Keletihan Eksistensial dan Pengharapan Tidak Mengecewakan
Hidup harus dipersoalkan, karena kehidupan kita sendiri adalah persoalan kompleks bagi Tuhan dan alam semesta serta bagi diri sendiri. Kehidupan yang hanya dipenuhi dengan keluhan dan kekecewaan adalah bagian dari proses mempercepat kematian atau mengundang penderitaan. Bunuh diri biasa timbul dari hal ini! Bunuh diri adalah akibat dari komplikasi keletihan yang berlebihan terhadap realitas yang tidak sesuai dengan ekspektasi!
Keletihan dapat membuat segala sesuatu ambyar! Orang keletihan bangun pagi. Keletihan tinggal dengan orang-orang serumah atau sekomunitas. Keletihan mendengar suara-suara yang memekikkan telinga, dan teriakkan yang mengawurkan ketenangan pikiran. Keletihan mengurus keluarga. Keletihan karena KDRT. Keletihan dalam relasi perkawinan. Keletihan mendapat omelan dan gosip dari tetangga. Keletihan karena tugas-tugas sekolah dan kampus. Keletihan dengan tuntutan-tuntutan adat-istiadat, kebudayaan, pajak, dan lain-lain. Keletihan mendengar khotbah para pemimpin agama yang selalu di luar teks Kitab Suci. Keletihan politis (Shoshana Zuboff, The Age Of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power; Naomi Klein, The Shock Doctrine: The Rise of Disaster Capitalism; Naomi Klein, Doppelganger: A Trip Into the Mirror World). Keletihan karena harus bekerja tiap hari sementera banyak tugas pekerjaan belum selesai (Kohei Saoti, Marx in the Anthropocene: Towards the Idea of Degrowth Communism; Kohei Saoti, Slow Down: How Degrowth Communism Can Save the Earth; Kohei Saito, La naturaleza contra el capital: El ecosocialismo de Karl Marx (Serie General Universitaria)). Keletihan moral dan etika kemanusian (Jaume Soler, el Cansancio de moral, 2015). Keletihan dengan diri sendiri (Peter Handke, Ensayo sobre el cansancio; Byung-Chul Han, The Burnout Society; Anselm Grűn, Estoy cansado. Redescubrir el placer de vivir).
Orang-orang yang dikasihi sudah pelan-pelan menghilang, mencari cara sendiri menyelesaikan pekerjaan dan hal-hal yang belum selesai. Saat itu pula kita sangat membutuhkan orang-orang bisa mendengarkan, dan memberi perhatian, pengakuan, pujian, dan kejutan.
Alih-alih mencari pekerjaan yang membebaskan kita dari himpitan kemiskinan, desakan kebutuhan, tuntutan hidup, dan persiapan hidup selanjutnya, pekerjaan justru tidak memanusiawikan kita; kita diperalat, dikalkulasi, diperas, ditekan, diautomatisasi, dan diisolasi dari diri sendiri.
Keletihan eksistensial terjadi karena tingkat ekspektasi lebih tinggi daripada apa yang terjadi apa adanya dan apa yang harus terjadi. Keletihan eksistensial lebih banyak disebabkan oleh faktor-faktor dan kekuatan-kekuatan superstruktur dari luar dari pada dalam diri sendiri. Keletihan eksistensial juga bisa terjadi karena hasil tiruan: sebenarnya saya tidak perlu letih dengan situasi atau kondisi ini, tetapi karena saya lihat orang-orang hebat dan super saja sudah letih, mengapa saya masih berusaha tegar berdiri dengan keadaan ini! Ya, letih sama-sama saja deh! Kalau demikan, saya sedang memerintah kepada diri sendiri supaya saya harus letih dan menikmati keletihan sambil mengeluh dengan kejenuhan.
Itulah yang disebut dengan proses autoeksplotiasi. Puncak dari autoeksploitasi adalah pasrah dengan keadaan—membiarkan nasib menentukan arah hidup! Padahal saya bisa mengendalikan dan mengatur arah hidup saya! Kalau saya paham saya hidup, saya bisa mengendalikan dan mengatur arah hidup melalui jalur mana ke tujuan yang mana dengan bantuan siapa dan dengan bantuan apa!
Filsafat Dan/Atau Teologi Pengharapan
Untuk konteks Indonesia saat ini dibutuhkan Teolog dan Filsuf yang berbicara tentang Pengharapan di tengah keletihan ekesistensial ini dengan pelbagai penyebabnya. Tiga Paus (Yohanes Paulus II, Benediktus XVI, Fransiskus) berbicara banyak tentang tantangan masalah-masalah besar kemanusiaan. Mereka sering kali meminta supaya “Jangan Takut!”, “Cinta Kasih dan Kebebasan yang Dikontrol” dan “Pengharapan” sesuai dengan yang diajarkan Yesus dalam Injil.
Pengharapan tidak hanya berkaitan dengan aspek eskatologis, tetapi juga bagaimana umat manusia menghayati iman akan Yesus dalam dua wujud: future/futūrus dan adventus/advenīre (Dia yang menunggu dan menjemput kita setelah kematian, dan Dia juga yang datang menyelamatkan dan membebaskan kita). Dia yang akan datang dari depan sudah datang, karena itu pengharapan yang satu telah dipenuhi Yesus sendiri. Itulah buah dari pengharapan dan ketekunan dalam iman. Karena itu Rasul Paulus bilang: “Sebab kita diselamatkan dalam pengharapan. Tetapi pengharapan yang dilihat, bukan pengharapan lagi; sebab bagaimana orang masih mengharapkan apa yang dilihatnya? (Rm 8:24)” Yesus sebagai adventus sudah datang sendiri atas inisiatif-Nya, dan karena ketekunan iman. Kepenuhan pengharapan akan dilihat setelah kematian tubuh (aspek eskatologis, futūrus). Bagaimana umat manusia dapat memperoleh kepenuhan pengharapan setelah kematian tubuh?
Rasul Paulus mengingatkan: “Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih. (1Kor 13:13)” Dalam pewartaan, dan kesaksian-Nya, Yesus menekankan aspek cinta kasih. Ketika ditanya oleh ahli Taurat, “Guru, hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat?”, Yesus menjawab: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.” (Mat 22:36-40)
Sering ditemukan, hukum dibuat bukan atas dasar cinta kasih, melainkan dirancang berdasarkan kepentingan ekonomi. Di atas permukaan kita merasa sedang merayakan kebebasan, tetapi sesungguhnya kita dikontrol, diawasi dan dikendalikan di bagian kedalaman. Kebebasan mengandaikan cinta kasih. Tanpa cinta kasih, kebebasan akan segera menjadi ketakutan: ketakutan akan kebebasan. Erich Fromm menulis tentang ketakutan akan kebebasan (el miedo de la libertad, 2024). Byung-Chul Han (la Tonalidad del Pensamiento, 2024, dan el espiritu de la esperanza, 2024) menyebut, kita sedang ditekan oleh ketakutan akan kebebasan berpikir. Yuval Noah Harari (Nexus. A brief History of Information Netwoeks from the Stone Age to AI, 2024) berkomentar itu karena totalitarianme AI. Totalitarianme AI membuat waktu tidak lagi cair tetapi membeku, akibatnya kita susah cari waktu kosong (Andrea Köhler, el tiempo regalado). Kita kehilangan kemampuan untuk menciptakan keheningan karena kita harus tergesa-gesa dan terus mengejar waktu yang berlari (Paus Fransiskus, Spes non Confundit, 2024; María Novo, la sociedad de las prisas, 2023).
Yang harus selalu kita ingat, kita hidup di era "Fetish dan mistifikasi kapitalis" (Fetiche y mistificación capitalistas), kata Clara Ramas, dan di tengah “Masyarakat yang tidak dapat dikendalikan” (La sociedad ingobernable, 2022) ini, kata Grégoire Chamayou. Kita berharap agar, seperti yang dikatakan Esteban Hernández dalam bukunya Waktu yang Dinantikan (El Tiempo Pervertido, 2024), kita mampu menjaga hubungan kita, dan “Keterjalinan yang kita jaga satu dengan yang lain berharap tidak berubah”.
Lalu siapa yang bisa berkuasa dan dengan kekuatan kita melakukan itu? Ialah kepribadian kita, yang di dalamnya ada privasi ktia. Dalam bukunya Privacy is Power (2020), Carissa Veliz bilang, “Privasi adalah kekuatan” kita. Kekuatan kita adalah privasi→kepribadian kita. Beberapa peristiwa masa lalu mungkin tidak ditemukan kembali, tetapi kita bisa memaknainya dan/atau menciptakan pengalaman baru. Saat itu, seperti kata Clara Ramas, Filsuf Politik Spanyol yang sangat dipengaruhi oleh Ernst Bloch (1885-1977), Filsuf Jerman, dalam bukunya Waktu yang Hilang (el Tiempo Perdido, 2024) kita dapat “Menyembuhkan kembali waktu yang hilang” (recobrar el tiempo) dengan kebutuhan yang urgen: kembali ke rumah! Rumah tidak hanya menjadi tempat mendekonstruksi cinta kasih dan pengharapan di tengah keletihan eksistensial, tetapi rumah juga adalah cinta kasih penuh pengharapan, dan pengharapan penuh cinta kasih! Cinta kasih “Tidak berkesudahan”, karena ia sabar, murah hati hati dan tidak cemburu (1Kor, 13:4-8) dan “Pengharapan tidak pernah mengecewakan. (Rm, 5:5)”
Artikel Lainnya
-
4304/09/2024
-
38804/02/2023
-
161917/03/2021
-
158907/05/2020
-
121430/04/2021
-
Bintang Emon & Polemik Teror Buzzer
159616/06/2020