Spiritualitas Rakyat: Catatan Kritis Untuk Tahun 2020

Mahasiswa
Spiritualitas Rakyat: Catatan Kritis Untuk Tahun 2020 30/12/2019 2236 view Opini Mingguan commons.wikipedia

Dalam kehidupan bernegara, ada begitu banyak komponen penting, namun dalam paradigma umum ada dua komponen yang amat identik dalam kehidupan bernegara yaitu pemerintah dan masyarakat. Berkumpulnya manusia dalam suatu negara merupakan konvensi dari hakikat terdalam dari diri manusia yaitu zoon politicon atau animale society.

Bertolak dari hakikat dasar itu, kehidupan bernegara merupakan suatu keniscayaan di mana pemerintah dan masyarakat memiliki relasi simbiotik. Pemerintah membutuhkan masyarakat dan sebaliknya masyarakat membutuhkan pemerintah. Relasi saling membutuhkan itu meligitimasi konvensi manusia atas negara.

Dalam negara yang menganut sistem Demokrasi seperti Indonesia, relasi antara pemerintah dan masyarakat cukup menarik. Masyarakat didaulat untuk memegang kekuasaan tertinggi namun daulat tersebut terpatri dalam pemerintahan yang merupakan perwakilan dari rakyat. Keterwakilan itu dipintal dalam momentum pemilihan, siapakah penguasa yang layak memimpin rakyat banyak.

Relasi demikian berciri biner dan random, multidimensional, dan multikonsekuensi. Relasi masyarakat dan pemerintah dalam sistem Demokrasi tidak seideal abstraksi negara demokratis yang dikonsepkan Aritoteles dalam Republika, yaitu suatu negara dipimpin oleh penguasa yang bijak dan bekerja dalam satu arah dengan rakyat.

Historisitas bangsa Indonesia menayangkan grafik fluktuatif terkait relasi pemerintah dan rakyat yang pada galipnya perlu dicermati dan dievaluasi secara kritis. Fenomena-fenomena destruktif seringkali muncul mewarnai perziarahan bangsa Indonesia, walaupun ada juga begitu banyak realitas progresif yang memberi asupan konstruktif untuk bangsa ini.

Oleh karena itu, hemat penulis pembahasan cermat dan evaluatif amat signifikan dalam menilai perjalanan bangsa Indonesia, khususnya sepanjang tahun 2019 ini. Kita akan dituntun oleh beberapa pertanyaan dalam menilai kaleidoskop perjalanan bangsa ini. Bagaimana relasi pemerintah atau penguasa dan masyarakat dalam kehidupan bernegara selama ini? Apa yang harus dibuat atau direncanakan menanggapi relasi tersebut?

Dan Slater, seorang peneliti politik internasional, melakukan survei mengenai politik Indonesia kontemporer. Ia menyimpulkan bahwa sangat sedikit yang berubah sejak berakhirnya era Soeharto, kecuali bahwa negeri ini tidak lagi diperintah seorang diktator tetapi oleh orang-orang yang berada di lingkaran dalam, sanak kerabat, dan figur-figur penting yang menurut Dan Slater, membentuk kartel politik. Selain itu sistem desentralisasi negara dan politik memungkinkan lingkaran lebih luas para pelaku bisnis memperoleh akses ke kontrak-kontrak dan konsensi melalui politik (Prisma, 7: 2017).

Dalam pandangan tersebut, Indonesia adalah sebuah negara yang menganut sistem Demokrasi Oligarkis. Demokrasi dan Oligarki menjadi dua topik penting yang dibahas Aristoteles mengenai negara. Secara etimologis, Demokrasi berasal dari kata demos yang berarti rakyat, dan kratein yang berarti memerintah. Demokrasi berarti pemerintahan yang dipegang oleh rakyat demi kepentingan rakyat.

Oligarki berasal dari kata oligoi yang berarti beberapa dan archien yang berarti pemerintahan. Oligarki berarti bentuk pemerintahan yang dipegang oleh beberapa orang yang mengutamakan kepentingan golongannya sendiri.

Berdasarkan pengertian etimologis di atas dapat kita lihat bahwa Demokrasi dan Oligarki amat bertolak belakang. Indonesia memang menganut sistem Demokrasi, namun Demokrasi itu dihidupi dengan semangat Oligarkis. Demokratisasi di Indonesia menjadi mandek jika Oligarki hadir dalam realitas dan menghidupi semangat nasional, terutama dalam lingkup politik.

Hasil survei Dan Slater secara gamblang memperlihatkan bagaimana era reformasi ini digerogoti oleh semangat Oligarki. Era Soeharto adalah era di mana pintu masuk bagi kapitalisme dalam bentuk korporasi dibuka lebar-lebar. Ketika era Soeharto digulingkan sisa-sisa orang kaya dan elite penguasa masih bertahan dan memulai gerakan di belakang layar pemerintahan reformis.

Para orang kaya tersebut membentuk zona nyaman melalui pemerintahan dan terejahwantah dalam hukum yang dibuat demi menjaga dan melestarikan aset yang mereka miliki. Jadi, dalam konteks Indonesia, Oligarki merupakan bentuk perselingkuhan dan konspirasi antara orang-orang kaya dan para kapitalis dari Orde Baru dengan pemerintah atau penguasa reformasi, yang notabene sangat membutuhkan modal finansial yang banyak dalam mendanai karya mereka.

Konspirasi yang melahirkan Oligarki tersebut bertahan sampai sekarang, sepanjang tahun 2019 ini. Kemandekan demokratisasi yang dirongrong Oligarki terekspos dalam ranah Politik, HAM, Pembangunan, dan Hukum.

Dalam ranah politik, kita bisa melihat beberapa tokoh politik yang sama dan terus bermunculan di panggung perpolitikan Indonesia. Mereka secara bergantian memegang beberapa jabatan penting pemerintahan. Jika memang Indonesia menganut Demokrasi maka, pergantian atau perputaran kepemilikan jabatan negara haruslah berjalan konsisten. Tapi yang terjadi malah membentuk lingkaran setan yang disebut oleh Dan Slater sebagai kartel politik. Elite-elite penguasa memainkan peranan penting dalam menjaga status quo dalam pemerintahan dan nepotisme semakin kuat.

Hal itu berlanjut dalam ranah hukum. Karena para oligark tersebut adalah orang-orang kaya dan memiliki otoritas dalam kepemerintahan maka mereka mengatur sedemikian rupa regulasi dan hukum agar supaya bisa menjaga dan melanggengkan kekuasaan yang mereka miliki.

Dalam bidang pembangunan juga demikian, pembangunan lebih beorientasi pada infrastuktur dan kepentingan para pemilik modal sedangkan masyarakat hanya mendapatkan sisa. Proses pembangunan ini pun melegalkan kekerasan dan pengrusakan terhadap alam dan manusia. Pertambangan, proyek-proyek yang berasimilasi dengan korporasi, pembangunan infrastruktur yang minus kebutuhan masyarakat, dan lain-lain dapat kita lihat selama setahun ini. Konsekuensinya adalah pelanggaran HAM, terutama pada masyarakat kecil dan marginal. Hampir seluruh fasilitas dan lembaga penting dalam pemerintahan dikuasai Oligarki.

Kita bisa simpulkan bahwa relasi antara pemerintahan dan masyarakat yang terjadi pada bangsa ini adalah relasi Oligarkis. Pemerintahan dengan kuasa beberapa golongan yang mementingkan golongan mereka sendiri di satu sisi dan masyarakat, terutama para aktivis, yang menuntut tangungjawab dari pemerintah atas ketidakadlian yang dirasakan rakyat. Resistensi dari rakyat seringkali juga malah dilawan dengan kekerasan dan militerisasi oleh pihak pemerintah. Hal ini semakin mengafirmasi bahwa pemerintah tidak lagi pro-rakyat, itu berarti ada kemandekan dalam demokratisasi.

Berhadapan dengan situasi Demokrasi yang Oligarkis di atas, apa yang harus kita lakukan? Selama ini sudah terjadi beberapa gerakan resistensi dari rakyat terkait situasi ketidakadilan yang terjadi. Hal itu paling kurang menunjukkan bahwa sudah ada kesadaran dari rakyat mengenai Demokrasi yang tidak lagi berjalan baik.

Namun, kesadaran itu belum sepenuhnya dapat membantu ketika berhadapan dengan pemerintah yang Oligarkis. Beberapa bulan lalu kita melihat bagaimana gerakan Mahasiswa dan kaum pelajar Indonesia menghentak kesadaran rakyat. Kemudian kesadaran itu dipintal dalam satu konsep bahwa rakyat punya hak untuk melawan dan mengugat jika memang ada kejanggalan dalam kehidupan bernegara. Kesadaran itu ada dalam otak, tapi kesadaran akan ketidakadilan yang rakyat rasakan harus mendapat stimulasi dari kehendak. Oleh karena itu, kesadaran perlu diwadahi secara bijak dalam kehendak.

Melihat kaleidoskop perjalanan bangsa Indonesia selama 2019, kita sebagai rakyat harus membangkitkan spritualitas nasional, bahwa untuk menjaga negara dan bangsa yang telah susah payah dibangun oleh para pahlawan, rakyat harus bersatu dalam suatu nada dasar ketika pemerintah bertindak sewenang-wenang dan tidak pro-rakyat serta Demokrasi. Kesadaran untuk membangun spiritualitas tersebut juga harus direalisasi melalui kehendak, entah melalui demonstrasi, kritik ilmiah, diskusi dalam forum, dan lain-lain.

Dalam menyongsong tahun yang baru, perjalan bangsa ini tidak pernah bisa terpisah dari masa lalu. Karena jika demikian, kita menjadi warga negara yang ahistoris dan apatis. Sebagai rakyat yang demokratis kita harus menghidupi semangat itu dalam spiritualitas nasional. Jika pemerintah atau penguasa dijiwai oleh spiritualitas Oligarkis, maka sebaliknya spiritualitas rakyat adalah spiritualitas yang demokratis.

Demokratisasi akan berjalan baik jika rakyat memiliki satu nada dalam aspek spiritualnya, karena dengan spiritualitas nasional yang demokratis, di situlah demos betul-betul ada.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya