Dinamika Atasan dan Bawahan

Pegawai
Dinamika Atasan dan Bawahan 12/11/2021 1403 view Budaya sarjanaekonomi.co.id

Sebuah pengumuman mutasi keluar beberapa pekan lalu, seorang pimpinan namanya dimuat di sana. Seperti biasa, kami menyelenggarakan perpisahan daring berisi penyampaian kesan dan pesan oleh yang ditinggalkan. "Kami malu apabila berbuat tidak baik di belakang Bapak sebab panutan yang telah ditunjukkan selama ini," ujar teman saya kala itu.

Berbicara tentang kesetiaan tak perlu mengangankan yang jauh. Kesetiaan seyogianya terbentuk dan merekat kuat sebab mengakar di hati. Mempedomani apa yang menjadi arahan dilakukan berdasarkan rasa menghargai bukan disebabkan rasa takut akan dimarahi. Kesetiaan tak perlu dipaksakan karena hadirnya tanpa disadari oleh si loyalis. Jangankan beralibi, dipungkiri pun tak mungkin lagi. Begitulah loyalitas menurut kami. Kami semua sepakat dengan apa yang disampaikan teman saya.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, loyalis berarti pengikut atau pendukung (pemerintah dan sebagainya) yang setia. Setia bukan hanya tentang mengikuti. Apalagi menunduk hormat dengan tujuan untuk mencari sensasi. Tulus menyampaikan senyum bahkan tanpa dipaksa. Sebab loyalis akan secara spontan melakukannya.

Keterpaksaan pada awalnya mungkin berhasil. Kesetiaan disajikan sebab rasa takut akan kehilangan jabatan atau tidak diberi pekerjaan. Berlomba mencari muka supaya atasan mengingat nama kita tetapi bukan disebabkan kinerja yang baik hanya melelahkan diri sendiri. Bisa jadi akan ada suatu kala kita bersinggungan dengan rekan sejawat. Mengadu domba atau mengkambinghitamkan orang lain supaya dipandang hebat bisa menjadi langkah yang biasa diambil oleh si oknum loyalis. Begitulah apabila loyalitas hanya dipandang sebagai alat untuk meraih kekuasaan semu. Segala cara akan dihalalkan demi tercapainya tujuan.

Sesungguhnya loyalitas bawahan bisa ditandur dengan senantiasa memberikan panutan alih-alih perintah. Menjadi atasan yang mau mendengar jauh lebih dibutuhkan dibandingkan si pembicara unggul bermulut manis. "Kami datang membawa masalah dan akan pulang memperoleh solusi," ujar teman saya kala itu. Setiap kendala baik dalam hal pekerjaan maupun remeh temeh lainnya setelah dibicarakan dengan pimpinan pasti akan tuntas.

Apabila Beliau tidak mengetahui perihal itu, kami akan diarahkan kepada orang lain yang dirasa lebih paham. Sebagai bawahan, kami merasa diayomi dan tenteram. Tidak ada perasaan ditinggalkan ketika muncul permasalahan. Mitigasi dan solusi senantiasa sanggup ditawarkan.

Begitulah apabila atasan tidak hanya sekadar mengacu kepada seseorang yang memiliki jabatan lebih tinggi. Semua orang bisa menjadi atasan tetapi tidak semua bisa menjadi pimpinan. Atasan yang bijaksana merupakan keberkahan bagi bawahannya di manapun dia ditempatkan. Perasaan sedih dan kehilangan yang tidak dibuat-buat seketika timbul ketika berita tentang mutasi maupun promosi seorang atasan yang dielu-elukan keluar.

"Saya tidak sebaik yang teman-teman sampaikan," ujar pimpinan saya setelah mendengar puja-pujian dari kami. "Saya hanya melakukan apa yang menurut saya pantas," tambah Beliau. Ketika kemudian diserahkan amanah memperoleh bawahan, seorang atasan akan otomatis harus bisa memposisikan dirinya sebagai pimpinan. Adalah benar apabila tidak ada yang sempurna. Tetapi tanggung jawab lebih yang diemban seharusnya bisa membuat seorang atasan lebih aware dan bijak. Tidak meninggalkan bawahan yang belum bisa mengikuti ritme kerja membutuhkan kesabaran dan tantangan. Di sinilah keuletan dan kemampuan berstrategi dari seorang atasan dibutuhkan. Setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Penempatan sesuai keahlian dan pemberian kesempatan mengikuti pelatihan guna meningkatkan skill sangat diperlukan.

Memberikan penghargaan bagi keberhasilan bawahan juga tidak bisa dinafikan dan jangan dianggap sebagai sebuah pembangkangan. Sebab hal tersebut, baik langsung maupun tidak sesungguhnya akan dapat mendorong tingkat loyalitas terhadap atasan. Sebagai contoh, menghargai bawahan yang mengemukakan usul guna mendukung pencapaian tujuan berorganisasi tak lantas membuat atasan menjadi berkurang pamor. Sebab sering kali didapati bawahan yang berhasil juga terdapat andil dari atasan yang sukses memberikan panutan dan dorongan. Jadi jangan pernah menganggap bawahan sebagai musuh yang perlu ditakuti sebab kekhawatiran berlebihan akan mengambil alih kewenangan yang dimiliki. Sebab seyogianya bawahan merupakan bidak dan atasan merupakan pemain di mana keduanya membutuhkan kerja sama dan performa yang saling mendukung guna mencapai keberhasilan dalam pertandingan.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya