Dilema Kelaziman Baru

Penulis Buku Cerita Anak 'Si Aropan'
Dilema Kelaziman Baru 31/05/2020 1651 view Opini Mingguan pixabay.com

Draft landscape of COVID-19 candidate vaccines yang dikeluarkan WHO (World Health Organization) pada 27 Mei 2020 menunjukkan ada 10 kandidat vaksin terdepan yang sedang berada dalam tahap evaluasi klinis.

Menurut Kepala Pusat Kajian Regenerative Medicine Fakultas Kedokteran UPN Veteran Jakarta dalam tulisannya di Kolom detik.com berjudul Jika Vaksin Corona Tak Kunjung Ditemukan, konon butuh waktu sekitar 12 bulan hingga 18 bulan untuk menemukan vaksin sejak sebuah virus baru ditemukan. Belum lagi waktu dan proses sesudahnya yang diperlukan untuk menguji keefektifan vaksin tersebut.

WHO sendiri pernah mengisyaratkan bahwa sebelum vaksin ditemukan, tidak ada ‘cara tepat’ untuk melawan virus corona. Alasan inilah yang mendasari beberapa negara mulai menerapkan kebijakan New Normal (Kelaziman Baru). Tagline Berdamai dengan virus corona, seperti yang pernah dikumandangkan Presiden Joko Widodo adalah langkah serupa yang dalam waktu dekat secara bertahap mulai diterapkan di Indonesia.

Secara singkat, New Normal diartikan sebagai pola hidup baru yang beradaptasi terhadap virus corona dengan cara menerapkan protokoler kesehatan secara ketat dan disiplin seperti menjaga jarak, mencuci tangan, serta menghindari kerumunan dan kontak fisik khususnya di dunia kerja dan pendidikan.

Harus Siap

Persoalan pandemi Covid-19 bukan hanya masalah kesehatan tapi juga perekonomian. Keduanya sama-sama krusial tapi sering kali saling berseberangan. Betapa tidak, dari sudut pandang medis, lockdown atau PSSB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) merupakan langkah yang paling dapat diandalkan untuk mencegah meluasnya virus corona.

Akan tetapi, melihat keadaan sekarang setelah beberapa bulan pembatasan-pembatasan sosial dilakukan, sektor ekonomi nyaris lumpuh sehingga berdampak serius pada tatanan kehidupan masyarakat. Implikasinya bisa terlihat dari maraknya PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) atau pemotongan gaji para pekerja. Dengan demikian New Normal tidak dapat dipandang sebagai alternatif.

Direktor Regional WHO untuk Eropa, Dr Hans Henri P. Kulge di laman resmi WHO, http://www.euro.who.int menyebut enam indikator penting yang harus ditaati setiap negara jika ingin mengimplementasikan New Normal antara lain (1) Bukti bahwa tranmisi COVID-19 dapat dikontrol, (2) Kapasitas sistem kesehatan dan kesehatan publik yang mumpuni termasuk rumah sakit untuk mengidentifikasi, mengisolasi, menguji, melacak kontak dan mengkarantina, (3) Risiko virus corona diminimalkan dengan pengaturan kerentanan tinggi, utamanya di panti jompo, fasilitas kesehatan mental, dan orang-orang yang tinggal di tempat-tempat ramai, (4) Langkah-langkah pencegahan di tempat kerja dilakukan dengan memberlakukan jarak fisik, menyediakan fasilitas mencuci tangan, dan menetapkan etika kebersihan pernapasan, (5) Resiko kasus impor dapat dikelola, dan (6) Masyarakat memiliki suara dan dilibatkan dalam transisi ini.

Dengan realitas yang terjadi di Indonesia, sebetulnya kita belum siap menuju trend New Normal. Kalaupun banyak negara yang telah siap, itu karena ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai dan tingkat disiplin penduduk yang tinggi terhadap setiap protokoler yang ditetapkan. Sehingga rasio penyebaran Covid-19 mengalami penurunan. Jepang, misalnya, memutuskan untuk menerapkan New Normal setelah selama enam minggu berturut-turut mengalami penurunan kasus yang signifikan.

Ini sangat bertolak belakang dengan kedaan di negara kita. Kurva penyebaran Covid-19 cenderung naik dan jumlah kasus positif masih fluktuatif. Setiap kali press release tentang update dikeluarkan oleh Jubir Penanganan Covid-19, Achmad Yurianto secara akumulatif nasional jumlah penderita selalu bertambah. Celakanya, Indonesia diyakini menjadi salah satu negara yang belum mengalami puncak penyebaran Covid-19.

Kekonyolan Masyarakat Kita

Menyalahkan pemerintah secara membabi-buta seperti yang marak terjadi di berbagai kolom komentar portal media dalam jaringan juga tidak membuahkan apa-apa. Nyatanya, memang kedisiplinan masyarakat kita masih begitu rendah.

Jika beberapa bulan lalu di awal penetapan social distancing, kita banyak mengeluh soal kelangkaan masker dan hand sanitizer. Kini, setelah keduanya tidak lagi sulit ditemukan, banyak masyarakat yang abai pada protokoler kesehatan. Lihat saja di jalan-jalan raya dan ruang-ruang publik. Orang-orang beraktivitas tanpa masker. Jarak aman yang ditetapkan secara global yakni dua meter saat berinteraksi diabaikan. Kebiasaan mencuci tangan ditinggalkan meski banyak toko, pusat perbelanjaan dan perkantoran menyediakan fasilitas untuk itu.

Artinya, tidak sedikit masyarakat kita yang sebetulnya telah terlebih dahulu menerapkan New Normal. Hanya saja caranya salah dan lebih disebabkan oleh ketidakpedulian. Itu sebabnya belum lama ini muncul tagar #Indonesia Terserah terutama dari para tenaga medis yang terkesan frustrasi dengan ketidakkoperatifan itu.

Ada anomali yang berkembang bahwa New Normal ini dilakukan untuk memunculkan Herd Immunity yaitu membiarkan sebagian besar orang terinfeksi virus sampai kekebalan kelompok didapatkan. Bila virus terus menyebar dan orang-orang yang terinfeksi dapat bertahan maka virus akan menghilang karena tidak menemukan inang yang rentan. Namun Swedia, negara yang pernah mencoba menerapkan Herd Immunity justru mengalami loncatan kasus kematian terutama bagi penduduk lansia. Artinya, mengasosiasikan New Normal dengan Herd Immunity masih terlalu prematur

Dengan demikian, New Normal bukan lagi pilihan, tapi sebuah keharusan. Persepsi kita harus sama bahwa cara ini adalah yang terbaik sekarang. Memang dari segi kesehatan, sekali lagi kita belum siap. Tapi, kita tentu tidak ingin perekonomian masyarakat lumpuh yang justru bisa berdampak lebih destruktif ketimbang dampak medis yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19. Yang terpenting adalah kesadaran tinggi dalam menerapkan protokoler kesehatan yang sudah disosialisasikan pemerintah. Dan, New Normal tidak boleh disalahtafsirkan sebagai bentuk kenormalan hidup seperti sebelum munculnya wabah ini. Sebab persepsi seperti itu hanya akan menjadikan New Normal sebagai mekanisme seleksi alam yang baru. Tentu kita tidak mau bukan?

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya