The New Rules of The World: Potret Gamblang Globalisasi sebagai Model Baru Kolonialisme

Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
The New Rules of The World: Potret Gamblang Globalisasi sebagai Model Baru Kolonialisme 25/05/2023 1287 view Lainnya Cuplikan dalam film The New Rules of the World

Globalisasi menjadi salah satu diksi yang sudah tak asing lagi bagi masyarakat zaman modern. Dalam beberapa dekade belakangan, globalisasi marak dipropagandakan oleh golongan pengusaha kelas atas. Secara leksikal, globalisasi didefinisikan sebagai proses masuk ke ruang lingkup dunia. Jika ditinjau secara etimologis, globalisasi berasal dari bahasa Inggris yaitu globalize yang artinya universal atau menyeluruh yang diberi imbuhan -ization. Dengan demikian kata globalization berarti proses mendunia. Makna globalisasi merupakan sebuah proses dari suatu (informasi, pemikiran, gaya hidup, dan teknologi) yang mendunia. (detik.com, 05 April 2023 diakses pada Rabu, 24 Mei 2023).

Globalisasi sederhananya dipahami sebagai proses interaksi yang terjadi secara global (mendunia). Sekat-sekat geografis dan pembatasan oleh waktu bukan lagi menjadi persoalan dalam berinteraksi dengan orang lain dari negara berbeda.

Globalisasi diyakini akan menciptakan tatanan kehidupan tanpa sekat sehingga mendongkrak kesejahteraan masyarakat dunia. Interaksi yang berlangsung secara global dipropagandakan sebagai salah satu upaya agar masyarakat menjadi semakin sejahtera. Nyatanya globalisasi justru menjadi model baru kolonialisme yang terjadi pada abad-abad sebelumnya.

Film dokumenter berjudul The New Rules of The World karya John Pilger menampilkan secara baik dampak buruk globalisasi. Film dokumenter ini memang merupakan karya lama. Akan tetapi, keberhasilan film ini dalam menampilkan sisi lain globalisasi membuatnya akan tetap relevan dan selalu menjadi rujukan dalam memahami globalisasi secara lebih kritis dan kompleks.

Narasi positif dari globalisasi sebagaimana yang getol dikampanyekan oleh para pemilik modal dan pengusaha kelas kakap sesungguhnya tidak lebih dari propaganda belaka. Pada praktiknya, globalisasi justru tidak memberikan dampak positif yang signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat. Alih-alih mendongkrak kesejahteraan masyarakat dunia, globalisasi justru membuat yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Dalam rumusan lain, globalisasi justru membuat jurang antara yang kaya dan yang miskin menjadi semakin lebar menganga.

Pengusaha-pengusaha kelas kakap tampak sangat berambisi untuk meraup keuntungan sebanyak mungkin tanpa peduli nasib karyawan yang menjadi nafas perusahaan. Sangat jarang nominal pada pundi-pundi rupiah perusahaan mengalami penurunan. Namun demikian, hal itu tidak serta-merta membuat karyawan menjadi semakin sejahtera.

Padahal kondisi ekonomi perusahaan yang cenderung stabil dan selalu mengalami surplus dari tahun ke tahun harusnya pertimbangan utama perusahaan dalam memberikan upah besar bagi pekerja. Sayangnya, hal tersebut hanya menjadi utopia para pekerja. Sekalipun perusahaan meraup keuntungan besar, karyawan tetap mendapatkan upah kerja yang tak layak.

Lebih parah lagi, pengusaha-pengusaha rakus tersebut akan melakukan berbagai cara untuk menjaga kestabilan dan kelangsungan bisnis mereka. Salah satunya dengan menggandeng penguasa atau orang-orang tertentu yang menempati posisi strategis di pemerintah. Konsekuensi logisnya, akan ada sekian banyak produk-produk hukum yang menjadi semacam karpet merah bagi pengusaha-pengusaha.

Sebagaimana yang ditampilkan dalam film dokumenter karya John Pilger, masyarakat kelas pekerja atau karyawan dituntut untuk selalu bekerja maksimal. Bahkan tak sedikit karyawan yang bekerja melampaui batas normal. Ambil misal, bekerja selama 24 jam penuh. Bukan hanya itu, upah yang didapat oleh karyawan juga menjadi problem lain yang sangat memprihatinkan. Pada produksi barang-barang dengan brand ternama, karyawan hanya menerima sebagian paling kecil dari hasil penjualan produk secara keseluruhan.

Berkaca pada realitas yang terjadi di Indonesia, sumber daya alam yang melimpah dikeruk dan dicaplok hanya untuk keuntungan golongan tertentu saja. Masyarakat yang sesungguhnya paling membutuhkan bantuan justru hanya mendapatkan bagian paling kecil yang tidak begitu berarti. Pada titik ini, pertanyaan yang patut dilayangkan yakni globalisasi yang dalam narasi propagandanya mendongkrak kesejahteraan masyarakat apakah selaras dengan realitas?

Globalisasi yang konon dipropagandakan sebagai salah satu upaya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesungguhnya merupakan model baru kolonialisme. Jika pada abad-abad sebelumnya, kolonialisme terjadi secara keji dan sangat kentara maka pada era sekarang kolonialisme terjadi secara keji namun seolah-olah bukan kolonialisme. Niat busuk para pemilik modal bersembunyi di balik narasi positif globalisasi.

Kesenjangan ekonomi kian kemari kian memprihatinkan. Upah pekerja sama sekali tidak sesuai dengan intensitas kerja. Upah jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan beban kerja yang harus ditanggung. Bukan itu saja, problem lain yang juga muncul yakni sumber daya alam yang melimpah dikeruk dan dicaplok hanya untuk keuntungan golongan tertentu saja. Persisnya, sederet problem tersebut merupakan alasan mendasar yang membuktikan bahwa globalisasi sebenarnya merupakan model baru kolonialisme.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya