secara hitam putih saja. Menolong itu baik. Membunuh itu buruk. Percaya atau tidak, hal-hal ini kerap terjadi tanpa didasari akal budi.
Lantas, bagaimana cara untuk memahami dan mempertanggung jawabkan masalah tersebut? Pada dasarnya, semua masalah ini berada pada wilayah kajian filsafat etika. Namun, sebelum terlalu jauh, tampaknya perlu ada sebuah reaffirmation tentang distingsi antara etika dan ajaran moral. Sebab, dewasa ini masih banyak pemahaman yang rancu, dan bahkan orang sering menyamakan antara keduanya. Barangkali, hal ini terjadi karena kedudukan etika yang lebih abstrak, maka sering dianaktirikan dari ajaran moral.
Pada dasarnya, ajaran moral adalah sebuah ajaran yang terkonstruksi dari kultur budaya, sosial, atau agama, baik itu berupa patokan, ketetapan baik, maupun peraturan tertulis atau lisan, dan tidak terkait profesi tertentu. Sedangkan etika melampaui itu semua. Artinya, etika bukan berbicara tentang ajaran, melainkan sebuah ilmu yang merupakan pemikiran kritis dan mendasar mengenai ajaran-ajaran moral. Jika ajaran moral menetapkan bagaimana seharusnya manusia hidup, maka etika membantu seseorang untuk mengerti dan mempertanggungjawabkan moralnya.
Mempelajari etika menjadi sangat penting bagi kebutuhan manusia. Pasalnya, etika memudahkan seseorang untuk melihat dan memahami opsi-opsi yang tersaji dalam suatu kacamata moralitas tertentu. Ia memberikan suatu resistansi untuk mengasah daya pertimbangan, sehingga keputasan yang diambil memiliki sebuah dasar yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan. Oleh sebab itu, etika bisa menjadi pijakan di tengah-tengah kegaduhan atas nama moralitas.
Aliran Filsafat Etika
Jika kita ingin berbicara tentang filsafat etika, maka mau tidak mau, orang dituntut untuk tahu terlebih dahulu tentang posisi-posisi umum dalam etika. Setidaknya ada tiga aliran besar dalam filsafat etika. Namun, pada tulisan ini tidak akan ditemukan tentang pembahasan secara detail dan terlalu teknis di antara ketiga aliran tersebut.
Pertama, Virthue Ethics (Etika Keutamaan). Secara garis besar aliran etika ini menganggap bahwa “yang baik” adalah bertindak sesuai dengan nilai-nilai. Aristoteles mengartikan nilai tersebut dengan “kemampuan untuk berada di tengah”. Misalnya dalam kasus kemurahan hati. Ia berada pada dua sikap ekstrem yang berbeda, yakni sikap pelit dan suka menghambur-hamburkan. Di dalam kemurahan hati memiliki sebuah keutamaan, yakni sikap bertanggung jawab dan kepantasan. Dari keutamaan ini, alhasil sikap murah hati menjadi jalan tengah di antara sikap pelit dan suka menghambur-hamburkan.
Kedua, Deontological Ethics (Etika Kewajiban). Jenis aliran etika ini menganggap bahwa yang baik adalah bertindak sesuai kewajiban moral yang sifatnya universal. Salah satu tokoh aliran ini adalah Immanuel Kant. Ia berargumen bahwa sesuatu tindakan etis harus murni demi kewajiban. Artinya, tindakan etis tidak boleh didasari kepentingan diri sendiri sendiri, atau harus tanpa pamrih dan syarat tertentu. Bersikap sopan adalah sebuah tindakan etis. Namun, jika bersikap sopan dengan motivasi untuk mendapatkan nama baik, maka tindakan etis tersebut tidak bernilai positif. Bagi Kant, motivasi dalam tindakan etis haruslah bisa diterima oleh seluruh isi dunia.
Ketiga, Teleological Ethics (Etika Tujuan). Aliran ini mengevaluasi suatu “yang baik” dengan cara melihat sebuah hasil tujuan yang baik. Ini adalah sebuah kunci dari aliran tersebut. Prinsip dasar aliran ini adalah segala tindakan yang dilakukan dengan tujuan untuk mencapai suatu kebahagiaan. Namun, untuk mencapai sebuah kebahagiaan, para pemikir dari aliran ini memiliki konsepnya masing-masing. Ada yang masuk pada kategori egoisme etis, seperti hedonisme dan teori pengembangan diri, dan ada yang masuk pada kategori universalisme etis, seperti utilitarisme.
Konflik Moral
Dewasa ini, pembahasan “yang baik” dan “yang buruk” terlihat begitu proporsional. Namun, jika dihadapkan pada problematika tertentu, maka tidak selalu menjadi hal sepele yang dipikirkan banyak orang. Seringkali orang menjadi ragu atas apa yang harus dilakukan. Dalam keadaan terdesak, akhirnya orang menyadari begitu kompleksnya kehidupan manusia. Lebih jauh dari itu, orang juga menyadari bahwa ia harus melakukan sesuatu. Artinya, ia tidak bisa hanya diam meragukannya secara terus menerus dan tidak berbuat apa-apa.
Misalnya, pada suatu kasus yang dialami oleh seorang dokter. Ketika ada salah satu dari pasiennya tersebut ingin menggugurkan kandungannya yang berada di luar nikah. Alih-alih pria yang menghamili lari dari tanggung jawab. Jika tidak digugurkan, maka pasiennya akan merasa malu, dan keluarganya akan menolak. Bukan saja tidak diakui oleh keluarganya lagi, tentu masa depan perempuan itu akan hancur.
Lantas, keputusan apa yang harus diambil oleh sang dokter? Apakah ia boleh memenuhi permintaan pasiennya? Dengan alasan untuk keberlangsungan masa depan pasien, dan seorang perempuan berhak untuk menentukan sendiri perihal kehamilannya. Atau justru sebaliknya? Ia menolak dengan alasan, bagaimanapun isi kandungan pasien bukan lagi sekedar gumpalan darah, melainkan seorang manusia kecil yang berhak agar hidupnya dilindungi.
Pada akhirnya, yang paling sulit dari permasalahan etika bukanlah sekedar untuk memilih mana “yang baik” dan mana “yang buruk”, melainkan “yang terbaik” dari kemungkinan-kemungkinan “yang terburuk”. Sebab, yang mungkin benar hanya satu dari dua pilihan itu, meskipun kemungkinannya orang-orang tidak bisa mecapai kesepakatan tentang mana “yang baik” atau “yang terbaik”.
Persinetronan di Indonesia
Tempo dulu, saya berpikir bahwa penyebab utama sinetron Indonesia menjadi sangat membosankan adalah kalah dalam perihal budget. Namun, makin saya membaca, melihat, dan memahami, tampaknya masalah ini bisa terjadi karena lemahnya tema dan konflik. Ini adalah alasan paling fundamental. Misalnya, orang bisa berkaca pada sinetron Amerika, di mana orang bisa melihat dan mengenal segala macam karakter polisi, dari yang baik, yang buruk, dan juga masalah-masalahnya.
Hal ini jelas berbeda dengan sinetron Indonesia yang menampilkan tokoh polisi dengan watak yang selalu baik, seperti Inspektur Vijay di film-film India. Barangkali, penulis atau pembuat sinetron tidak mau terlalu mengambil resiko, atau bahkan memiliki alasan yang lain. Namun, tampaknya sinetron Indonesia lebih mementingkan pesan moral daripada konflik moral. Dengan kata lain, sinetron Indonesia lebih ingin mengejar untuk mengajarkan moral atau menggurui, daripada mengambil tema yang telah menimbulkan perdebatan moral di masyarakat.
Sinetron Indonesia selalu melihatkan plot twist yang begitu-begitu saja. Misalnya, membunuh itu jahat, dan sudah bisa dipastikan bahwa si pembunuh adalah tokoh antagonis yang ujung-ujungnya kena adzab dan lain sebagainya. Padahal, realita tersebut bisa saja sangat kompleks. Seperti kasus pedofilia yang ingin memotong kelaminnya atau memilih untuk bunuh diri daripada hidup dengan hasrat monster.
Hal-hal seperti ini yang pada akhirnya dapat menyentuh hal-hal tabu. Bukan hanya itu, konflik moral juga dapat dijadikan kritik atas ideologi atau ajaran moral tertentu. Ya, kita akan membayangkan apa yang akan dilakukan jika kita dihadapkan pada kasus yang sama, atau bertanya-tanya, seperti apakah kasus bunuh dirinya seorang yang mengidap pedofil dapat dibenarkan? Mungkin, dalam ajaran moral tertentu sudah pasti salah. Namun, dalam etika masih bisa diperdebatkan.
Pada akhirnya, daripada sinetron Indonesia memikirkan untuk mencari pesan moral yang sudah pasti terbentuk, lebih baik mengkaji tentang etika dasar. Jangan ditunda lagi!
Artikel Lainnya
-
179125/03/2020
-
244505/08/2020
-
157010/06/2020
-
Mendefinisikan Kembali Kata Cukup
17204/02/2025 -
Coronavirus dan Kegaduhan Sains Modern
228928/02/2020 -
Bencana: Soal Memperlakukan Alam dan Manusia
146012/02/2021
